Enakan Bikin dan Masak Sendiri di Rumah
BUKAN saja antar negara. Perang dagang terjadi juga antar tetangga. Jika perang dagang antar negara skalanya besar. Perang dagang antar tetangga skalanya kecil. Tapi meski pun kecil, efeknya sangat luar biasa. Perang dagang antar negara ngaruh terhadap stabilitas ekonomi negara. Perang dagang antar tetangga ngaruh terhadap stabilitas ekonomi keluarga. Perang dagang antar negara dan perang dagang antar tetangga, gimana pun skalanya, urusannya tetap ke dapur-dapur juga.
Berhubung saya bukan pengamat politik. Yang akan saya bahas kali ini yang skalanya kecil saja yakni perang dagang antar tetangga. Seperti kita tahu, seiring perkembangan zaman, yang jualan sekarang di mana-mana banyak. Pergeseran budaya di mana pedagang yang tadinya menggunakan sistem konvensional beralih menjadi pedagang modern sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum pandemi.
Namun di masa pandemi para pedagang bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Muncul di berbagai titik dengan produk yang sangat bervariatif. Dulu, yang buka warung paling satu dua orang. Jaraknya lumayan jauh. Sekarang hampir tiap pertigaan atau perempatan sudah penuh dengan pedagang. Tak mau ketinggalan di gang-gang sempit pun sekarang sudah banyak yang buka warung kecil-kecilan. Lucunya, jualannya hampir sama. Dagangannya itu-itu saja.
Ada dua sebab yang mengakibatkan para pedagang baru bermunculan di zaman sekarang. Pertama, kondisi ekonomi yang sangat sulit membuat semua orang harus memutar otak gimana caranya agar dapur tetap ngebul. Suami bisa menafkahi anak istri. Istri bisa ikut meringankan beban suami. Salah satu usaha yang paling mudah, yang modalnya terbilang minim, ya jualan warung kecil-kecilan.
Kedua, perkembangan teknologi yang semakin canggih. Di mana sosial media begitu mudah diakses. Toko online dan marketplace warna-warni mulai bermunculan. Menawarkan berbagai informasi dan jutaan produk yang bisa kita dapat hanya dengan sentuhan jari. Ditambah sistem pembayaran yang fleksible bisa bayar tunai, transfer via mobile banking, screen barcode, dan bayar di tempat. Membuat semua orang banyak yang beralih profesi menjadi pedagang dadakan.
Persoalan kemudian muncul ketika dagangan kita sedang laris-larisnya. Tiba-tiba tetangga ikut jualan dengan produk yang sama. Sementara konsumennya atau pembelinya itu-itu saja. Orang-orang yang biasanya beli ke kita sekarang jadi terbagi dua. Ada yang beli ke kita, ada yang beli ke tatangga. Kuenya sekarang jadi dibagi-bagi. Meski pun rezeki sudah ada yang ngatur. Tapi kalau jualannya berdekatan, cuma terhalang satu dua rumah, apalagi sampai banting harga, lumayan bikin pusing kepala.
Dengan banyaknya pedagang yang bermunculan. Efek negatif dan positifnya tentu saja ada. Terutama dari sisi konsumen. Bagi kita sebagai pembeli. Banyaknya pedagang membuat kita banyak pilihan, mau beli ke si A atau beli ke si B bebas suka-suka. Negatifnya duit di dompet jadi cepat terkuras. Udah gitu rasa dan kualitasnya kadang tidak sesuai dengan ekspektasi. Contoh saat kita beli makanan. Nonton review-nya di sosmed kayak yang enak. Pas kita nyobain beli ternyata rasanya biasa-biasa saja. Enakan bikin dan masak sendiri di rumah.
Berhubung saya bukan pengamat politik. Yang akan saya bahas kali ini yang skalanya kecil saja yakni perang dagang antar tetangga. Seperti kita tahu, seiring perkembangan zaman, yang jualan sekarang di mana-mana banyak. Pergeseran budaya di mana pedagang yang tadinya menggunakan sistem konvensional beralih menjadi pedagang modern sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum pandemi.
Namun di masa pandemi para pedagang bak jamur yang tumbuh di musim hujan. Muncul di berbagai titik dengan produk yang sangat bervariatif. Dulu, yang buka warung paling satu dua orang. Jaraknya lumayan jauh. Sekarang hampir tiap pertigaan atau perempatan sudah penuh dengan pedagang. Tak mau ketinggalan di gang-gang sempit pun sekarang sudah banyak yang buka warung kecil-kecilan. Lucunya, jualannya hampir sama. Dagangannya itu-itu saja.
Ada dua sebab yang mengakibatkan para pedagang baru bermunculan di zaman sekarang. Pertama, kondisi ekonomi yang sangat sulit membuat semua orang harus memutar otak gimana caranya agar dapur tetap ngebul. Suami bisa menafkahi anak istri. Istri bisa ikut meringankan beban suami. Salah satu usaha yang paling mudah, yang modalnya terbilang minim, ya jualan warung kecil-kecilan.
Kedua, perkembangan teknologi yang semakin canggih. Di mana sosial media begitu mudah diakses. Toko online dan marketplace warna-warni mulai bermunculan. Menawarkan berbagai informasi dan jutaan produk yang bisa kita dapat hanya dengan sentuhan jari. Ditambah sistem pembayaran yang fleksible bisa bayar tunai, transfer via mobile banking, screen barcode, dan bayar di tempat. Membuat semua orang banyak yang beralih profesi menjadi pedagang dadakan.
Persoalan kemudian muncul ketika dagangan kita sedang laris-larisnya. Tiba-tiba tetangga ikut jualan dengan produk yang sama. Sementara konsumennya atau pembelinya itu-itu saja. Orang-orang yang biasanya beli ke kita sekarang jadi terbagi dua. Ada yang beli ke kita, ada yang beli ke tatangga. Kuenya sekarang jadi dibagi-bagi. Meski pun rezeki sudah ada yang ngatur. Tapi kalau jualannya berdekatan, cuma terhalang satu dua rumah, apalagi sampai banting harga, lumayan bikin pusing kepala.
Dengan banyaknya pedagang yang bermunculan. Efek negatif dan positifnya tentu saja ada. Terutama dari sisi konsumen. Bagi kita sebagai pembeli. Banyaknya pedagang membuat kita banyak pilihan, mau beli ke si A atau beli ke si B bebas suka-suka. Negatifnya duit di dompet jadi cepat terkuras. Udah gitu rasa dan kualitasnya kadang tidak sesuai dengan ekspektasi. Contoh saat kita beli makanan. Nonton review-nya di sosmed kayak yang enak. Pas kita nyobain beli ternyata rasanya biasa-biasa saja. Enakan bikin dan masak sendiri di rumah.