Tanah Bersejarah yang Dulu Adem Ayem Sekarang jadi Gersang
TANAH lapang yang letaknya di persimpangan. Yang sekarang dipakai orang-orang jualan. Itu adalah tanah bersejarah. Dulu, di situ, di atas tanah lapang itu. Berdiri sebuah rumah panggung. Di rumah panggung itu. Sehabis sholat maghrib. Di bawah temaram lampu cempor. Anak-anak belajar mengaji. Mengeja alip-ba-ta. Menghapal surat-surat pendek.
Waktu kami beranjak remaja. Rumah itu suka dipakai tempat nongkrong. Yang punya rumah, Nek Omi, guru ngaji kami, buka warung kecil-kecilan. Di warung itu, kita suka beli makanan dan minuman kayak sukro, sitrun, dan temu lawak. Yang doyan ngerokok jangan ditanya. Tujuan nongkrong emang buat itu. Ngobrol ngalor ngidul, ngabisin waktu, sambil menghisap rokok sebatang dua batang. Sebungkus dua bungkus.
Sepeninggal Nek Omi. Semoga almarhumah diterima amal ibadahnya. Tanah itu diwariskan ke salah satu anaknya. Di rumah warisan ibunya, anaknya buka tambal ban dan bengkel sepeda. Meski Nek Omi sudah meninggal. Rumah itu tetap dijadikan tempat nongkrong. Bahkan sampai sekarang. Ketika anaknya menyusul ibunya. Ketika tanahnya berpindah kepemilikan. Lalu oleh pemilik baru disewakan kepada beberapa pedagang.
Tanah bersejarah itu. Yang dulu adem ayem. Sekarang jadi gersang. Info yang saya dengar dari penjual batagor yang sering mangkal di situ. Ada dua pedagang yang berselisih. Dua-duanya jualan minuman. Bedanya yang satu jualan es campur. Satunya lagi minuman kekinian. Perselisihan bermula ketika penjual es campur, yang tidak bayar sewa, sering mangkal di depan penjual minuman kekinian yang bayar sewa ke pemilik tanah.
Dengar perselisihan itu, sebagai orang yang punya ikatan emosional dengan tanah tersebut, jujur saya merasa kaget. Kirain saya semua pedagang yang tiap hari mangkal di situ, baik yang bayar sewa atau yang sekedar lewat, pada damai dan rukun. Ternyata sudah terjadi letupan. Untungnya, masih info dari penjual batagor, yang jual es campur mengalah tidak berjualan lagi di situ. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak sampai terjadi.
Berhubung yang saya bahas adalah tanah bersejarah. Kalau dilihat secara historis sebelum penjual minuman kekinian jualan di situ. Penjual es campur sudah lebih dulu jualan di situ. Orang-orang sudah pada kenal. Sudah pada langganan. Jangankan jualan di persimpangan. Di jalan juga suka banyak yang nyegat. Sementara kalau bicara masalah hukum. Penjual minuman kekinian memang punya kekuatan. Dia sewa ke pemilik tanah. Jadi wajar kalau dia merasa terganggu. Apalagi kalau jualannya sepi.
Bayangin saja, lihat penjual es campur dikerubuti orang. Udah gitu mangkalnya tepat di depan gerobaknya menghalangi penglihatan. Saya sendiri bisa merasakan. Pasti rasanya mangkel. Pasti rasanya kesel. Kurang-kurang menahan emosi bisa-bisa adu jotos. Begitulah persaingan dagang. Dari dulu sampai sekarang resikonya tidak jauh dari itu. Penuh dengan intrik. Penuh dengan drama. Padahal niat semua pedagang sebenarnya sama. Mencari rezeki buat menafkahi keluarga.
Waktu kami beranjak remaja. Rumah itu suka dipakai tempat nongkrong. Yang punya rumah, Nek Omi, guru ngaji kami, buka warung kecil-kecilan. Di warung itu, kita suka beli makanan dan minuman kayak sukro, sitrun, dan temu lawak. Yang doyan ngerokok jangan ditanya. Tujuan nongkrong emang buat itu. Ngobrol ngalor ngidul, ngabisin waktu, sambil menghisap rokok sebatang dua batang. Sebungkus dua bungkus.
Sepeninggal Nek Omi. Semoga almarhumah diterima amal ibadahnya. Tanah itu diwariskan ke salah satu anaknya. Di rumah warisan ibunya, anaknya buka tambal ban dan bengkel sepeda. Meski Nek Omi sudah meninggal. Rumah itu tetap dijadikan tempat nongkrong. Bahkan sampai sekarang. Ketika anaknya menyusul ibunya. Ketika tanahnya berpindah kepemilikan. Lalu oleh pemilik baru disewakan kepada beberapa pedagang.
Tanah bersejarah itu. Yang dulu adem ayem. Sekarang jadi gersang. Info yang saya dengar dari penjual batagor yang sering mangkal di situ. Ada dua pedagang yang berselisih. Dua-duanya jualan minuman. Bedanya yang satu jualan es campur. Satunya lagi minuman kekinian. Perselisihan bermula ketika penjual es campur, yang tidak bayar sewa, sering mangkal di depan penjual minuman kekinian yang bayar sewa ke pemilik tanah.
Dengar perselisihan itu, sebagai orang yang punya ikatan emosional dengan tanah tersebut, jujur saya merasa kaget. Kirain saya semua pedagang yang tiap hari mangkal di situ, baik yang bayar sewa atau yang sekedar lewat, pada damai dan rukun. Ternyata sudah terjadi letupan. Untungnya, masih info dari penjual batagor, yang jual es campur mengalah tidak berjualan lagi di situ. Sehingga hal-hal yang tidak diinginkan tidak sampai terjadi.
Berhubung yang saya bahas adalah tanah bersejarah. Kalau dilihat secara historis sebelum penjual minuman kekinian jualan di situ. Penjual es campur sudah lebih dulu jualan di situ. Orang-orang sudah pada kenal. Sudah pada langganan. Jangankan jualan di persimpangan. Di jalan juga suka banyak yang nyegat. Sementara kalau bicara masalah hukum. Penjual minuman kekinian memang punya kekuatan. Dia sewa ke pemilik tanah. Jadi wajar kalau dia merasa terganggu. Apalagi kalau jualannya sepi.
Bayangin saja, lihat penjual es campur dikerubuti orang. Udah gitu mangkalnya tepat di depan gerobaknya menghalangi penglihatan. Saya sendiri bisa merasakan. Pasti rasanya mangkel. Pasti rasanya kesel. Kurang-kurang menahan emosi bisa-bisa adu jotos. Begitulah persaingan dagang. Dari dulu sampai sekarang resikonya tidak jauh dari itu. Penuh dengan intrik. Penuh dengan drama. Padahal niat semua pedagang sebenarnya sama. Mencari rezeki buat menafkahi keluarga.