Warung Bersejarah dan Legendaris itu Sekarang Tinggal Kenangan
JAM 2 dini hari. Atau telatnya jam 3 dini hari. Angkot itu datang. Jemput pemilik warung yang mau belanja ke pasar. Sudah biasa. Setiap hari. Yang punya warung belanja ke pasarnya suka dini hari. Berburu makanan, buah-buahan, dan sayuran segar. Dengan angkot yang sama. Pulangnya jam 5 shubuh. Membawa belanjaan yang tadi sudah saya sebut. Belanjaan tersebut kemudian dijajakan di warung dan jadi rebutan ibu-ibu.
Hari ini, entah kenapa, saya kangen masa-masa itu. Dulu, waktu saya kecil. Waktu SD dan SMP. Yang punya warung belanja ke pasarnya suka naik angkot. Waktu kecil saya ini orangnya penakut. Setiap ada orang yang meninggal. Saya suka susah tidur. Saya baru tidur kalau sudah dengar suara angkot berhenti di depan rumah pemilik warung. Yang rumahnya di pinggir jalan. Bersebrangan dengan rumah orang tua saya.
Pas saya SMA. Budaya belanja ke pasar naik angkot pelan-pelan mulai terkikis. Yang punya warung seringnya belanja sendiri pakai motor diantar suaminya. Pas SMA itu, saya jadi jarang mendengar lagi suara angkot berhenti di depan rumah pemilik warung. Saya jadi jarang mendengar supir angkot mengetuk atau menggedor-gedor pintu rumah pemilik warung. Saya seringnya dengerin musik di radio. Waktu itu saya sudah mulai suka begadang.
Yang punya warung. Masih ada ikatan saudara dengan saya. Suaminya adalah adik dari nenek saya. Tapi beda ibu. Ibu saya suka manggil paman atau ibu ke pemilik warung. Anak-anak pemilik warung ke ibu saya ada yang manggil Teteh ada juga yang panggil Uwa (Tante). Dulu, jarang ada yang buka warung. Di kampung saya yang buka warung cuma satu orang. Selain butuh modal yang besar kalau mau buka warung. Orang-orang zaman dulu masih punya tatakrama
Yang punya warung. Saudaranya banyak. Salah satu kakaknya ada yang buka warung juga. Di kampung sebelah. Kalau sayuran atau makanan di warung adiknya nggak ada. Ibu saya suka beli ke warung kakaknya. Kata ibu, harga di warung kakaknya lebih murah. Terus kalau mau ngutang nggak dibatasin dan jarang ditagih. Beda dengan adiknya, selain dibatasin, nggak boleh banyak-banyak ngutangnya. Orangnya juga cerewet, suka nagih dan suka jadi biang gosip.
Kedua pemilik warung itu. Baik adiknya mau pun kakaknya. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Orangnya sudah sakit-sakitan. Yang lebih memprihatinkan. Warung adiknya sudah dijual ke orang kaya. Uangnya dipakai buat ngelunasin anaknya yang punya hutang. Rumahnya sekarang pindah ke belakang masuk ke dalam gang.
Sementara warung kakaknya masih ada. Rumahnya tetap di pinggir jalan. Warungnya dilanjutin oleh anaknya. Tapi sudah beda konsep. Warungnya nggak jualan lagi makanan, buah-buahan dan sayur-sayuran segar. Tapi lebih ke jual makanan dan minuman kekinian. Info terakhir yang saya dapat. Warung tersebut sekarang sudah jadi milik salah satu anaknya.
Pantesan konsep warungnya berubah. Ternyata sudah buka waris. Harta benda yang dimiliki oleh orang tuanya sudah dibagikan ke anak-anaknya. Kedua warung bersejarah dan sangat legendaris itu sekarang tinggal kenangan. Ibu saya, dan ibu-ibu yang lain, yang ingat akan masa-masa itu, banyak yang merasa kehilangan.
Hari ini, entah kenapa, saya kangen masa-masa itu. Dulu, waktu saya kecil. Waktu SD dan SMP. Yang punya warung belanja ke pasarnya suka naik angkot. Waktu kecil saya ini orangnya penakut. Setiap ada orang yang meninggal. Saya suka susah tidur. Saya baru tidur kalau sudah dengar suara angkot berhenti di depan rumah pemilik warung. Yang rumahnya di pinggir jalan. Bersebrangan dengan rumah orang tua saya.
Pas saya SMA. Budaya belanja ke pasar naik angkot pelan-pelan mulai terkikis. Yang punya warung seringnya belanja sendiri pakai motor diantar suaminya. Pas SMA itu, saya jadi jarang mendengar lagi suara angkot berhenti di depan rumah pemilik warung. Saya jadi jarang mendengar supir angkot mengetuk atau menggedor-gedor pintu rumah pemilik warung. Saya seringnya dengerin musik di radio. Waktu itu saya sudah mulai suka begadang.
Yang punya warung. Masih ada ikatan saudara dengan saya. Suaminya adalah adik dari nenek saya. Tapi beda ibu. Ibu saya suka manggil paman atau ibu ke pemilik warung. Anak-anak pemilik warung ke ibu saya ada yang manggil Teteh ada juga yang panggil Uwa (Tante). Dulu, jarang ada yang buka warung. Di kampung saya yang buka warung cuma satu orang. Selain butuh modal yang besar kalau mau buka warung. Orang-orang zaman dulu masih punya tatakrama
Yang punya warung. Saudaranya banyak. Salah satu kakaknya ada yang buka warung juga. Di kampung sebelah. Kalau sayuran atau makanan di warung adiknya nggak ada. Ibu saya suka beli ke warung kakaknya. Kata ibu, harga di warung kakaknya lebih murah. Terus kalau mau ngutang nggak dibatasin dan jarang ditagih. Beda dengan adiknya, selain dibatasin, nggak boleh banyak-banyak ngutangnya. Orangnya juga cerewet, suka nagih dan suka jadi biang gosip.
Kedua pemilik warung itu. Baik adiknya mau pun kakaknya. Kondisinya sangat mengkhawatirkan. Orangnya sudah sakit-sakitan. Yang lebih memprihatinkan. Warung adiknya sudah dijual ke orang kaya. Uangnya dipakai buat ngelunasin anaknya yang punya hutang. Rumahnya sekarang pindah ke belakang masuk ke dalam gang.
Sementara warung kakaknya masih ada. Rumahnya tetap di pinggir jalan. Warungnya dilanjutin oleh anaknya. Tapi sudah beda konsep. Warungnya nggak jualan lagi makanan, buah-buahan dan sayur-sayuran segar. Tapi lebih ke jual makanan dan minuman kekinian. Info terakhir yang saya dapat. Warung tersebut sekarang sudah jadi milik salah satu anaknya.
Pantesan konsep warungnya berubah. Ternyata sudah buka waris. Harta benda yang dimiliki oleh orang tuanya sudah dibagikan ke anak-anaknya. Kedua warung bersejarah dan sangat legendaris itu sekarang tinggal kenangan. Ibu saya, dan ibu-ibu yang lain, yang ingat akan masa-masa itu, banyak yang merasa kehilangan.