Efek Pandemi, Banyak Suami Istri yang Menjadi Pedagang Dadakan
SETIAP beli jajanan di pinggir jalan kayak gorengan, nasi uduk, bubur ayam, sate atau kupat tahu. Saya jarang memperhatikan siapa penjualnya. Yang saya perhatikan selalu harga, rasa, pelayanan, dan lokasi jualan. Siapa penjualnya buat saya tidak penting. Karena percuma juga saya perhatikan profil pedagang. Kalau dagangnya tidak memuaskan. Saya belinya cuma satu kali atau dua kali.
Barusan waktu saya beli kue serabi di salah satu perempatan yang sering kelewatan kalau mau pergi ke pasar. Saya tiba-tiba kepikiran untuk membahas secara detil dan rinci para pedagang yang jualan di pinggir jalan. Saya baru ngeh dari semua jajanan yang saya beli baik itu yang sudah langganan atau yang hanya sambil lewat. Ternyata ada sebuah kesamaan. Para pedagang itu rata-rata suami istri.
Saat berjualan mereka memiliki peran masing-masing. Seperti penjual kue serabi yang barusan saya beli. Istrinya melayani pembeli. Suaminya memasak gorengan. Di tempat lain, posisinya malah ada yang terbalik. Suaminya melayani pembeli. Istrinya memasak gorengan. Pun dengan pedagang-pedagang lain yang jualannya sebagian sudah saya sebut di atas. Mereka berbagi posisi. Bekerjasama saling berkolaborasi.
Sebelum kita bahas lebih jauh. Ada pemandangan unik dan menarik yang terjadi selama satu dua tahun belakangan ini. Semenjak adanya pandemi, di mana banyak perusahan kecil dan besar gulung tikar, banyak pegawai dan karyawan yang dirumahkan. Saya melihat banyak suami istri yang menjadi pedagang dadakan. Mereka berjualan mulai dari makanan cemilan seperti seblak, sosis bakar, cimol, basreng, risolger. Sampai aneka minuman seperti teh manis, kopi mix, es campur dan sop buah.
Fenomena ini kemungkinan terjadi karena efek pandemi yang begitu dahsyat. Gara-gara pandemi pemasukan dan pengeluaran jadi terguncang. Alhasil, kita harus putar otak gimana caranya agar dapur tetap ngebul. Anak-anak bisa makan. Cicilan rumah, motor, mobil tetap lancar. Bayar iuran sekolah, bayar tagihan listrik, bayar PDAM dan bayar kontrakan tidak nunggak. Di samping itu gaya hidup masyarakat juga mungkin berpengaruh.
Seperti kita tahu, semenjak mudahnya kita mengakses internet. Semenjak menjamurnya toko online. Dan canggihnya fitur-fitur yang ada di smartphone. Termasuk berbagai macam aplikasi berbagi foto dan video. Budaya masyarakat kita lambat laun jadi berubah. Zaman dulu yang jualan di kampung paling satu dua orang. Coba sekarang hampir setiap belokan. Hampir setiap gang. Bahkan hanya terhalang satu dua rumah orang-orang sudah tidak malu lagi untuk berjualan.
Hal ini tentu sangat wajar dan lumrah. Rezeki sudah ada yang mengatur. Tugas kita tinggal berusaha dan berdoa. Dengan adanya pandemi justru kita harus berpikir cepat dan cermat. Kira-kira peluang bisnis apa yang bisa dijadikan sebagai mata pencaharian. Bisnis online dan offline kalau sekiranya bisa dijalankan dua-duanya kenapa nggak. Yang penting, sebagai suami istri, kita harus satu visi satu misi. Tujuan utama kita adalah nyenengin anak-anak. Nyenengin keluarga tercinta.
Barusan waktu saya beli kue serabi di salah satu perempatan yang sering kelewatan kalau mau pergi ke pasar. Saya tiba-tiba kepikiran untuk membahas secara detil dan rinci para pedagang yang jualan di pinggir jalan. Saya baru ngeh dari semua jajanan yang saya beli baik itu yang sudah langganan atau yang hanya sambil lewat. Ternyata ada sebuah kesamaan. Para pedagang itu rata-rata suami istri.
Saat berjualan mereka memiliki peran masing-masing. Seperti penjual kue serabi yang barusan saya beli. Istrinya melayani pembeli. Suaminya memasak gorengan. Di tempat lain, posisinya malah ada yang terbalik. Suaminya melayani pembeli. Istrinya memasak gorengan. Pun dengan pedagang-pedagang lain yang jualannya sebagian sudah saya sebut di atas. Mereka berbagi posisi. Bekerjasama saling berkolaborasi.
Sebelum kita bahas lebih jauh. Ada pemandangan unik dan menarik yang terjadi selama satu dua tahun belakangan ini. Semenjak adanya pandemi, di mana banyak perusahan kecil dan besar gulung tikar, banyak pegawai dan karyawan yang dirumahkan. Saya melihat banyak suami istri yang menjadi pedagang dadakan. Mereka berjualan mulai dari makanan cemilan seperti seblak, sosis bakar, cimol, basreng, risolger. Sampai aneka minuman seperti teh manis, kopi mix, es campur dan sop buah.
Fenomena ini kemungkinan terjadi karena efek pandemi yang begitu dahsyat. Gara-gara pandemi pemasukan dan pengeluaran jadi terguncang. Alhasil, kita harus putar otak gimana caranya agar dapur tetap ngebul. Anak-anak bisa makan. Cicilan rumah, motor, mobil tetap lancar. Bayar iuran sekolah, bayar tagihan listrik, bayar PDAM dan bayar kontrakan tidak nunggak. Di samping itu gaya hidup masyarakat juga mungkin berpengaruh.
Seperti kita tahu, semenjak mudahnya kita mengakses internet. Semenjak menjamurnya toko online. Dan canggihnya fitur-fitur yang ada di smartphone. Termasuk berbagai macam aplikasi berbagi foto dan video. Budaya masyarakat kita lambat laun jadi berubah. Zaman dulu yang jualan di kampung paling satu dua orang. Coba sekarang hampir setiap belokan. Hampir setiap gang. Bahkan hanya terhalang satu dua rumah orang-orang sudah tidak malu lagi untuk berjualan.
Hal ini tentu sangat wajar dan lumrah. Rezeki sudah ada yang mengatur. Tugas kita tinggal berusaha dan berdoa. Dengan adanya pandemi justru kita harus berpikir cepat dan cermat. Kira-kira peluang bisnis apa yang bisa dijadikan sebagai mata pencaharian. Bisnis online dan offline kalau sekiranya bisa dijalankan dua-duanya kenapa nggak. Yang penting, sebagai suami istri, kita harus satu visi satu misi. Tujuan utama kita adalah nyenengin anak-anak. Nyenengin keluarga tercinta.