Di Rumah Mertua Siaran Bola Selalu Diacak
BEGITU sah jadi suami istri. Mertua saya, terutama ibu mertua, pengen kita tinggal di rumah mertua. Kerja bantuin mereka. Ibu mertua selain jadi ibu rumah tangga sehari-hari suka bertani. Sedang ayah mertua, selain bertani, setiap hari suka ngirim kayu bahbir buat dijadiin kayu bakar ke pabrik-pabrik tahu di kampung sebelah.
Idealnya, mungkin saya akan menemani ayah mertua jadi supir pribadi. Karena ayah mertua nggak bisa nyetir sendiri. Yang jadi supirnya biasanya tetangga. Gantian. Nggak netap. Kadang supirnya si A. Kadang supirnya si B. Selama saya menikah supirnya gonta-ganti kurang lebih ada enam orang.
Gara-gara keinginan mertua tersebut. Hubungan saya dengan mertua di awal-awal pernikahan kurang harmonis. Saya dengan mertua seperti ada gap. Waktu itu saya benar-benar mengalami konflik bathin. Satu sisi, waktu saya menikah belum ada kerjaan. Logis dan realistis kalau mertua sampai nyuruh saya tinggal di kampung bantuin mereka.
Di lain sisi, saya lagi merintis bisnis online. Saya tidak mau perjuangan saya selama ini, setiap hari bolak-balik ke warnet. Kadang jalan kaki, kadang naik sepeda, turun naik bis, harus terhenti hanya karena obsesi mertua. Ego saya waktu itu masih tinggi. Dalam benak saya. Ketika saya sudah menikah saya pengen mandiri. Tidak mau bergantung pada siapa pun. Termasuk orang tua dan mertua.
Seiring berjalannya waktu. Ketika onak dan duri kehidupan selama pernikahan sudah saya lalui bersama. Susah, sedih, senang, bahagia, sudah saya rasakan berdua. Sedikit demi sedikit ego saya mulai turun. Dulu hati saya mungkin masih keras. Kuping saya masih budeg. Tidak mau dengar saran dari kiri dan kanan. Sekarang saya sudah mulai tersadar.
Saya pikir keinginan mertua tidak salah dan ada benarnya. Seperti cenayang, pandangan mereka sudah jauh menatap ke depan. Buktinya, dengan ujian kehidupan yang bertubi-tubi menimpa saya. Kehidupan saya masih berjalan stagnan. Bahkan saat ini saya dihadapkan pada masalah pelik dan hutang yang lumayan cukup besar.
Satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan tidak mau tinggal bersama mertua adalah mobilitas, jaringan komunikasi, dan instalasi listrik. Saya suka jalan-jalan dan nonton bola. Di rumah mertua siaran bola selalu diacak. Jaringan komunikasi belum stabil. Udah gitu tiap hari sering padam listrik. Saat artikel ini saya tulis. Jam 2 pagi. Di rumah mertua sedang dalam keadaan gelap gulita. Entah kapan nyalanya.
Idealnya, mungkin saya akan menemani ayah mertua jadi supir pribadi. Karena ayah mertua nggak bisa nyetir sendiri. Yang jadi supirnya biasanya tetangga. Gantian. Nggak netap. Kadang supirnya si A. Kadang supirnya si B. Selama saya menikah supirnya gonta-ganti kurang lebih ada enam orang.
Gara-gara keinginan mertua tersebut. Hubungan saya dengan mertua di awal-awal pernikahan kurang harmonis. Saya dengan mertua seperti ada gap. Waktu itu saya benar-benar mengalami konflik bathin. Satu sisi, waktu saya menikah belum ada kerjaan. Logis dan realistis kalau mertua sampai nyuruh saya tinggal di kampung bantuin mereka.
Di lain sisi, saya lagi merintis bisnis online. Saya tidak mau perjuangan saya selama ini, setiap hari bolak-balik ke warnet. Kadang jalan kaki, kadang naik sepeda, turun naik bis, harus terhenti hanya karena obsesi mertua. Ego saya waktu itu masih tinggi. Dalam benak saya. Ketika saya sudah menikah saya pengen mandiri. Tidak mau bergantung pada siapa pun. Termasuk orang tua dan mertua.
Seiring berjalannya waktu. Ketika onak dan duri kehidupan selama pernikahan sudah saya lalui bersama. Susah, sedih, senang, bahagia, sudah saya rasakan berdua. Sedikit demi sedikit ego saya mulai turun. Dulu hati saya mungkin masih keras. Kuping saya masih budeg. Tidak mau dengar saran dari kiri dan kanan. Sekarang saya sudah mulai tersadar.
Saya pikir keinginan mertua tidak salah dan ada benarnya. Seperti cenayang, pandangan mereka sudah jauh menatap ke depan. Buktinya, dengan ujian kehidupan yang bertubi-tubi menimpa saya. Kehidupan saya masih berjalan stagnan. Bahkan saat ini saya dihadapkan pada masalah pelik dan hutang yang lumayan cukup besar.
Satu-satunya alasan yang membuat saya bertahan tidak mau tinggal bersama mertua adalah mobilitas, jaringan komunikasi, dan instalasi listrik. Saya suka jalan-jalan dan nonton bola. Di rumah mertua siaran bola selalu diacak. Jaringan komunikasi belum stabil. Udah gitu tiap hari sering padam listrik. Saat artikel ini saya tulis. Jam 2 pagi. Di rumah mertua sedang dalam keadaan gelap gulita. Entah kapan nyalanya.