Di Kampung Mertua Parabola Masih Menjadi Barang Yang Istimewa
ARTIKEL ini harusnya saya posting minggu lalu. Waktu saya masih di rumah mertua. Atau setelah pulang dari rumah mertua. Artikel ini telat terbit karena berbagai alasan. Saya punya kebiasaan kalau sudah terlambat saya tidak akan mempostingnya. Apalagi kalau tulisannya masih dalam bentuk draft. Masih separuh belum selesai semuanya. Artikelnya suka saya hapus. Ide-idenya sudah terbang. Mau diterusin juga males. Moodnya sudah hilang.
Tapi khusus artikel yang ini. Meski masih berbentuk draft. Belum selesai semuanya. Saya perlakukan istimewa. Karena ada sesuatu yang harus saya ceritakan. Kalau tidak saya posting rasanya sayang banget. Jadi saya memutuskan untuk menyelesaikan artikel ini. Kebetulan ide-idenya masih ada. Masih nempel di kepala. Alhamdulillah, hari ini artikelnya sudah bisa teman-teman baca.
Waktu saya pulang ke rumah mertua. Hari pertama saya makan dengan mie rebus. Bukan tidak ada makanan. Tapi waktu kita nyampe pas adzan maghrib. Terus mertua tidak tahu kalau kita akan datang. Jadi hari itu kita makan yang ada saja. Mau nyari makan keluar juga capek. Makanannya belum tentu ada. Kalau pun ada. Makanannya pasti sudah dingin.
Hari kedua, makanan-makanan yang saya ingini mulai tersaji. Begitu pun hari ke tiga dan seterusnya. Makanan yang kebanyakan dipetik dari kebun semacam jengkol, petai, terong, ketimun, kerupuk, rengginang, goreng ayam, bakar ayam, goreng ikan dan bakar ikan semua habis saya lahap. Belum serabi, bubur ayam, dan mie ayam yang rasanya tidak ada dua. Di rumah mertua, soal makanan, rasanya tidak ada yang kurang.
Yang tidak ada di rumah mertua cuma satu. Yaitu acara sepakbola. Di rumah mertua jangan harap kita bisa menonton Liga Italia, Liga Ingggris, atau Liga Indonesia. Di kampung mertua semua warga menggunakan pemancar parabola. Setiap ada jadwal pertandingan sepakbola layar tivinya langsung ngelaut. Beruntung kompetisi Liga Italia, dan Liga Inggris belum dimulai. Jadi saya tidak dibuat stress.
Ngomongin parabola. Ingatan saya tiba-tiba melayang ke tahun 94-95. Waktu itu Persib juara Liga Dunhill. Saya yang masih anak-anak nontonnya lewat parabola di rumah tetangga. Kita, semua warga yang suka sepakbola, nonton semi final dan finalnya di sana. Tahun 94-95 banyak orang yang pasang parabola. Dengan memasang parabola kita bisa nonton tv seluruh dunia. Bisa nonton TV3, bisa nonton MTV, dan lain-lain.
Dulu waktu masih pacaran. Saya kaget ternyata di kampung calon mertua warganya pada pasang parabola. Padahal di tempat saya parabola sudah menjadi rongsokan. Parabola sudah menjadi bagian dari nostalgia. Tapi sekarang saya sudah tidak kaget lagi. Sudah terbiasa malah. Di kampung mertua parabola masih menjadi barang yang istimewa. Tanpa parabola orang-orang di sana tidak bisa nonton tv. Tidak bisa mengetahui kabar yang terjadi di dunia.
Tapi khusus artikel yang ini. Meski masih berbentuk draft. Belum selesai semuanya. Saya perlakukan istimewa. Karena ada sesuatu yang harus saya ceritakan. Kalau tidak saya posting rasanya sayang banget. Jadi saya memutuskan untuk menyelesaikan artikel ini. Kebetulan ide-idenya masih ada. Masih nempel di kepala. Alhamdulillah, hari ini artikelnya sudah bisa teman-teman baca.
Waktu saya pulang ke rumah mertua. Hari pertama saya makan dengan mie rebus. Bukan tidak ada makanan. Tapi waktu kita nyampe pas adzan maghrib. Terus mertua tidak tahu kalau kita akan datang. Jadi hari itu kita makan yang ada saja. Mau nyari makan keluar juga capek. Makanannya belum tentu ada. Kalau pun ada. Makanannya pasti sudah dingin.
Hari kedua, makanan-makanan yang saya ingini mulai tersaji. Begitu pun hari ke tiga dan seterusnya. Makanan yang kebanyakan dipetik dari kebun semacam jengkol, petai, terong, ketimun, kerupuk, rengginang, goreng ayam, bakar ayam, goreng ikan dan bakar ikan semua habis saya lahap. Belum serabi, bubur ayam, dan mie ayam yang rasanya tidak ada dua. Di rumah mertua, soal makanan, rasanya tidak ada yang kurang.
Yang tidak ada di rumah mertua cuma satu. Yaitu acara sepakbola. Di rumah mertua jangan harap kita bisa menonton Liga Italia, Liga Ingggris, atau Liga Indonesia. Di kampung mertua semua warga menggunakan pemancar parabola. Setiap ada jadwal pertandingan sepakbola layar tivinya langsung ngelaut. Beruntung kompetisi Liga Italia, dan Liga Inggris belum dimulai. Jadi saya tidak dibuat stress.
Ngomongin parabola. Ingatan saya tiba-tiba melayang ke tahun 94-95. Waktu itu Persib juara Liga Dunhill. Saya yang masih anak-anak nontonnya lewat parabola di rumah tetangga. Kita, semua warga yang suka sepakbola, nonton semi final dan finalnya di sana. Tahun 94-95 banyak orang yang pasang parabola. Dengan memasang parabola kita bisa nonton tv seluruh dunia. Bisa nonton TV3, bisa nonton MTV, dan lain-lain.
Dulu waktu masih pacaran. Saya kaget ternyata di kampung calon mertua warganya pada pasang parabola. Padahal di tempat saya parabola sudah menjadi rongsokan. Parabola sudah menjadi bagian dari nostalgia. Tapi sekarang saya sudah tidak kaget lagi. Sudah terbiasa malah. Di kampung mertua parabola masih menjadi barang yang istimewa. Tanpa parabola orang-orang di sana tidak bisa nonton tv. Tidak bisa mengetahui kabar yang terjadi di dunia.