Hasrat dan Gairah Saya Menonton Sepakbola Perlahan Mulai Memudar
HASRAT dan gairah saya untuk menonton sepakbola perlahan mulai berkurang. Kalau ditanya apa penyebabnya banyak banget. Mulai dari usia. Dari acara siaran langsung. Dari prestasi dan performa klub favourit. Sampai ke urusan kontrak dan perpindahan para pemain yang tak pernah bertahan lama di satu klub karena alasan profesionalisme.
Soal perpindahan pemain ini termasuk bibit atau benih yang membuat hasrat dan gairah saya dalam menonton sepakbola mulai memudar. Ceritanya dulu waktu ayah saya berlangganan tabliod GO (Gema Olahraga). Waktu itu lagi zaman seru-serunya Liga Italia dan PSSI Primavera. Zaman Kurniawan Dwi Yulianto main di FC Luzern Swiss dan sempat dikontrak oleh klub Serie A Sampdoria.
Tabloid GO seingat saya terbit dua kali dalam seminggu. Hari selasa dan hari kamis. Lagi seru-serunya ngikutin berita terkini sepakbola Eropa. Tiba-tiba musim kompetisi harus berakhir. Pada musim berikutnya saya harus menerima kenyataan pemain yang saya suka tidak lagi bermain di klub favourit. Di situlah saya mulai dihinggapi rasa kecewa. Waktu itu saya belum ngeh masalah transfer dan nilai kontrak.
Setelah kecewa dengan perpindahan para pemain. Saya dikecewakan lagi oleh acara siaran langsung yang tidak bisa dimonopoli oleh salah satu stasiun televisi. Teman-teman mungkin masih ingat. Liga Italia waktu itu disiarkan oleh RCTI. Liga Inggris oleh SCTV. Liga Belanda oleh TPI (sekarang MNC TV) Liga Jerman oleh TVRI. Ganti tahun ternyata ganti hak siar juga. RCTI sudah nggak nayangin lagi Liga Italia. SCTV sudah nggak nayangin lagi Liga Inggris.
Hasrat dan gairah saya untuk menonton sepakbola kian memudar setelah adanya TV kabel. Untuk menonton tayangan sepakbola kita harus berlangganan. Pertandingan yang kita tonton di TV swasta kadang pertandingan sisa. Yang bertanding hanya tim-tim semenjana yang kurang begitu populer. Pertandingan-pertandingan Big Match seringnya tayang di TV berbayar. Di salah satu platform atau salah satu aplikasi.
Makin pudar lagi setelah klub favourit saya seperti AC Milan dan Liverpool prestasinya kurang begitu meyakinkan. Tahun lalu Liverpool gagal juara. Tahun ini posisinya belum stabil masih naik turun. AC Milan tahun kemarin oke lah bisa juara. Tapi di Liga Champions AC Milan babak belur. Kalah dari Chelsea dengan aggregat 5-0. AC Milan yang dulu bukanlah AC Milan yang sekarang. Sejarah dan nama besar hanya bisa dikenang. Tidak bisa dipertahankan.
Gimana dengan kompetisi Liga Indonesia. Waduh kalau itu saya no comment lah. Ruwet banget. Saya nulis artikel ini juga karena jenuh, bosan, plus galau. Kompetisi tiba-tiba terhenti. Nggak ada lagi hiburan di kala waktu senggang. Padahal, kompetisi lagi seru-serunya. Pelatih-pelatih mahal dengan gaji milyaran berdatangan. Satu-satunya hiburan paling nonton cuplikan gol di Youtube. Lewat Youtube waktu kita melek semalaman setidaknya bisa dipangkas.
Soal perpindahan pemain ini termasuk bibit atau benih yang membuat hasrat dan gairah saya dalam menonton sepakbola mulai memudar. Ceritanya dulu waktu ayah saya berlangganan tabliod GO (Gema Olahraga). Waktu itu lagi zaman seru-serunya Liga Italia dan PSSI Primavera. Zaman Kurniawan Dwi Yulianto main di FC Luzern Swiss dan sempat dikontrak oleh klub Serie A Sampdoria.
Tabloid GO seingat saya terbit dua kali dalam seminggu. Hari selasa dan hari kamis. Lagi seru-serunya ngikutin berita terkini sepakbola Eropa. Tiba-tiba musim kompetisi harus berakhir. Pada musim berikutnya saya harus menerima kenyataan pemain yang saya suka tidak lagi bermain di klub favourit. Di situlah saya mulai dihinggapi rasa kecewa. Waktu itu saya belum ngeh masalah transfer dan nilai kontrak.
Setelah kecewa dengan perpindahan para pemain. Saya dikecewakan lagi oleh acara siaran langsung yang tidak bisa dimonopoli oleh salah satu stasiun televisi. Teman-teman mungkin masih ingat. Liga Italia waktu itu disiarkan oleh RCTI. Liga Inggris oleh SCTV. Liga Belanda oleh TPI (sekarang MNC TV) Liga Jerman oleh TVRI. Ganti tahun ternyata ganti hak siar juga. RCTI sudah nggak nayangin lagi Liga Italia. SCTV sudah nggak nayangin lagi Liga Inggris.
Hasrat dan gairah saya untuk menonton sepakbola kian memudar setelah adanya TV kabel. Untuk menonton tayangan sepakbola kita harus berlangganan. Pertandingan yang kita tonton di TV swasta kadang pertandingan sisa. Yang bertanding hanya tim-tim semenjana yang kurang begitu populer. Pertandingan-pertandingan Big Match seringnya tayang di TV berbayar. Di salah satu platform atau salah satu aplikasi.
Makin pudar lagi setelah klub favourit saya seperti AC Milan dan Liverpool prestasinya kurang begitu meyakinkan. Tahun lalu Liverpool gagal juara. Tahun ini posisinya belum stabil masih naik turun. AC Milan tahun kemarin oke lah bisa juara. Tapi di Liga Champions AC Milan babak belur. Kalah dari Chelsea dengan aggregat 5-0. AC Milan yang dulu bukanlah AC Milan yang sekarang. Sejarah dan nama besar hanya bisa dikenang. Tidak bisa dipertahankan.
Gimana dengan kompetisi Liga Indonesia. Waduh kalau itu saya no comment lah. Ruwet banget. Saya nulis artikel ini juga karena jenuh, bosan, plus galau. Kompetisi tiba-tiba terhenti. Nggak ada lagi hiburan di kala waktu senggang. Padahal, kompetisi lagi seru-serunya. Pelatih-pelatih mahal dengan gaji milyaran berdatangan. Satu-satunya hiburan paling nonton cuplikan gol di Youtube. Lewat Youtube waktu kita melek semalaman setidaknya bisa dipangkas.