Sejarah Kampung yang Lolos dari Incaran Tentara Belanda
SELAIN panjang umur dan nambah rezeki. Silaturahmi kadang bisa membuka tabir misteri, mengenal silsilah, garis keturunan, dan sejarah suatu daerah atau suatu kampung yang selama ini belum kita ketahui. Itu yang saya temui beberapa hari yang lalu waktu nyurvey rumah yang mau dijual.
Sebelum jemput anak pulang sekolah. Saya ditelpon salah satu mediator, di satu kampung katanya ada rumah pinggir jalan yang mau dijual. Harganya sangat murah. Karena lokasi rumah yang mau dijual masih satu arah dengan sekolahan anak saya. Tanpa banyak pertimbangan saya langsung berangkat menuju lokasi.
Rumah yang mau dijual bangunannya lumayan besar. Lokasinya benar ada di pinggir jalan. Sayangnya, jalannya hanya bisa dilalui kendaraan dari satu arah. Kalau ada kendaraan saling berpapasan dari arah yang berlawanan nggak ada lahan untuk menepi. Lokasi rumahnya pas turunan. Salah satu mobil harus ada yang mengalah. Harus mundur ke atas atau mundur ke bawah.
Walau pun berada di pinggir jalan. Menurut saya rumahnya nggak bakal kepake. Sebelum ditawarin ke konsumen. Saya harus memposisikan diri sebagai pembeli. Udah jalannya sempit. Rumahnya nggak terawat. Air juga susah. Untuk kebutuhan sehari-hari. Pemilik rumah suka minta ke tetangga. Sama saudara mungkin nggak ada masalah. Kalau sudah dibeli oleh orang lain urusannya bakalan repot.
Habis motoin rumah. Depan samping belakang. Saya ngobrol dengan orang-orang yang ada di sana. Dengan pemilik rumah dan saudara-saudaranya. Pemilik rumah rupanya masih saudaraan dengan tukang bubur ayam langganan saya waktu bujangan. Setelah tahu silsilah dan garis keturunan pemilik rumah. Saya jadi teringat kisah saya di masa lalu.
Tiap habis maghrib saya dan teman saya suka beli bubur ayam. Bubur ayamnya enak. Jualannya di rumah. Kita nyantap bubur ayam di teras depan. Yang beli banyak. Waktu itu lagi zaman radio gelap. Orang-orang pada kirim salam. Kertas request-nya beli perlembar 250 perak. Yang jual bubur ayam sama yang punya radio gelap rumahnya tetanggaan. Jadi tiap malam orang-orang dari mana-mana banyak yang datang.
Kembali ke soal jual rumah. Kampung pemilik rumah ini ternyata kampung bersejarah. Kampung tersebut lolos dari incaran penjajah. Dibidik dari kejauhan oleh tentara Belanda konon nggak kelihatan. Padahal di kampung ini dulu sudah banyak penduduk. Karena aman nggak sampai digeruduk oleh Belanda penduduk kampung terus beranak pinak sampai generasi sekarang. Saya mempercayai cerita itu, karena kiri kanan banyak sekali kuburan lama.
Sebelum jemput anak pulang sekolah. Saya ditelpon salah satu mediator, di satu kampung katanya ada rumah pinggir jalan yang mau dijual. Harganya sangat murah. Karena lokasi rumah yang mau dijual masih satu arah dengan sekolahan anak saya. Tanpa banyak pertimbangan saya langsung berangkat menuju lokasi.
Rumah yang mau dijual bangunannya lumayan besar. Lokasinya benar ada di pinggir jalan. Sayangnya, jalannya hanya bisa dilalui kendaraan dari satu arah. Kalau ada kendaraan saling berpapasan dari arah yang berlawanan nggak ada lahan untuk menepi. Lokasi rumahnya pas turunan. Salah satu mobil harus ada yang mengalah. Harus mundur ke atas atau mundur ke bawah.
Walau pun berada di pinggir jalan. Menurut saya rumahnya nggak bakal kepake. Sebelum ditawarin ke konsumen. Saya harus memposisikan diri sebagai pembeli. Udah jalannya sempit. Rumahnya nggak terawat. Air juga susah. Untuk kebutuhan sehari-hari. Pemilik rumah suka minta ke tetangga. Sama saudara mungkin nggak ada masalah. Kalau sudah dibeli oleh orang lain urusannya bakalan repot.
Habis motoin rumah. Depan samping belakang. Saya ngobrol dengan orang-orang yang ada di sana. Dengan pemilik rumah dan saudara-saudaranya. Pemilik rumah rupanya masih saudaraan dengan tukang bubur ayam langganan saya waktu bujangan. Setelah tahu silsilah dan garis keturunan pemilik rumah. Saya jadi teringat kisah saya di masa lalu.
Tiap habis maghrib saya dan teman saya suka beli bubur ayam. Bubur ayamnya enak. Jualannya di rumah. Kita nyantap bubur ayam di teras depan. Yang beli banyak. Waktu itu lagi zaman radio gelap. Orang-orang pada kirim salam. Kertas request-nya beli perlembar 250 perak. Yang jual bubur ayam sama yang punya radio gelap rumahnya tetanggaan. Jadi tiap malam orang-orang dari mana-mana banyak yang datang.
Kembali ke soal jual rumah. Kampung pemilik rumah ini ternyata kampung bersejarah. Kampung tersebut lolos dari incaran penjajah. Dibidik dari kejauhan oleh tentara Belanda konon nggak kelihatan. Padahal di kampung ini dulu sudah banyak penduduk. Karena aman nggak sampai digeruduk oleh Belanda penduduk kampung terus beranak pinak sampai generasi sekarang. Saya mempercayai cerita itu, karena kiri kanan banyak sekali kuburan lama.