Ikut Program Transmigrasi Zaman Presiden Soeharto
SUASANA di komplek sekolah sudah mulai sepi. Guru, murid, dan penjaga kantin, sudah pada pulang. Di teras depan rumah teman anak saya yang berhadapan langsung dengan gerbang sekolah, cuma terhalang kolam ikan dan bangunan kantin, saya menatap gedung dua tingkat tempat anak saya menimba ilmu dengan perasaan nggak karuan.
Sore itu cuaca agak sedikit mendung. Di teras rumah teman anak saya. Saya selonjoran seperti orang nggak ada kerjaan. Mana nggak pegang Hp lagi. Pemilik rumah sepertinya sedang keluar. Pintu rumah terkunci rapat. Kalau nggak nungguin anak saya yang sedang sowan ke rumah temannya yang sedang ulang tahun, dari tadi mungkin saya sudah pulang.
Sambil nunggu anak saya datang. Katanya sebentar cuma mau ngasih kue donat sama kado ulang tahun. Saya kembali mengingat percakapan dengan pedagang cilor yang sempat saya ajak ngobrol di depan sekolah. Sebenarnya saya ingin menahan pedagang cilor tersebut agar tidak buru-buru pergi. Biar saya ada teman ngobrol. Tapi pedagang cilor sepertinya mau keliling ke tampat lain, saya persilakan pedagang cilor berkemas memberesi dagangannya.
Dari percakapan sebentar yang saya lakukan dengan pedagang cilor. Saya termasuk orang yang beruntung. Beruntung karena tidak mengalami apa yang dialami oleh pedagang cilor. Beruntung karena saya senang menulis. Saya jadi punya bahan buat bikin artikel. Sebuah perjalanan hidup yang sangat mengharukan. Di luaran sana, saya yakin ada orang-orang yang senasib dengan pedagang cilor.
Pedagang cilor anaknya sudah tiga. Anak pertama sekolah di SMK. Anak kedua sekolah di SD. Anak ke tiga usianya masih kecil. Pedagang cilor aslinya orang Palembang. Setelah lulus dari SMP, ketika teman-teman sepermainannya di kampung melanjutkan sekolah ke SMA, pedagang cilor justru ikut saudaranya merantau ke pulau Jawa. Kota pertama yang dia singgahi adalah kota Boyolali.
Setelah dari Boyolali, pedagang cilor merantau ke Jakarta. Habis dari Jakarta. Pedagang cilor sempat merantau lagi ke beberapa kota di Jawa Barat, sampai akhirnya menetap di Tasikmalaya, dapat jodoh orang Tasikmalaya. Dari cerita singkat perjalanan hidupnya yang dia ceritakan ke saya. Ada dua hal yang bisa saya tangkap. Pertama, selain mencari pengalaman, pedagang cilor tertarik merantau ke sebuah kota, karena penasaran dengan mitos-mitos daerah yang melegenda.
Alasan kuat dia ingin merantau ke Tasikmalaya pun salah satunya karena dia tertarik dengan Gunung Galunggung yang kental sekali dengan mitos. Btw, pengetahuan saya soal mitos masih terbatas. Masih dangkal. Saya bukan ahli sejarah. Di sini saya tidak akan berbicara lebih jauh terkait hal-hal yang berbau mistik. Yang bikin saya tergelitik justru alasan ke dua kenapa pedagang cilor berani merantau di usia muda.
Pedagang cilor ternyata anak broken home. Dari kecil ikut sama neneknya. Sampai dia menikah dan punya anak tiga. Dia nggak pernah kenal dan tahu wajah ibunya. Saat dia masih bayi, kedua orang tuanya bercerai. Dia dirawat oleh nenek dari ayahnya. Waktu saya tanya ibunya asli orang mana. Ibunya ternyata orang sunda. Menikah dengan ayahnya asli orang Palembang, karena orang tua ibunya, dulu ikut program transmigrasi zaman Presiden Soeharto.
Sore itu cuaca agak sedikit mendung. Di teras rumah teman anak saya. Saya selonjoran seperti orang nggak ada kerjaan. Mana nggak pegang Hp lagi. Pemilik rumah sepertinya sedang keluar. Pintu rumah terkunci rapat. Kalau nggak nungguin anak saya yang sedang sowan ke rumah temannya yang sedang ulang tahun, dari tadi mungkin saya sudah pulang.
Sambil nunggu anak saya datang. Katanya sebentar cuma mau ngasih kue donat sama kado ulang tahun. Saya kembali mengingat percakapan dengan pedagang cilor yang sempat saya ajak ngobrol di depan sekolah. Sebenarnya saya ingin menahan pedagang cilor tersebut agar tidak buru-buru pergi. Biar saya ada teman ngobrol. Tapi pedagang cilor sepertinya mau keliling ke tampat lain, saya persilakan pedagang cilor berkemas memberesi dagangannya.
Dari percakapan sebentar yang saya lakukan dengan pedagang cilor. Saya termasuk orang yang beruntung. Beruntung karena tidak mengalami apa yang dialami oleh pedagang cilor. Beruntung karena saya senang menulis. Saya jadi punya bahan buat bikin artikel. Sebuah perjalanan hidup yang sangat mengharukan. Di luaran sana, saya yakin ada orang-orang yang senasib dengan pedagang cilor.
Pedagang cilor anaknya sudah tiga. Anak pertama sekolah di SMK. Anak kedua sekolah di SD. Anak ke tiga usianya masih kecil. Pedagang cilor aslinya orang Palembang. Setelah lulus dari SMP, ketika teman-teman sepermainannya di kampung melanjutkan sekolah ke SMA, pedagang cilor justru ikut saudaranya merantau ke pulau Jawa. Kota pertama yang dia singgahi adalah kota Boyolali.
Setelah dari Boyolali, pedagang cilor merantau ke Jakarta. Habis dari Jakarta. Pedagang cilor sempat merantau lagi ke beberapa kota di Jawa Barat, sampai akhirnya menetap di Tasikmalaya, dapat jodoh orang Tasikmalaya. Dari cerita singkat perjalanan hidupnya yang dia ceritakan ke saya. Ada dua hal yang bisa saya tangkap. Pertama, selain mencari pengalaman, pedagang cilor tertarik merantau ke sebuah kota, karena penasaran dengan mitos-mitos daerah yang melegenda.
Alasan kuat dia ingin merantau ke Tasikmalaya pun salah satunya karena dia tertarik dengan Gunung Galunggung yang kental sekali dengan mitos. Btw, pengetahuan saya soal mitos masih terbatas. Masih dangkal. Saya bukan ahli sejarah. Di sini saya tidak akan berbicara lebih jauh terkait hal-hal yang berbau mistik. Yang bikin saya tergelitik justru alasan ke dua kenapa pedagang cilor berani merantau di usia muda.
Pedagang cilor ternyata anak broken home. Dari kecil ikut sama neneknya. Sampai dia menikah dan punya anak tiga. Dia nggak pernah kenal dan tahu wajah ibunya. Saat dia masih bayi, kedua orang tuanya bercerai. Dia dirawat oleh nenek dari ayahnya. Waktu saya tanya ibunya asli orang mana. Ibunya ternyata orang sunda. Menikah dengan ayahnya asli orang Palembang, karena orang tua ibunya, dulu ikut program transmigrasi zaman Presiden Soeharto.