Benci Pelajaran Matematika dan Pelajaran Bahasa Arab
SELAIN matematika, pelajaran yang paling saya benci adalah bahasa Arab. Jika pelajaran matematika saya males berhitung. Males pembagian dan kali-kalian. Pelajaran bahasa Arab saya males kalau disuruh nulis huruf Arab. Tulisan saya jelek. Setiap guru ngasih tugas nyalin huruf Arab yang ditulis di papan tulis, saya selalu kesulitan. Ngumpulin tugas ke meja gurunya suka telat.
Lulus dari SD saya sempat mesantren di salah satu pesantren yang terkenal di zaman Orba. Jika saya sebutin nama pesantrennya teman-teman pasti bakalan tahu. Tapi, karena sesuatu dan lain hal, salah satunya karena ayah saya kecurian uang yang cukup besar waktu lagi berdagang, saya memutuskan untuk keluar dari pesantren tersebut. Saya pulang kampung dan meneruskan sekolah di MTS.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Pelajaran agama di MTS malah lebih banyak di banding sekolah umum. Ada pelajaran bahasa Arab, sejarah kebudayaan islam, fiqih, dan aqidah ahlak. Perasaan benci yang saya bawa dari SD membuat saya kerap absen setiap ada pelajaran tersebut. Efeknya, setiap akhir tahun ajaran, rapor saya banyak merahnya karena sering nggak masuk kelas.
Setelah lulus dari MTS. Saya sempat daftar ke SMK, tapi nggak dilanjutin karena keburu krismon. Di saat nggak sekolah itu saya baru sadar. Apa yang saya lakukan selama ini salah. Dalam kesendirian, saya sering merenung, sikap dan prilaku saya terhadap pelajaran matematika dan pelajaran bahasa Arab bukan datang dari saya pribadi. Melainkan terpengaruh oleh lingkungan di mana teman-teman saya kala itu sering bersikap dan berafirmasi negatif.
Saat luntang-lantung nggak jelas. Sekolah nggak. Kerja nggak. Saya benar-benar menyesal dan merasa bersalah. Seandainya waktu bisa diputar ulang. Saya akan rajin sekolah. Semua pelajaran yang diajarkan oleh guru akan saya lahap. Akan saya pelajari dengan giat dan tekun. Rasa bersalah kian memuncak begitu melihat teman saya yang dulu mesantren dengan saya, lulus dari pesantren bukannya jadi ustadz malah main cewek.
Penyesalan emang datangnya selalu terlambat. Latar belakang keluarga dan faktor lingkungan benar-benar berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Sikap dan perbuatan kita selama ini tidak terlepas dari dengan siapa kita sering bersinggungan dan berinteraksi. Cuma pada saat itu, karena belum dewasa, hikmah dan kebijaksaannya belum sampai, saya tidak bisa menghindar dari keadaan.
Satu-satunya balas dendam terbaik yang bisa saya lakukan untuk menebus semua kesalahan saya di masa lalu adalah dengan menyekolahkan anak saya di sekolah favourit. Gara-gara masa lalu saya yang kelam itu. Saya sampai melaksanakan sholat istikharah untuk meminta petunjuk di mana anak saya harus disekolahkan. Saya nggak mau tinggal di rumah mertua pun, salah satu pertimbangannya adalah faktor pendidikan.
Saya tidak tahu apa yang sudah saya lakukan ini termasuk berhasil atau belum. Yang jelas anak saya saat ini sudah selesai melaksanakan ujian akhir kenaikan kelas, kata gurunya sudah hafal Juz 30. Penasaran, saya coba tes secara acak beberapa ayat al-quran, ternyata anak saya bisa meneruskannya dengan lancar. Dulu waktu saya SD, boro-boro menghafal al-quran, nulis huruf Arab saja masih belepotan. Sementara anak saya masih kelas 3 MI sudah hafal Juz 30.
Lulus dari SD saya sempat mesantren di salah satu pesantren yang terkenal di zaman Orba. Jika saya sebutin nama pesantrennya teman-teman pasti bakalan tahu. Tapi, karena sesuatu dan lain hal, salah satunya karena ayah saya kecurian uang yang cukup besar waktu lagi berdagang, saya memutuskan untuk keluar dari pesantren tersebut. Saya pulang kampung dan meneruskan sekolah di MTS.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Pelajaran agama di MTS malah lebih banyak di banding sekolah umum. Ada pelajaran bahasa Arab, sejarah kebudayaan islam, fiqih, dan aqidah ahlak. Perasaan benci yang saya bawa dari SD membuat saya kerap absen setiap ada pelajaran tersebut. Efeknya, setiap akhir tahun ajaran, rapor saya banyak merahnya karena sering nggak masuk kelas.
Setelah lulus dari MTS. Saya sempat daftar ke SMK, tapi nggak dilanjutin karena keburu krismon. Di saat nggak sekolah itu saya baru sadar. Apa yang saya lakukan selama ini salah. Dalam kesendirian, saya sering merenung, sikap dan prilaku saya terhadap pelajaran matematika dan pelajaran bahasa Arab bukan datang dari saya pribadi. Melainkan terpengaruh oleh lingkungan di mana teman-teman saya kala itu sering bersikap dan berafirmasi negatif.
Saat luntang-lantung nggak jelas. Sekolah nggak. Kerja nggak. Saya benar-benar menyesal dan merasa bersalah. Seandainya waktu bisa diputar ulang. Saya akan rajin sekolah. Semua pelajaran yang diajarkan oleh guru akan saya lahap. Akan saya pelajari dengan giat dan tekun. Rasa bersalah kian memuncak begitu melihat teman saya yang dulu mesantren dengan saya, lulus dari pesantren bukannya jadi ustadz malah main cewek.
Penyesalan emang datangnya selalu terlambat. Latar belakang keluarga dan faktor lingkungan benar-benar berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Sikap dan perbuatan kita selama ini tidak terlepas dari dengan siapa kita sering bersinggungan dan berinteraksi. Cuma pada saat itu, karena belum dewasa, hikmah dan kebijaksaannya belum sampai, saya tidak bisa menghindar dari keadaan.
Satu-satunya balas dendam terbaik yang bisa saya lakukan untuk menebus semua kesalahan saya di masa lalu adalah dengan menyekolahkan anak saya di sekolah favourit. Gara-gara masa lalu saya yang kelam itu. Saya sampai melaksanakan sholat istikharah untuk meminta petunjuk di mana anak saya harus disekolahkan. Saya nggak mau tinggal di rumah mertua pun, salah satu pertimbangannya adalah faktor pendidikan.
Saya tidak tahu apa yang sudah saya lakukan ini termasuk berhasil atau belum. Yang jelas anak saya saat ini sudah selesai melaksanakan ujian akhir kenaikan kelas, kata gurunya sudah hafal Juz 30. Penasaran, saya coba tes secara acak beberapa ayat al-quran, ternyata anak saya bisa meneruskannya dengan lancar. Dulu waktu saya SD, boro-boro menghafal al-quran, nulis huruf Arab saja masih belepotan. Sementara anak saya masih kelas 3 MI sudah hafal Juz 30.
Subhanallah. Saya benar-benar merasa takjub, terharu, sekaligus malu.