Rasa Mangkel itu Sekarang sudah Hilang, Ganti jadi Kasihan
KENANGAN yang masih saya ingat dari saudara saya. Dulu saya diajak main ke luar kota nyusul istrinya yang lagi ngambek. Terus di perjalanan dijajanin batagor yang lagi mangkal di pinggir jalan, sambil istirahat ngelemesin otot yang sudah pegel-pegel. Sama satu lagi, dia pernah bolak balik main ke kontrakan minjem duit 50 ribu, janji besok mau dilunasin.
Untuk urusan utang piutang, dari dulu sudah saya ikhlasin, saya bilang ke saudara saya jangan diinget-inget. Anggap saja lunas. Kalau dapat rezeki mending kasih ke anak-anak. Soal dijajanin batagor. Sampai sekarang saya masih mangkel. Bayangan saya, main ke luar kota, kalau bawa uang sedikit minimal singgahnya di warung kopi. Ini malah dijajanin batagor.
Rasa mangkelnya mirip waktu saya diajak jogging ke taman olahraga oleh teman saya suatu hari. Saya kan penyuka bubur ayam. Habis jogging teman saya ngajak sarapan. Tiap saya nunjuk penjual bubur ayam yang menurut saya enak, teman saya selalu ngelak, jangan di sini nanti saja di sana. Eh, tau-taunya malah ditraktir bubur kacang ijo.
Saudara saya kini sedang terbaring sakit. Waktu saya tengok kondisinya sangat memprihatinkan. Kata anak-anaknya. Si bapa suka selang-seling. Kadang inget kadang nggak. Pernah ada yang nengok mereka ngobrol sangat akrab. Begitu yang nengok pulang. Saudara saya nanya ke anak-anaknya, yang datang ke rumah barusan siapa.
Lihat kondisinya begitu mengkhawatirkan. Tiba-tiba saya jadi merasa kasihan. Beberapa waktu yang lalu, saudara saya pernah main ke rumah, ngambil jamu buat nyembuhin penyakit maag. Saya kira sudah sembuh, sudah bisa kerja lagi bantu-bantu di bengkel punya orang, ternyata sakitnya malah keterusan.
Saya jadi merasa berdosa. Meski saudara saya itu saudara jauh. Anak dari adiknya nenek saya dari bapak beda ibu. Tapi karena dulu waktu masih muda sering main di rumah orang tua. Rasanya kayak saudara dekat. Ibunya juga waktu saya lagi sakit ngasih perhatian yang sangat besar ke saya. Sudah sepantasnya saya juga ngasih perhatian yang besar ke dia.
Yang bikin saya nyesek. Saudara saya sakitnya mungkin karena kelaparan. Dia kerjanya serabutan. Duit dari bengkel nggak cukup buat makan sehari-hari. Semenjak ditinggal pergi oleh istrinya. Hidupnya nggak ada yang ngurus. Anak-anaknya masih kecil. Masih pada seneng main, belum tahu gimana caranya merhatiin orang tua.
Saya sendiri tidak habis pikir. Saudara saya kan adik-adiknya banyak. Kalau nggak punya uang buat makan. Kenapa nggak minta ke adik-adiknya. Yang saya tahu, adik-adiknya usahanya pada lancar. Kok bisa sampai nggak merhatiin kakaknya yang sedang mengalami krisis ekonomi. Kalau tahu saudara saya kondisinya seperti itu. Mungkin saya akan rutin ngasih duit dan makanan ke dia.
Setelah nengok saudara ke rumahnya. Rasa mangkel itu sekarang sudah hilang. Saya berdoa, semoga saudara saya yang sekarang lagi di rawat di rumah sakit cepat sembuh, bisa kerja lagi seperti sedia kala. Biar saya bisa melakukan hal-hal terbaik yang bisa saya lakukan. Syukur-syukur saudara saya bisa dapat lagi jodoh yang baik, dapat istri yang salihah, bisa menerima kekurangan dan kelebihan seorang suami.
Untuk urusan utang piutang, dari dulu sudah saya ikhlasin, saya bilang ke saudara saya jangan diinget-inget. Anggap saja lunas. Kalau dapat rezeki mending kasih ke anak-anak. Soal dijajanin batagor. Sampai sekarang saya masih mangkel. Bayangan saya, main ke luar kota, kalau bawa uang sedikit minimal singgahnya di warung kopi. Ini malah dijajanin batagor.
Rasa mangkelnya mirip waktu saya diajak jogging ke taman olahraga oleh teman saya suatu hari. Saya kan penyuka bubur ayam. Habis jogging teman saya ngajak sarapan. Tiap saya nunjuk penjual bubur ayam yang menurut saya enak, teman saya selalu ngelak, jangan di sini nanti saja di sana. Eh, tau-taunya malah ditraktir bubur kacang ijo.
Saudara saya kini sedang terbaring sakit. Waktu saya tengok kondisinya sangat memprihatinkan. Kata anak-anaknya. Si bapa suka selang-seling. Kadang inget kadang nggak. Pernah ada yang nengok mereka ngobrol sangat akrab. Begitu yang nengok pulang. Saudara saya nanya ke anak-anaknya, yang datang ke rumah barusan siapa.
Lihat kondisinya begitu mengkhawatirkan. Tiba-tiba saya jadi merasa kasihan. Beberapa waktu yang lalu, saudara saya pernah main ke rumah, ngambil jamu buat nyembuhin penyakit maag. Saya kira sudah sembuh, sudah bisa kerja lagi bantu-bantu di bengkel punya orang, ternyata sakitnya malah keterusan.
Saya jadi merasa berdosa. Meski saudara saya itu saudara jauh. Anak dari adiknya nenek saya dari bapak beda ibu. Tapi karena dulu waktu masih muda sering main di rumah orang tua. Rasanya kayak saudara dekat. Ibunya juga waktu saya lagi sakit ngasih perhatian yang sangat besar ke saya. Sudah sepantasnya saya juga ngasih perhatian yang besar ke dia.
Yang bikin saya nyesek. Saudara saya sakitnya mungkin karena kelaparan. Dia kerjanya serabutan. Duit dari bengkel nggak cukup buat makan sehari-hari. Semenjak ditinggal pergi oleh istrinya. Hidupnya nggak ada yang ngurus. Anak-anaknya masih kecil. Masih pada seneng main, belum tahu gimana caranya merhatiin orang tua.
Saya sendiri tidak habis pikir. Saudara saya kan adik-adiknya banyak. Kalau nggak punya uang buat makan. Kenapa nggak minta ke adik-adiknya. Yang saya tahu, adik-adiknya usahanya pada lancar. Kok bisa sampai nggak merhatiin kakaknya yang sedang mengalami krisis ekonomi. Kalau tahu saudara saya kondisinya seperti itu. Mungkin saya akan rutin ngasih duit dan makanan ke dia.
Setelah nengok saudara ke rumahnya. Rasa mangkel itu sekarang sudah hilang. Saya berdoa, semoga saudara saya yang sekarang lagi di rawat di rumah sakit cepat sembuh, bisa kerja lagi seperti sedia kala. Biar saya bisa melakukan hal-hal terbaik yang bisa saya lakukan. Syukur-syukur saudara saya bisa dapat lagi jodoh yang baik, dapat istri yang salihah, bisa menerima kekurangan dan kelebihan seorang suami.