Kilas Balik ke Masa Penjajahan Jepang, Gerombolan DI TII, dan Kerusuhan Tahun 1998
PALING asyik kalau orang tua sudah bercerita. Terutama kisah masa lalunya saat masih muda. Kita seperti diajak masuk ke dalam sebuah lorong waktu. Meski tidak pernah ngalamin. Dengar ceritanya saja. Kita seolah berada di masa itu. Bisa ngebayangin. Bisa ngerasain. Gimana peristiwa yang diceritain itu terjadi. Kalau kisahnya lucu, kita ikut tertawa. Kalau kisahnya heroik, kita ikut tegang.
Dua hari ke belakang. Saya bertemu dengan orang-orang luar biasa yang usianya jauh di atas saya. Pertemuan yang sederhana. Tidak direncanakan sebelumnya. Tapi sangat-sangat bermakna. Karena saya bisa mendengar kisah-kisah masa lalu yang dialamin oleh dua orang luar biasa tersebut. Mereka bisa dibilang saksi sekaligus pelaku sejarah cerita-cerita kelam yang saya tonton di televisi atau baca beritanya di koran.
Saya akan mulai dari pertemuan saya dengan seorang kakek di salah satu lapak onderdil sepeda bekas. Awalnya saya ingin ketemu Mang Ikin. Tapi Mang Ikinnya nggak ada. Di sana saya malah ketemu dengan kakek-kakek yang tingkahnya lucu dan kocak. Si kakek katanya kelahiran tahun 1932. Tapi fisiknya masih sehat. Bicaranya masih lantang. Penglihatannya masih jelas. Cuma giginya sudah ompong. Pendengarannya sudah mulai agak berkurang.
Si kakek pernah ngalamin masa penjajahan Jepang. Dia bisa bahasa Jepang dengan pasih dan lancar. Dia juga ngalamin masa pemberontakan G30S PKI dan gerombolan DI TII. Khusus gerombolan DI TII dia masih hafal lagu dan yel-yel pasukan DI TII. Pada masa penjajahan Jepang. Konon, dia melihat dengan mata kepala sendiri. Seorang istri pemilik toko keturunan Tionghoa (maaf) diperkosa oleh 3 tentara Jepang.
Keesokan harinya saya ketemu dengan bapak-bapak di sebuah klinik waktu antar anak saya ke dokter. Bapak-bapak tersebut kakaknya dokter yang punya klinik. Sambil nungguin anak saya diperiksa. Saya ngobrol dengan bapak-bapak tersebut. Kalau si kakek ngalamin masa penjajahan Jepang, G30S PKI, dan gerombolan DI TII. Si bapak yang ini ngalamin krisis moneter dan kerusuhan tahun 1998.
Pada saat kerusuhan tahun 1998 yang berbau etnis dan sara. Si bapak katanya belum menikah, masih bujangan, tapi sudah bekerja di Jakarta. Pada saat kerusuhan meletus si Bapak melihat dengan mata kepala sendiri betapa kacaunya keadaan Ibukota saat itu. Pengrusakan dan penjarahan terjadi di mana-mana. Toko-toko dibakar, dilemparin batu. Semua barang-barang yang ada di toko diambil. Dijarah oleh orang-orang.
Waktu saya tanya: "bapak ikutan menjarah?" Si bapak langsung menjawab: "nggak!" katanya. Si bapak justru ngamanin kampung. Kerja sama menjalin komunikasi dengan kampung sebelah agar tidak terjadi perang saudara. Dalam situasi kacau seperti itu, terselip kisah lucu juga. Pada saat si bapak lagi jagain kampung. Banyak orang yang nitip barang jarahan ke si bapak. Yang bikin saya ketawa, barang-barang yang dititipin ke si bapak, dicuri dan dijarah lagi oleh orang lain.
Dua hari ke belakang. Saya bertemu dengan orang-orang luar biasa yang usianya jauh di atas saya. Pertemuan yang sederhana. Tidak direncanakan sebelumnya. Tapi sangat-sangat bermakna. Karena saya bisa mendengar kisah-kisah masa lalu yang dialamin oleh dua orang luar biasa tersebut. Mereka bisa dibilang saksi sekaligus pelaku sejarah cerita-cerita kelam yang saya tonton di televisi atau baca beritanya di koran.
Saya akan mulai dari pertemuan saya dengan seorang kakek di salah satu lapak onderdil sepeda bekas. Awalnya saya ingin ketemu Mang Ikin. Tapi Mang Ikinnya nggak ada. Di sana saya malah ketemu dengan kakek-kakek yang tingkahnya lucu dan kocak. Si kakek katanya kelahiran tahun 1932. Tapi fisiknya masih sehat. Bicaranya masih lantang. Penglihatannya masih jelas. Cuma giginya sudah ompong. Pendengarannya sudah mulai agak berkurang.
Si kakek pernah ngalamin masa penjajahan Jepang. Dia bisa bahasa Jepang dengan pasih dan lancar. Dia juga ngalamin masa pemberontakan G30S PKI dan gerombolan DI TII. Khusus gerombolan DI TII dia masih hafal lagu dan yel-yel pasukan DI TII. Pada masa penjajahan Jepang. Konon, dia melihat dengan mata kepala sendiri. Seorang istri pemilik toko keturunan Tionghoa (maaf) diperkosa oleh 3 tentara Jepang.
Keesokan harinya saya ketemu dengan bapak-bapak di sebuah klinik waktu antar anak saya ke dokter. Bapak-bapak tersebut kakaknya dokter yang punya klinik. Sambil nungguin anak saya diperiksa. Saya ngobrol dengan bapak-bapak tersebut. Kalau si kakek ngalamin masa penjajahan Jepang, G30S PKI, dan gerombolan DI TII. Si bapak yang ini ngalamin krisis moneter dan kerusuhan tahun 1998.
Pada saat kerusuhan tahun 1998 yang berbau etnis dan sara. Si bapak katanya belum menikah, masih bujangan, tapi sudah bekerja di Jakarta. Pada saat kerusuhan meletus si Bapak melihat dengan mata kepala sendiri betapa kacaunya keadaan Ibukota saat itu. Pengrusakan dan penjarahan terjadi di mana-mana. Toko-toko dibakar, dilemparin batu. Semua barang-barang yang ada di toko diambil. Dijarah oleh orang-orang.
Waktu saya tanya: "bapak ikutan menjarah?" Si bapak langsung menjawab: "nggak!" katanya. Si bapak justru ngamanin kampung. Kerja sama menjalin komunikasi dengan kampung sebelah agar tidak terjadi perang saudara. Dalam situasi kacau seperti itu, terselip kisah lucu juga. Pada saat si bapak lagi jagain kampung. Banyak orang yang nitip barang jarahan ke si bapak. Yang bikin saya ketawa, barang-barang yang dititipin ke si bapak, dicuri dan dijarah lagi oleh orang lain.