Status Jomblo Kita Tidak akan Menjadi Beban Orang-Orang
KELAMAAN ngejomblo itu tidak baik. Selain ngerusak pola pikir. Pola hidup juga bakalan berubah. Setidaknya itu yang saya rasakan. Dulu. Waktu saya masih remaja. Maka kasak kusuklah saya mencari kekasih. Siapa pun. Dari mana pun. Bebas. Kaya miskin relatif. Kuliahan atau anak sekolah. Nggak masalah. Asal lawan jenis. Saya ini laki-laki normal. Saya ini perjaka tulen.
Tapi pengen buru-buru punya pacar juga ternyata tidak sehat. Ini menyangkut perasaan. Bukan jual beli barang. Satu sama lain harus saling kenal. Kalau kita terpaksa menjomblo. Kenapa mesti malu. Kenapa mesti gengsi. Malu dan gengsi hanya soal persepsi. Toh, kalau kita jomblo kita sendiri yang menikmati dan merasakan. Status jomblo kita tidak akan menjadi beban orang-orang.
Sayangnya, fenomena waktu itu, yang namanya jomblo tetap saja bikin nggak tenang hidup. Bikin kepala ngebul dan kuping runcing. Status jomblo udah mirip aib. Yang menyandangnya harus dikucilkan. Harus dipandang sebelah mata. Tidak boleh nimbrung di warung kopi. Tidak boleh nongkrong di cafe dan restoran. Kecuali punya teman dekat. Masih satu circle. Atau uang di dalam kantong masih tebal.
Karena situasi dan kondisi waktu itu sangat tidak bersahabat. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Terpaksa saya harus buru-buru mencari gebetan. Udah nggak meduliin lagi perasaan. Bodo amat. Status jomblo saya harus segera dirubah. Kalau perlu pakai sistem kebut semalam. Besok atau lusa saya harus punya pacar. Masalahnya, saat itu saya benar-benar kesulitan. Tidak ada cewek yang masuk kriteria.
Tibalah saya pada satu momen. Di mana saya begitu terharu dan terhanyut pada naskah dan adegan yang ditampilkan salah satu teater di dalam gedung kesenian. Saya masih ingat. Judulnya: Qais dan Laila. Soundtrack-nya kenangan terindah Samsons. Kebetulan waktu itu saya nonton berempat. Dua laki-laki dua perempuan. Pulang dari gedung kesenian. Saya coba beranikan diri untuk menulis surat. Nyatain cinta.
Hari ini. Rabu 17 Agustus 2022. Kenangan saat remaja itu kembali mencuat. Surat cinta saya dibalas. Tapi isinya diluar perkiraan. Cinta saya ditolak. Padahal, saya sudah pede. Sudah yakin 100%. Cinta saya tidak akan bertepuk sebelah tangan. Perempuan itu ternyata lebih memilih mengejar cita-cita ketimbang harus jatuh cinta. Atau bisa saja saya bukan tipe dia. Jadi saya ditolak secara halus.
Dia. Perempuan yang nolak cinta saya itu. Lahirnya bulan Agustus. Bertepatan dengan hari raya kemerdekaan negara kita. Hari ini. Saya yakin dia sudah merdeka. Merdeka secara finansial. Merdeka dari kebodohan. Merdeka dari cinta dan rindu abu-abu seorang jomblo akut. Yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu jatuh cinta pada anak seorang guru. Namun sekarang, si jomblo akut itu, sudah bertobat dan sudah menemukan hakikat. Merdeka artinya tidak terikat.
Tapi pengen buru-buru punya pacar juga ternyata tidak sehat. Ini menyangkut perasaan. Bukan jual beli barang. Satu sama lain harus saling kenal. Kalau kita terpaksa menjomblo. Kenapa mesti malu. Kenapa mesti gengsi. Malu dan gengsi hanya soal persepsi. Toh, kalau kita jomblo kita sendiri yang menikmati dan merasakan. Status jomblo kita tidak akan menjadi beban orang-orang.
Sayangnya, fenomena waktu itu, yang namanya jomblo tetap saja bikin nggak tenang hidup. Bikin kepala ngebul dan kuping runcing. Status jomblo udah mirip aib. Yang menyandangnya harus dikucilkan. Harus dipandang sebelah mata. Tidak boleh nimbrung di warung kopi. Tidak boleh nongkrong di cafe dan restoran. Kecuali punya teman dekat. Masih satu circle. Atau uang di dalam kantong masih tebal.
Karena situasi dan kondisi waktu itu sangat tidak bersahabat. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Terpaksa saya harus buru-buru mencari gebetan. Udah nggak meduliin lagi perasaan. Bodo amat. Status jomblo saya harus segera dirubah. Kalau perlu pakai sistem kebut semalam. Besok atau lusa saya harus punya pacar. Masalahnya, saat itu saya benar-benar kesulitan. Tidak ada cewek yang masuk kriteria.
Tibalah saya pada satu momen. Di mana saya begitu terharu dan terhanyut pada naskah dan adegan yang ditampilkan salah satu teater di dalam gedung kesenian. Saya masih ingat. Judulnya: Qais dan Laila. Soundtrack-nya kenangan terindah Samsons. Kebetulan waktu itu saya nonton berempat. Dua laki-laki dua perempuan. Pulang dari gedung kesenian. Saya coba beranikan diri untuk menulis surat. Nyatain cinta.
Hari ini. Rabu 17 Agustus 2022. Kenangan saat remaja itu kembali mencuat. Surat cinta saya dibalas. Tapi isinya diluar perkiraan. Cinta saya ditolak. Padahal, saya sudah pede. Sudah yakin 100%. Cinta saya tidak akan bertepuk sebelah tangan. Perempuan itu ternyata lebih memilih mengejar cita-cita ketimbang harus jatuh cinta. Atau bisa saja saya bukan tipe dia. Jadi saya ditolak secara halus.
Dia. Perempuan yang nolak cinta saya itu. Lahirnya bulan Agustus. Bertepatan dengan hari raya kemerdekaan negara kita. Hari ini. Saya yakin dia sudah merdeka. Merdeka secara finansial. Merdeka dari kebodohan. Merdeka dari cinta dan rindu abu-abu seorang jomblo akut. Yang tidak tahu diri dan tidak tahu malu jatuh cinta pada anak seorang guru. Namun sekarang, si jomblo akut itu, sudah bertobat dan sudah menemukan hakikat. Merdeka artinya tidak terikat.