Satu Kampung Setiap Hari Sarapan Paginya Selalu Bubur Ayam
SUDAH sering saya menulis di blog ini bahwa saya termasuk penyuka bubur ayam. Kali ini saya ingin bercerita tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan bubur ayam. Cuma kali ini agak beda. Jika sebelum-sebelumnya saya cerita tentang rasa, tentang lokasi, dan sosok pedagang bubur ayam. Kali ini saya ingin bercerita tentang kampung. Teman-teman pasti penasaran kan?
Di setiap kampung pasti ada orang yang suka dengan bubur ayam. Bisa 1 orang, bisa 2 orang, atau 5 orang. Suka di sini dalam arti addict banget ya alias fanatik. Contohnya saya. Sementara adik saya, orang tua saya, atau tetangga saya. Mereka setengah-setengah. Dibilang suka, iya. Dibilang nggak suka juga, iya. Mereka beli dalam kondisi tertentu saja.
Di kampung teman-teman juga kemungkinan gitu. Tidak semua orang suka dengan bubur ayam. Bisa saja teman-teman termasuk orang yang tidak suka tersebut. Kalau lagi jalan-jalan ke kota. Antar anak dan istri belanja. Atau ke pasar beli buah-buahan dan sayuran. Teman-teman mungkin lebih tertarik makan mie bakso, mie ayam, sate, soto, lengko, atau ketoprak.
Saat di rumah pun. Ketika ada pedagang bubur ayam. Entah itu pakai gerobak atau pakai sepeda motor. Sikap teman-teman biasa saja. Sarapan pagi teman-teman lebih suka makan gorengan, kue serabi, atau nasi kuning. Pun saat teman-teman mau makan malam. Kalau nggak ada makanan di rumah. Ketimbang beli bubur ayam. Teman-teman lebih suka makan mie goreng, nasi goreng, pecel lele, atau martabak.
Nah, di sini, ada satu kampung yang mayoritas masyarakatnya suka dengan bubur ayam. Kampung tersebut setiap hari tiap saya antar anak sekolah suka kelewatan. Saya tahu warga di sana suka dengan bubur ayam. Awalnya dari cerita pedagang bubur ayam sendiri waktu saya lagi beli. Belakangan, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Ibu-ibu, bapak-bapak, cewek cowok dan anak-anak. Setiap pagi suka beli bubur ayam.
Waktu saya ngobrol dengan pedagang bubur ayamnya. Kampung tersebut termasuk kampung favourit. Dia tidak khawatir jualannya tidak laku. Tinggal datang saja ke kampung tersebut jualannya dijamin laris. Saking lakunya, kampung tersebut kadang jadi tujuan terakhir. Dia jualan dulu ke kampung lain. Kalau belum habis langsung pergi ke kampung tersebut.
Beberapa hari ini. Saya lihat pedagang bubur ayam yang biasa saya beli nggak ada. Adanya pedagang lain. Tapi sepeda motornya sama. Bubur ayamnya juga sama. Saya nggak tahu apakah pedagang yang biasa saya beli sakit atau sudah pindah profesi nggak jualan bubur ayam lagi. Yang saya lihat, meski pedagangnya beda orang, warga di kampung tersebut tetap antusias beli bubur ayam setiap pagi buat sarapan.
Di setiap kampung pasti ada orang yang suka dengan bubur ayam. Bisa 1 orang, bisa 2 orang, atau 5 orang. Suka di sini dalam arti addict banget ya alias fanatik. Contohnya saya. Sementara adik saya, orang tua saya, atau tetangga saya. Mereka setengah-setengah. Dibilang suka, iya. Dibilang nggak suka juga, iya. Mereka beli dalam kondisi tertentu saja.
Di kampung teman-teman juga kemungkinan gitu. Tidak semua orang suka dengan bubur ayam. Bisa saja teman-teman termasuk orang yang tidak suka tersebut. Kalau lagi jalan-jalan ke kota. Antar anak dan istri belanja. Atau ke pasar beli buah-buahan dan sayuran. Teman-teman mungkin lebih tertarik makan mie bakso, mie ayam, sate, soto, lengko, atau ketoprak.
Saat di rumah pun. Ketika ada pedagang bubur ayam. Entah itu pakai gerobak atau pakai sepeda motor. Sikap teman-teman biasa saja. Sarapan pagi teman-teman lebih suka makan gorengan, kue serabi, atau nasi kuning. Pun saat teman-teman mau makan malam. Kalau nggak ada makanan di rumah. Ketimbang beli bubur ayam. Teman-teman lebih suka makan mie goreng, nasi goreng, pecel lele, atau martabak.
Nah, di sini, ada satu kampung yang mayoritas masyarakatnya suka dengan bubur ayam. Kampung tersebut setiap hari tiap saya antar anak sekolah suka kelewatan. Saya tahu warga di sana suka dengan bubur ayam. Awalnya dari cerita pedagang bubur ayam sendiri waktu saya lagi beli. Belakangan, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Ibu-ibu, bapak-bapak, cewek cowok dan anak-anak. Setiap pagi suka beli bubur ayam.
Waktu saya ngobrol dengan pedagang bubur ayamnya. Kampung tersebut termasuk kampung favourit. Dia tidak khawatir jualannya tidak laku. Tinggal datang saja ke kampung tersebut jualannya dijamin laris. Saking lakunya, kampung tersebut kadang jadi tujuan terakhir. Dia jualan dulu ke kampung lain. Kalau belum habis langsung pergi ke kampung tersebut.
Beberapa hari ini. Saya lihat pedagang bubur ayam yang biasa saya beli nggak ada. Adanya pedagang lain. Tapi sepeda motornya sama. Bubur ayamnya juga sama. Saya nggak tahu apakah pedagang yang biasa saya beli sakit atau sudah pindah profesi nggak jualan bubur ayam lagi. Yang saya lihat, meski pedagangnya beda orang, warga di kampung tersebut tetap antusias beli bubur ayam setiap pagi buat sarapan.