Ngasih Nama Merk Perusahaan Jangan Ngasal
PULANG dari rumah mertua, kita ngebakso lagi di mie bakso yang kemarin sempat saya ceritain. Yang rasanya enak. Harganya Rp 10.000 perporsi. Lucunya, kita ngalamin kejadian yang sama. Pertama beli bakso di sana, waktu itu kita milih duduk di meja paling dalam, tiba-tiba ada rombongan keluarga datang rame-rame makan bakso di sana. Kemarin, waktu kita milih meja paling depan dekat pintu keluar, ada lagi rombongan keluarga yang makan bakso rame-rame.
Apakah itu sebuah kebetulan. Rasanya bukan. Rombongan keluarga makan bakso rame-rame kayaknya sudah menjadi pemandangan biasa di sana. Yang aneh justru saya, istri, dan anak saya. Terbukti abang tukang parkirnya sampai senyum-senyum begitu saya memarkirkan sepeda motor. Si abang tukang parkirnya mungkin masih ingat dengan wajah saya. Dalam hatinya pasti ngomong, ini orang rupanya kepincut sama mie bakso tempat dia nyari nafkah.
Rasa baksonya memang bikin nagih. Kalau nggak enak, ngapain saya singgah lagi. Tapi, enak dalam arti untuk kelas Rp 10.000 perporsi. Kalau harga baksonya di atas Rp 10.000, misal Rp 15.000 atau Rp 18.000. Harganya kemahalan. Bakso yang harga perporsinya Rp 15.000 atau Rp 18.000 beda lagi level dan porsinya. Sebagai pecinta bakso, lidah saya bisa membedakan rasa bakso sesuai patokan harga standar.
Btw, saya tidak akan ngebahas lebih jauh soal rasa bakso. Yang ingin saya bahas terkait branding. Seperti kita ketahui, hampir semua pedagang bakso, rata-rata menamai jualan baksonya dengan nama orang alias nama pemiliknya langsung. Contoh Mie Bakso Agus, Mie Bakso Herman, Mie Bakso Jalal, dll. Yang pakai nama kekinian, nama jalan, atau nama daerah tertentu, paling beberapa.
Bakso yang baru saya singgahi 2 kali ini, setelah saya lihat di dinding ada tulisan “Baksonya tetap cuma ganti nama”, terus ngobrol dengan tukang parkir, ternyata habis rebranding alias ganti merk. Disamping itu, kenapa saya penasaran dengan tulisan di dinding, karena di jalur yang sama masih satu arah, ada penjual bakso menggunakan merk yang sama. Setelah saya tanya ke tukang parkir, ternyata mereka masih satu perusahaan. Pemiliknya punya 2 cabang.
Ngomongin soal branding. Ngasih nama merk perusahaan itu jangan ngasal. Aspek komersilnya harus diperhatikan. Termasuk ngasih nama jualan bakso. Tidak bermaksud merendahkan pemilik bakso. Kalau sekiranya namanya kurang menjual sebaiknya diganti. Bisa pakai nama istri atau pakai nama anak. Takutnya kayak penjual bakso yang saya maksud. Pas dengar dari tukang parkir nama merk baksonya yang dulu. Namanya sangat pasaran dan tidak menjual.
Begitu namanya diganti, dari nama orang jadi nama daerah yang unik, jualannya langsung ramai, omzet-nya melesat naik. Terlepas dari harganya yang terbilang murah Rp 10.000 perporsi, nama merk baksonya pun terdengar enak di telinga. Jadi rasanya dapat. Branding-nya juga dapat. Wajar kalau yang beli bakso di sana sampai rombongan. Nama baksonya identik dengan sebuah tempat di mana kalau ada event besar orang-orang berbondong-bondong datang untuk ngantri beli tiket.
Apakah itu sebuah kebetulan. Rasanya bukan. Rombongan keluarga makan bakso rame-rame kayaknya sudah menjadi pemandangan biasa di sana. Yang aneh justru saya, istri, dan anak saya. Terbukti abang tukang parkirnya sampai senyum-senyum begitu saya memarkirkan sepeda motor. Si abang tukang parkirnya mungkin masih ingat dengan wajah saya. Dalam hatinya pasti ngomong, ini orang rupanya kepincut sama mie bakso tempat dia nyari nafkah.
Rasa baksonya memang bikin nagih. Kalau nggak enak, ngapain saya singgah lagi. Tapi, enak dalam arti untuk kelas Rp 10.000 perporsi. Kalau harga baksonya di atas Rp 10.000, misal Rp 15.000 atau Rp 18.000. Harganya kemahalan. Bakso yang harga perporsinya Rp 15.000 atau Rp 18.000 beda lagi level dan porsinya. Sebagai pecinta bakso, lidah saya bisa membedakan rasa bakso sesuai patokan harga standar.
Btw, saya tidak akan ngebahas lebih jauh soal rasa bakso. Yang ingin saya bahas terkait branding. Seperti kita ketahui, hampir semua pedagang bakso, rata-rata menamai jualan baksonya dengan nama orang alias nama pemiliknya langsung. Contoh Mie Bakso Agus, Mie Bakso Herman, Mie Bakso Jalal, dll. Yang pakai nama kekinian, nama jalan, atau nama daerah tertentu, paling beberapa.
Bakso yang baru saya singgahi 2 kali ini, setelah saya lihat di dinding ada tulisan “Baksonya tetap cuma ganti nama”, terus ngobrol dengan tukang parkir, ternyata habis rebranding alias ganti merk. Disamping itu, kenapa saya penasaran dengan tulisan di dinding, karena di jalur yang sama masih satu arah, ada penjual bakso menggunakan merk yang sama. Setelah saya tanya ke tukang parkir, ternyata mereka masih satu perusahaan. Pemiliknya punya 2 cabang.
Ngomongin soal branding. Ngasih nama merk perusahaan itu jangan ngasal. Aspek komersilnya harus diperhatikan. Termasuk ngasih nama jualan bakso. Tidak bermaksud merendahkan pemilik bakso. Kalau sekiranya namanya kurang menjual sebaiknya diganti. Bisa pakai nama istri atau pakai nama anak. Takutnya kayak penjual bakso yang saya maksud. Pas dengar dari tukang parkir nama merk baksonya yang dulu. Namanya sangat pasaran dan tidak menjual.
Begitu namanya diganti, dari nama orang jadi nama daerah yang unik, jualannya langsung ramai, omzet-nya melesat naik. Terlepas dari harganya yang terbilang murah Rp 10.000 perporsi, nama merk baksonya pun terdengar enak di telinga. Jadi rasanya dapat. Branding-nya juga dapat. Wajar kalau yang beli bakso di sana sampai rombongan. Nama baksonya identik dengan sebuah tempat di mana kalau ada event besar orang-orang berbondong-bondong datang untuk ngantri beli tiket.