Penting Mana, Beli Rumah atau Beli Mobil?
BULAN puasa kemarin ada yang nanyain rumah, katanya buat adiknya. Waktu saya kasih tahu, luasnya berapa bata, suratnya apa, dan harganya berapa. Orang itu kemudian bilang mau ngasih tahu adiknya dulu. Siapa tahu adiknya suka sama rumah yang saya tawarkan. Soalnya rumahnya strategis. Pinggir jalan. Harganya di bawah pasaran.
Selang beberapa hari. Saya hubungi lagi orang itu. Mau konfirmasi adiknya minat nggak sama rumahnya. Tanpa menunggu lama, orang itu langsung ngasih jawaban. Dia marah sama adiknya. Duitnya katanya malah dibelikan mobil. Padahal, menurut dia, rumah itu penting. Dia sendiri minat sama rumah yang saya tawarkan. Kalau dia punya uang, rumahnya mau dia beli.
Berkaca dari kasus tersebut. Tiap orang berbeda pemahaman. Masing-masing punya pendirian sendiri-sendiri. Menurut kakaknya, yang usianya lebih tua, wawasan dan pengalamannya lebih luas, memiliki rumah itu wajib. Sementara bagi adiknya, yang usianya lebih muda, wawasan dan pengalamannya masih sempit, beli mobil lebih penting dari pada beli rumah.
Apa pun keputusannya. Antara beli rumah atau beli mobil mana yang lebih penting. Saya pribadi tidak bisa membenarkan dan menyalahkan. Saya lebih cenderung mengembalikannya ke pribadi masing-masing. Setiap orang punya tujuan dan skala prioritas yang harus didahulukan. Bagi si kakak, rumah mungkin prioritas utama. Sementara bagi si adik, mobil adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
Saya baru tidak setuju atau tidak sependapat kalau seseorang beli mobil karena tuntutan gaya hidup. Misal ingin dipuji orang. Ingin terlihat seperti orang berada. Padahal kondisi ekonominya belum benar-benar mapan. Cuma masalahnya antara kebutuhan dan tuntunan gaya hidup perbedaannya sangat tipis. Kita tidak bisa membedakan mana kebutuhan, mana gaya hidup.
Ngomong-ngomong soal gaya hidup. Saya benar-benar salut sama si bibi penjual sayur dekat rumah adik saya. Waktu tadi pagi antar ibu saya belanja sayur. Si bibi yang selama ini jualan ngampar di pinggir jalan sekarang sudah pindah ke ruko bekas toko perabot. Saya tanya ke ibu saya, si bibi ngontrak atau beli. Kata ibu saya toko perabot itu punya salah satu anaknya.
Karena jualan perabotnya sepi. Oleh anaknya dari pada dijual ke orang lain mending dijual ke orang tuanya. Yang bikin saya takjub. Selama berpuluh-puluh tahun si bibi rela jualan sayur di pinggir jalan dengan gerobak dan alas terpal seadanya. Kirain saya si bibi orang biasa-biasa saja. Setelah jualannya pindah ke toko. Saya baru ngeh, si bibi ternyata duitnya banyak.
Selang beberapa hari. Saya hubungi lagi orang itu. Mau konfirmasi adiknya minat nggak sama rumahnya. Tanpa menunggu lama, orang itu langsung ngasih jawaban. Dia marah sama adiknya. Duitnya katanya malah dibelikan mobil. Padahal, menurut dia, rumah itu penting. Dia sendiri minat sama rumah yang saya tawarkan. Kalau dia punya uang, rumahnya mau dia beli.
Berkaca dari kasus tersebut. Tiap orang berbeda pemahaman. Masing-masing punya pendirian sendiri-sendiri. Menurut kakaknya, yang usianya lebih tua, wawasan dan pengalamannya lebih luas, memiliki rumah itu wajib. Sementara bagi adiknya, yang usianya lebih muda, wawasan dan pengalamannya masih sempit, beli mobil lebih penting dari pada beli rumah.
Apa pun keputusannya. Antara beli rumah atau beli mobil mana yang lebih penting. Saya pribadi tidak bisa membenarkan dan menyalahkan. Saya lebih cenderung mengembalikannya ke pribadi masing-masing. Setiap orang punya tujuan dan skala prioritas yang harus didahulukan. Bagi si kakak, rumah mungkin prioritas utama. Sementara bagi si adik, mobil adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
Saya baru tidak setuju atau tidak sependapat kalau seseorang beli mobil karena tuntutan gaya hidup. Misal ingin dipuji orang. Ingin terlihat seperti orang berada. Padahal kondisi ekonominya belum benar-benar mapan. Cuma masalahnya antara kebutuhan dan tuntunan gaya hidup perbedaannya sangat tipis. Kita tidak bisa membedakan mana kebutuhan, mana gaya hidup.
Ngomong-ngomong soal gaya hidup. Saya benar-benar salut sama si bibi penjual sayur dekat rumah adik saya. Waktu tadi pagi antar ibu saya belanja sayur. Si bibi yang selama ini jualan ngampar di pinggir jalan sekarang sudah pindah ke ruko bekas toko perabot. Saya tanya ke ibu saya, si bibi ngontrak atau beli. Kata ibu saya toko perabot itu punya salah satu anaknya.
Karena jualan perabotnya sepi. Oleh anaknya dari pada dijual ke orang lain mending dijual ke orang tuanya. Yang bikin saya takjub. Selama berpuluh-puluh tahun si bibi rela jualan sayur di pinggir jalan dengan gerobak dan alas terpal seadanya. Kirain saya si bibi orang biasa-biasa saja. Setelah jualannya pindah ke toko. Saya baru ngeh, si bibi ternyata duitnya banyak.