Kenapa Makanan dan Minuman yang Dijual di Tempat Wisata Harganya Mahal
KENAPA kalau kita beli makanan dan minuman di tempat wisata, harganya jauh lebih mahal dari warung dan pedagang biasa yang sering kita temui sehari-hari. Padahal makanannya sama, minumannya sama, porsinya juga sama. Jawabannya: momen. Jualan di kampung dengan jualan di tempat wisata beda. Ini sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang sudah pada maklum.
Oleh karena itu, biar lebih menarik, mari kita rubah pertanyaannya. Pernahkah kita beli makanan dan minuman di tempat wisata tapi harganya sama atau beda sedikit dengan warung dan pedagang yang ada di kampung-kampung. Jawabannya, bisa pernah. Bisa juga nggak pernah. Kalau pernah, mungkin kita kebetulan ketemu dengan pedagang yang masih satu kampung atau satu daerah dengan kita.
Kalau nggak pernah. Namanya objek wisata. Pengunjung datang dari mana-mana. Pun demikian dengan para pedagang. Ada yang penduduk asli. Ada juga yang dari luar daerah. Mereka jualan di tempat objek wisata mencoba mengadu nasib, mengais rezeki. Pedagang tersebut ada yang lintas kota, lintas kabupaten, bahkan ada pula yang lintas provinsi.
Saya punya kejadian lucu. Beberapa tahu lalu waktu saya liburan ke pantai Pangandaran. Saya bertemu dengan penjual bakso yang masih satu kampung dengan saya cuma beda kelurahan. Waktu itu saya piknik bareng keluarga. Ayah, ibu, adik, saudara, semuanya ikut. Sehabis berenang kita pengen makan-makan. Pangandaran waktu itu belum ditata. Banyak pedagang yang mendirikan tenda di pinggir pantai.
Waktu saya nemu tenda tukang bakso. Yang jualannya ternyata saya kenal. Saya tanya berapa perporsinya? Si bapak bilang Rp 20.000/perporsi. Saya tepuk saja pundak si bapak. Jangan mahal-mahal lah kita tetanggaan. Si bapak langsung menoleh, nanyain saya dari mana. Setelah saya jelasin kalau si bapak dulu suka jualan ke kampung saya. Si bapak langsung nyengir. Ya sudah Rp 10.000/perporsi saja katanya. Tapi jangan bilang siapa-siapa.
Waktu libur lebaran kemarin. Saya ngalamin kejadian lucu lagi. Pedagangnya nggak kenal. Nggak tahu orang mana. Saya dan istri pesan 4 gelas minuman sachet dan 1 gelas kopi diminum di situ. Pangandaran sekarang sudah ditata. Tiap pedagang punya lapak masing-masing berupa meja dan kursi buat santai tapi non permanen. Setelah minuman dan kopi habis, saya tanya berapa semua ke penjualnya.
Penjualnya bilang Rp 28.000. Merasa kemahalan. Istri saya nawar. Nawarnya juga sambil bercanda. Penjualnya malah jawab itu udah harga OSIS. Nah, yang lucunya waktu saya kasih uang Rp 15.000. Si penjualnya malah ngasih kembalian Rp 3000. Saya dan istri ketawa-ketawa. Si penjualnya kayak hilang fokus. Nggak lihat dulu uang yang saya kasih berapa. Mungkin saking banyaknya wisatawan. Banyak yang pesan makanan dan minuman. Jadi main masukin uang dan ngasih kembalian saja.
Oleh karena itu, biar lebih menarik, mari kita rubah pertanyaannya. Pernahkah kita beli makanan dan minuman di tempat wisata tapi harganya sama atau beda sedikit dengan warung dan pedagang yang ada di kampung-kampung. Jawabannya, bisa pernah. Bisa juga nggak pernah. Kalau pernah, mungkin kita kebetulan ketemu dengan pedagang yang masih satu kampung atau satu daerah dengan kita.
Kalau nggak pernah. Namanya objek wisata. Pengunjung datang dari mana-mana. Pun demikian dengan para pedagang. Ada yang penduduk asli. Ada juga yang dari luar daerah. Mereka jualan di tempat objek wisata mencoba mengadu nasib, mengais rezeki. Pedagang tersebut ada yang lintas kota, lintas kabupaten, bahkan ada pula yang lintas provinsi.
Saya punya kejadian lucu. Beberapa tahu lalu waktu saya liburan ke pantai Pangandaran. Saya bertemu dengan penjual bakso yang masih satu kampung dengan saya cuma beda kelurahan. Waktu itu saya piknik bareng keluarga. Ayah, ibu, adik, saudara, semuanya ikut. Sehabis berenang kita pengen makan-makan. Pangandaran waktu itu belum ditata. Banyak pedagang yang mendirikan tenda di pinggir pantai.
Waktu saya nemu tenda tukang bakso. Yang jualannya ternyata saya kenal. Saya tanya berapa perporsinya? Si bapak bilang Rp 20.000/perporsi. Saya tepuk saja pundak si bapak. Jangan mahal-mahal lah kita tetanggaan. Si bapak langsung menoleh, nanyain saya dari mana. Setelah saya jelasin kalau si bapak dulu suka jualan ke kampung saya. Si bapak langsung nyengir. Ya sudah Rp 10.000/perporsi saja katanya. Tapi jangan bilang siapa-siapa.
Waktu libur lebaran kemarin. Saya ngalamin kejadian lucu lagi. Pedagangnya nggak kenal. Nggak tahu orang mana. Saya dan istri pesan 4 gelas minuman sachet dan 1 gelas kopi diminum di situ. Pangandaran sekarang sudah ditata. Tiap pedagang punya lapak masing-masing berupa meja dan kursi buat santai tapi non permanen. Setelah minuman dan kopi habis, saya tanya berapa semua ke penjualnya.
Penjualnya bilang Rp 28.000. Merasa kemahalan. Istri saya nawar. Nawarnya juga sambil bercanda. Penjualnya malah jawab itu udah harga OSIS. Nah, yang lucunya waktu saya kasih uang Rp 15.000. Si penjualnya malah ngasih kembalian Rp 3000. Saya dan istri ketawa-ketawa. Si penjualnya kayak hilang fokus. Nggak lihat dulu uang yang saya kasih berapa. Mungkin saking banyaknya wisatawan. Banyak yang pesan makanan dan minuman. Jadi main masukin uang dan ngasih kembalian saja.