Mana Orang Kaya Baru, Mana Orang Kaya Asli

BUBUR ayamnya enak. Beli satu porsi atau setengah porsi topping-nya selalu kumplit. Selain kerupuk, kacang, melinjo, cakwe, bawang daun, dan ati ampela. Di atas meja disediakan juga kecap manis, kecap asin, mentimun, plus sambal pedas yang bisa kita tuang sepuasnya. Sayang, tempat duduknya sempit. Cuma 1 meja panjang dengan kursi saling berhadapan. Kalau kita mau makan di situ, dan kebetulan lagi penuh, terpaksa kita harus nunggu orang lain beres makan dulu.

Saya paling males kalau harus seperti itu. Berangkat dari rumah jauh-jauh sudah ngebayangin mau makan enak. Begitu sampai di lokasi. Eh, saya harus antri. Mana perut sudah lapar lagi. Bukan sekali dua kali saya ngalamin kayak gini. Dari pada harus duduk atau berdiri di pinggir orang-orang yang lagi makan bubur. Yang bikin mereka risih dan nggak nyaman. Biasanya saya keliling dulu. Jalan-jalan ke supermarket atau ke toko baju.

Mana-Orang-Kaya-Baru-Mana-Orang-Kaya-Asli.jpg

Meski mejanya cuma satu. Yang jual bubur ayam pasti pengennya penuh terus. Ngantri panjang buat mereka nggak masalah. Justru malah senang. Bubur ayamnya bakalan cepat habis. Mereka bisa cepat pulang. Dan pastinya dompetnya penuh dengan lembaran uang. Apa yang mereka inginkan sangat berbanding terbalik dengan apa yang konsumen inginkan. Sebagai konsumen kita inginnya makan dengan nyaman. Bisa sambil santai. Bisa ngobrol ke sana kemari sesuka hati.

Yang bikin saya males makan bubur ayam dempet-dempetan dengan orang lain itu. Pertama, tiap orang punya gaya makan bubur ayam yang berbeda-beda. Ada yang diaduk. Ada juga yang nggak diaduk. Saya termasuk tim makan bubur ayam yang nggak diaduk. Kalau orang yang duduk di depan saya makan bubur ayamnya diaduk. Apalagi sampai dikocek-kocek gitu. Entah kenapa saya suka eneg ngelihatnya. Perut yang tadinya lapar suka mendadak kenyang. Atau kalau bener-bener lapar banget saya suka buru-buru makan bubur ayamnya.

Mana-Orang-Kaya-Baru-Mana-Orang-Kaya-Asli.jpg

Kedua, kadang saya ketemu dengan orang-orang rese. Orang-orang yang suka show off. Yang kadang membuat saya ilfeel. Kalau dia orang kaya. Orang banyak duit. Sudah biasa saja. Nggak usah diliatin ke orang-orang kalau dia kaya dan banyak duit. Toh, kita lagi makan bubur ayam. Makannya juga di emperan, di satu meja sempit, bukan di cafe dan restoran. Fokus saja ke mangkuk masing-masing. Kalau mau santai, santai. Kalau mau buru-buru, cepet habisin. Kasihan orang lain pada antri.

Kayak semalam. Ada pasangan muda bawa anak satu masih kecil. Kebetulan mejanya kosong. Kita duduk di depan pasangan muda tersebut. Waktu kita lagi nyantap bubur ayam. Anaknya tiba-tiba merengek. Meronta-ronta. Di situ kan suasana masih lengang. Kita juga nggak merasa terganggu dengan tangisan anak tersebut. Istrinya tiba-tiba nyeletuk ke suaminya. Suruh bawa anaknya ke mobil. Dengar kata m-o-b-i-l dan lihat gestur istrinya yang sok iyeh. Saya dan istri jadi saling lirik.

Tak lama berselang, datang suami istri bawa anak satu usia 7 tahun . Dari pakaian yang mereka pakai, bahasa yang mereka ucapkan, dan gadget yang mereka pegang, mereka kelihatan keluarga berada. Uniknya, mereka nggak kelihatan neko-neko. Mereka makan dan ngobrol biasa seperti kita. Dari pasangan suami istri yang makan bubur ayam di depan saya semalam. Saya jadi banyak belajar mana yang orang kaya baru sama mana yang orang kaya asli.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url