Hari Raya Kemerdekaan Indonesia
MENYAMBUT Hari Raya Kemerdekaan Indonesia, sebagai warga negara yang baik, kita diwajibkan untuk memperingatinya dengan hal-hal yang positif. Yang paling umum, yang banyak di lakukan oleh masyarakat kita, adalah dengan mengadakan berbagai macam perlombaan seperti lomba panjat pinang, lomba lari marathon, tarik tambang, lomba makan kerupuk, atau lomba-lomba lainnya yang cukup menarik perhatian.
Semua warga, baik yang ada di kota mau pun yang ada di desa, berbaur menjadi satu. Ikut merayakan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan penuh suka cita. Dengan cara itu, setiap warga Indonesia bisa mensyukuri sekaligus menghargai pengorbanan dan perjuangan para Pahlawan yang telah berjasa membela Negara kita dari cengkraman para penjajah.
Tanpa pengorbanan dan perjuangan para Pahlawan, kita tidak mungkin bisa hidup seperti ini. Meski tak pernah mengalami, kita bisa membayangkan bagaimana susahnya hidup mereka saat itu. Jika mereka hidup di zaman sekarang pasti mereka akan berkata, betapa senangnya hidup kita saat ini. Dulu, mana ada mall, supermarket, tempat hiburan, atau restoran. Jangankan pergi ke sekolah. Mau makan juga, katanya, susah.
Karena Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 68 tahun ini berbarengan dengan Hari Raya Idul Fitri 1434 H. Saya punya sedikit catatan yang sayang sekali jika tidak saya bagikan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap lebaran saya suka piknik/berlibur ke Pantai Pangandaran. Untuk lebaran kali ini, sama dengan lebaran tahun lalu, saya pergi ke Pangandaran lewat jalan alternatif.
Satu minggu setelah lebaran, biasanya kalau kita mau ke Pangandaran, terutama dari arah Bandung, jalannya itu suka macet. Makanya agar tidak terjebak macet saya cari jalan alternatif. Nah, pada saat menyusuri jalan alternatif itulah, saya punya ide untuk menulis catatan Hari Raya Kemerdekaan. Seperti kita tahu, yang namanya jalan alternatif kebanyakan itu jalannya sempit, tidak diaspal. Kalau pun diaspal, tidak merata, masih banyak lubang di sana-sini.
Tidak saya pungkiri, jalan alternatif menuju Pangandaran 75% kondisinya memang seperti itu. Tapi bukan kondisi jalan yang ingin saya ceritakan. Buat saya itu tidak penting. Yang paling penting adalah pada saat saya menyusuri jalan alternatif itu kedua mata saya dibuat terkesima. Meski jalan alternatif menuju Pantai Pangandaran termasuk pelosok tapi sepanjang jalan yang saya lewati penuh dengan umbul-umbul.
Pada saat melihat umbul-umbul itulah tiba-tiba hati kecil saya berkata: “Orang-orang yang ada di kampung ternyata nasionalismenya sangat tinggi.” Sekalipun daerahnya tak tersentuh oleh pembangunan, tapi mereka marayakan Hari Kemerdekaan Indonesia dengan penuh antusias. Melihat ratusan umbul-umbul itu, tiba-tiba saya jadi teringat sama koruptor yang ada di Ibukota.
Para koruptor itu sungguh biadab. Tidak punya rasa nasionalisme. Seandainya uang yang mereka korupsi dipakai buat memperbaiki jalan. Mungkin rakyat Indonesia, setidaknya, bisa merasakan arti dari sebuah kemerdekaan.