Sebagian Onderdil Motor Saya Diambil Diganti Dengan yang KW
BIASA pakai pertamax. Begitu ganti ke pertalite. Sepeda motor saya langsung batuk. Beruntung batuknya tidak jauh dari bengkel. Saya tidak terlalu capek mendorongnya. Beruntung pula saya sedang bawa duit. Kalau nggak bisa berabe dan bikin malu. Berabe karena motor tetap harus dibawa ke bengkel. Malu karena motor kalau sudah hidup, sudah dibetulin, saya mau ngasih alasan apa ke pemilik bengkel.
Ini semua karena kebijakan pemerintah. Harga pertamax kembali dinaikan. Padahal sebelumnya sudah naik. Maaf, saya ralat, ini bukan salah pemerintah. Ini semua gara-gara pandemi. Kalau tidak ada pandemi. Pemerintah mungkin tidak akan menaikan harga BBM. Kalau tidak ada pandemi. Kondisi keuangan saya tidak akan morat-marit. Berapa pun harga pertamax. Kalau bisnis saya lancar. Saya akan tetap menggunakan pertamax.
Ups...maaf! Motor saya batuk ternyata bukan salah pemerintah bukan pula salah pandemi. Tapi salah adik saya. Tiap sore setiap pulang kerja. Dia selalu pinjam motor saya. Mending kalau sebentar. Satu jam atau dua jam. Ini sampai larut malam. Bahkan seringnya tidak pulang. Motornya suka diinepin di rumah orang tua. Pagi-pagi baru saya ambil dengan kondisi bensin tinggal sedikit lagi. Dengan kondisi motor kelelahan dan kecapean.
Dulu sepeda motor saya sempat menggunakan pertalite. Tapi setelah mogok di jalan. Kejadiannya empat tahun ke belakang. Saya beralih ke pertamax. Itu pun setelah dikasih saran oleh rekan bisnis saya. Kalau motor mati di tengah jalan terus bisa hidup lagi. Kemungkinan karburatornya kotor. Udah nggak usah dibawa ke bengkel. Coba ganti bensin saja. Dari pertalite ke pertamax. Saya pun nurut. Sejak saat itu sepeda motor saya tidak pernah mengalami kendala.
Belakangan setelah harga pertamax naik. Sementara kondisi ekonomi saya belum stabil. Dan sepada motor saya sering dipinjam adik saya. Saya ngerasa pengeluaran saya tidak terkendali. Maka keluarlah ide itu. Sepeda motor saya kembali menggunakan pertalite. Yang isinya sedikit lebih banyak bisa dipakai ke sana kemari. Ketimbang pertamax yang harganya sudah tidak lagi bersahabat. Terus isinya makin ke sini makin menyusut.
Kendati demikian situasi dan kondisi seperti ini mungkin hanya sementara. Ke depan kalau bisnis saya sudah lancar. Saya akan kembali menggunakan pertamax. Saya tidak akan ngedumel masalah volume. Kesehatan sepeda motor justru jauh lebih penting. Saya tidak mau sepeda motor saya sakit-sakitan. Bayangin, baru dua hari menggunakan pertalite. Sepeda motor saya sudah batuk dan harus masuk bengkel. Gimana kalau terus-terusan pakai pertalite. Bisa-bisa sepeda motor saya turun mesin.
Nah, ngomongin turun mesin. Saya pernah ngalamin kejadian nyebelin lima tahun lalu. Waktu itu saya nyervis di salah satu bengkel. Sama yang punya bengkel sebagian onderdil motor saya diambil. Diganti dengan yang KW. Setiap ingat kejadian itu saya suka ngenes. Saya kan awam soal otomotif. Saya tahunya motor beres langsung bayar. Untung dikasih tahu teman kalau bengkel itu suka curang. Gara-gara main ondol. Saya kapok nggak mau lagi nyervis motor di bengkel tersebut.
Ini semua karena kebijakan pemerintah. Harga pertamax kembali dinaikan. Padahal sebelumnya sudah naik. Maaf, saya ralat, ini bukan salah pemerintah. Ini semua gara-gara pandemi. Kalau tidak ada pandemi. Pemerintah mungkin tidak akan menaikan harga BBM. Kalau tidak ada pandemi. Kondisi keuangan saya tidak akan morat-marit. Berapa pun harga pertamax. Kalau bisnis saya lancar. Saya akan tetap menggunakan pertamax.
Ups...maaf! Motor saya batuk ternyata bukan salah pemerintah bukan pula salah pandemi. Tapi salah adik saya. Tiap sore setiap pulang kerja. Dia selalu pinjam motor saya. Mending kalau sebentar. Satu jam atau dua jam. Ini sampai larut malam. Bahkan seringnya tidak pulang. Motornya suka diinepin di rumah orang tua. Pagi-pagi baru saya ambil dengan kondisi bensin tinggal sedikit lagi. Dengan kondisi motor kelelahan dan kecapean.
Dulu sepeda motor saya sempat menggunakan pertalite. Tapi setelah mogok di jalan. Kejadiannya empat tahun ke belakang. Saya beralih ke pertamax. Itu pun setelah dikasih saran oleh rekan bisnis saya. Kalau motor mati di tengah jalan terus bisa hidup lagi. Kemungkinan karburatornya kotor. Udah nggak usah dibawa ke bengkel. Coba ganti bensin saja. Dari pertalite ke pertamax. Saya pun nurut. Sejak saat itu sepeda motor saya tidak pernah mengalami kendala.
Belakangan setelah harga pertamax naik. Sementara kondisi ekonomi saya belum stabil. Dan sepada motor saya sering dipinjam adik saya. Saya ngerasa pengeluaran saya tidak terkendali. Maka keluarlah ide itu. Sepeda motor saya kembali menggunakan pertalite. Yang isinya sedikit lebih banyak bisa dipakai ke sana kemari. Ketimbang pertamax yang harganya sudah tidak lagi bersahabat. Terus isinya makin ke sini makin menyusut.
Kendati demikian situasi dan kondisi seperti ini mungkin hanya sementara. Ke depan kalau bisnis saya sudah lancar. Saya akan kembali menggunakan pertamax. Saya tidak akan ngedumel masalah volume. Kesehatan sepeda motor justru jauh lebih penting. Saya tidak mau sepeda motor saya sakit-sakitan. Bayangin, baru dua hari menggunakan pertalite. Sepeda motor saya sudah batuk dan harus masuk bengkel. Gimana kalau terus-terusan pakai pertalite. Bisa-bisa sepeda motor saya turun mesin.
Nah, ngomongin turun mesin. Saya pernah ngalamin kejadian nyebelin lima tahun lalu. Waktu itu saya nyervis di salah satu bengkel. Sama yang punya bengkel sebagian onderdil motor saya diambil. Diganti dengan yang KW. Setiap ingat kejadian itu saya suka ngenes. Saya kan awam soal otomotif. Saya tahunya motor beres langsung bayar. Untung dikasih tahu teman kalau bengkel itu suka curang. Gara-gara main ondol. Saya kapok nggak mau lagi nyervis motor di bengkel tersebut.