Toko Buku Zaman Belanda jadi Korban Bisnis Hukum Rimba

SETIAP kali ikut ayah ke stasiun. Bistel barang buat dikirim ke Solo. Pulangnya suka lewat pusat kota. Sesampainya di pusat kota. Kita singgah dulu ke Toserba atau ke toko buku. Ke Toserba kita jalan-jalan beli pop mie, coca cola, atau main boom-boom car. Sementara kalau ke toko buku, kita beli pensil, potlot, penghapus, dan jangka buat bikin lingkaran. Dulu kalau mau beli buku, seragam dan alat tulis, harus pergi ke toko buku yang ada di pusat kota. Di warung dekat rumah, barang-barangnya tidak kumplit.

Toko buku yang ada di pusat kota. Setahu saya cuma satu. Toko buku itu terkenal banget. Setiap tahun ajaran baru selalu panen. Orang-orang banyak yang belanja ke sana. Meski orang-orang menyebutnya dengan toko buku. Yang dijual di toko itu bukan buku saja. Berbagai perlengkapan terkait pendidikan semuanya ada. Tinggal sebutin saja ke pelayan atau pemilik toko apa yang kita cari. Pelayan dan pemilik toko akan menyuruh kita untuk menunggu. Barangnya mau diambil dulu.

Toko-Buku-Zaman-Belanda-jadi-Korban-Bisnis-Hukum-Rimba.jpg

Tapi itu dulu. Dulu sekali. Waktu saya masih sekolah SD. Saat saya SMP. Ketika jasa fotocopy sudah mulai menjalar. Orang-orang, termasuk saya, sudah jarang beli ke toko itu. Di jasa fotocopy semua barang yang kita cari hampir semuanya ada. Jaraknya pun lumayan dekat. Cukup naik sepeda atau naik ojek sudah sampai. Nggak harus pergi ke pusat kota. Nggak harus ikut bistel barang ke stasiun. Belakangan di warung dekat rumah pun barang-barangnya mulai kumplit. Kertas dan amplop Harvest buat nulis surat cinta juga ada.

Toko buku yang saya ceritakan tadi sekarang masih buka. Bentuk tokonya tidak ada yang berubah. Etalasenya masih sama. Bangunannya juga masih bangunan lama. Bangunan zaman Belanda. Yang berubah pemilik tokonya sekarang sudah uzur. Sudah kakek nenek. Pelayan toko yang dulu suka ngelayani nggak tahu masih ada atau sudah ganti. Atau sudah lama mengundurkan diri. Yang pasti, di zaman Tiktok dan Instagram ini, kondisi tokonya benar-benar memprihatinkan.

Toko-Buku-Zaman-Belanda-jadi-Korban-Bisnis-Hukum-Rimba.jpg

Sejak ada toko buku besar di sebrangnya. Yang barang-barangnya lebih kumplit. Yang konsep belanjanya lebih modern. Orang-orang bebas masuk. Bebas milih mau beli apa saja bayarnya nanti di Kasir. Toko buku tersebut terlihat seperti museum. Setiap saya lewat ke sana. Kadang sering memperhatikan dari depan toko pesaingnya. Tak ada satu pun konsumen yang masuk ke toko tersebut. Barang-barang yang ada di toko jangan-jangan stok lama. Sisa kejayaan yang dulu belum sempat terjual.

Dalam dunia bisnis, hukum rimba itu benar-benar berlaku. Yang lemah akan kalah oleh yang kuat. Yang berjalan lambat akan tertinggal oleh yang berjalan cepat. Apalagi di era digital seperti sekarang ini. Punya tenaga atau nggak. Punya nafas atau nggak. Orang-orang dipaksa untuk berlari. Dulu, orang miskin dengan orang kaya itu ada jarak. Susah sekali untuk dikejar. Sekarang, jika orang kaya lengah, terlalu enak tinggal di zona nyaman. Sepersekian detik bisa disalip oleh orang miskin yang fokus dan konsisten.

Toko buku tersebut termasuk salah satu korban dari hukum rimba yang terjadi di dunia bisnis. Selain toko buku tadi, sebenarnya banyak toko-toko lain, atau perusahaan-perusahaan lain yang gulung tikar akibat persaingan. Kalau pun ada toko atau perusahaan yang masih bertahan, kemungkinan memiliki konsumen loyal yang dari dulu sampai sekarang masih enak dan nyaman berbelanja dengan sistem konvensional.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url