Pernah Tinggal Satu Kontrakan Dengan Mantan
TINGGAL satu kontrakan dengan mantan. Apakah ada yang ngalamin? Kalau ada, atau pernah, coba ingat-ingat lagi gimana kronologisnya? Apakah kita yang lebih dulu tinggal di kontrakan. Terus mantan kita tiba-tiba ikut ngontrak. Atau malah sebaliknya. Kita tinggal di kontrakan yang notabene mantan kita sudah lebih dulu tinggal di kontrakan tersebut. Apa pun kronologisnya. Saya yakin teman-teman pasti dag dig dug.
Itulah yang saya rasakan. Mantan saya, tanpa sepengetahuan saya, tahu-tahu ngontrak di tempat kontrakan yang saya huni. Gilanya, kontrakan yang dia isi posisinya berdampingan dengan kontrakan yang saya tinggali. Bangunan kontrakannya waktu itu berbentuk leter U. Posisi dia di depan, kontrakannya menghadap ke jalan. Sementara kontrakan yang saya tinggali posisinya di belakang. Atau lebih tepatnya berada di dalam.
Untungnya, pas mantan saya ngontrak di sana. Saya sedang dalam proses pindah. Jadi meski pun kita satu kontrakan. Kita belum pernah ketemu. Kalau saya sedang di kontrakan. Dia nggak ada. Begitu juga sebaliknya. Kalau dia sedang di kontrakan. Saya lagi di luar sedang ngurus kepindahan itu. Sampai kemudian saya pindah. Sudah nggak tinggal lagi di kontrakan tersebut. Sekali pun saya belum pernah bertemu dengan dia.
Saya tidak bisa ngebayangin. Gimana kalau kita sampai ketemu. Saya pasti malu. Atau dia juga mungkin malu. Seandainya kita ketemu, jangan-jangan perasaan kita sama. Kok bisa-bisanya kita tinggal satu kontrakan. Selama ini kita ke mana saja. Puluhan tahun berpisah. Kok hidupnya belum berubah. Allah SWT maha baik. Kita ditakdirkan untuk tidak ketemu. Aib-aib kita selama ini setidaknya masih tertutup dengan rapi.
Hubungan saya dengan dia sebenarnya tidak lama. Kita pun putus secara baik-baik. Waktu itu saya yang salah. Katanya pacaran. Tapi saya nggak pernah ngasih perhatian ke dia. Ketemu jarang. Apel jarang. Sekalinya mau jalan-jalan. Saya malah janjian dengan cewek lain. Acara jalan-jalan pun jadinya berantakan. Sama dia nggak jadi. Sama cewek lain nggak jadi. Singkat cerita, pada suatu hari dia ngirim selembar surat. Dia mutusin saya. Alasannya dia nggak mau digantung.
Habis baca surat dari dia. Saya benar-benar merasa berdosa. Saya pengen menebus semua kesalahan itu. Tapi sudah terlambat. Dia sudah diwisuda. Dia sudah menganggap saya bagian dari masa lalu. Tidak ada kata untuk kembali. Setiap bertemu dia selalu cuek. Mungkin luka yang saya tanam terlalu dalam. Kalau hati perempuan sudah kena. Sepertinya sulit untuk menghilangkan rasa trauma. Itulah salah satu alasan yang membuat saya bersyukur tidak sampai bertemu dengan dia di kontrakan.
Saya sendiri tak menyangka. Tuhan bisa ngasih skenario seunik itu. Jarang lho ada orang yang dulu pernah menjalin hubungan, terus tinggal satu kontrakan. Seandainya pasangan kita, suami atau istri kita tahu, kalau kita pernah berhubungan. Pasti bakalan berabe. Hidup kita nggak bakalan nyaman. Untungnya, sekali lagi, waktu itu saya sedang dalam proses pindah. Dari peristiwa tersebut, saya bisa mengambil pelajaran. Kondisi ekonomi kita harus lebih baik dari mantan.
Itulah yang saya rasakan. Mantan saya, tanpa sepengetahuan saya, tahu-tahu ngontrak di tempat kontrakan yang saya huni. Gilanya, kontrakan yang dia isi posisinya berdampingan dengan kontrakan yang saya tinggali. Bangunan kontrakannya waktu itu berbentuk leter U. Posisi dia di depan, kontrakannya menghadap ke jalan. Sementara kontrakan yang saya tinggali posisinya di belakang. Atau lebih tepatnya berada di dalam.
Untungnya, pas mantan saya ngontrak di sana. Saya sedang dalam proses pindah. Jadi meski pun kita satu kontrakan. Kita belum pernah ketemu. Kalau saya sedang di kontrakan. Dia nggak ada. Begitu juga sebaliknya. Kalau dia sedang di kontrakan. Saya lagi di luar sedang ngurus kepindahan itu. Sampai kemudian saya pindah. Sudah nggak tinggal lagi di kontrakan tersebut. Sekali pun saya belum pernah bertemu dengan dia.
Saya tidak bisa ngebayangin. Gimana kalau kita sampai ketemu. Saya pasti malu. Atau dia juga mungkin malu. Seandainya kita ketemu, jangan-jangan perasaan kita sama. Kok bisa-bisanya kita tinggal satu kontrakan. Selama ini kita ke mana saja. Puluhan tahun berpisah. Kok hidupnya belum berubah. Allah SWT maha baik. Kita ditakdirkan untuk tidak ketemu. Aib-aib kita selama ini setidaknya masih tertutup dengan rapi.
Hubungan saya dengan dia sebenarnya tidak lama. Kita pun putus secara baik-baik. Waktu itu saya yang salah. Katanya pacaran. Tapi saya nggak pernah ngasih perhatian ke dia. Ketemu jarang. Apel jarang. Sekalinya mau jalan-jalan. Saya malah janjian dengan cewek lain. Acara jalan-jalan pun jadinya berantakan. Sama dia nggak jadi. Sama cewek lain nggak jadi. Singkat cerita, pada suatu hari dia ngirim selembar surat. Dia mutusin saya. Alasannya dia nggak mau digantung.
Habis baca surat dari dia. Saya benar-benar merasa berdosa. Saya pengen menebus semua kesalahan itu. Tapi sudah terlambat. Dia sudah diwisuda. Dia sudah menganggap saya bagian dari masa lalu. Tidak ada kata untuk kembali. Setiap bertemu dia selalu cuek. Mungkin luka yang saya tanam terlalu dalam. Kalau hati perempuan sudah kena. Sepertinya sulit untuk menghilangkan rasa trauma. Itulah salah satu alasan yang membuat saya bersyukur tidak sampai bertemu dengan dia di kontrakan.
Saya sendiri tak menyangka. Tuhan bisa ngasih skenario seunik itu. Jarang lho ada orang yang dulu pernah menjalin hubungan, terus tinggal satu kontrakan. Seandainya pasangan kita, suami atau istri kita tahu, kalau kita pernah berhubungan. Pasti bakalan berabe. Hidup kita nggak bakalan nyaman. Untungnya, sekali lagi, waktu itu saya sedang dalam proses pindah. Dari peristiwa tersebut, saya bisa mengambil pelajaran. Kondisi ekonomi kita harus lebih baik dari mantan.