Cerita Pendek: Pengemis

IDE gila itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Tanpa fikir panjang. Ia langsung mengenakan dudukuy (topi caping khas petani), kaos oblong yang sudah bolong di sana sini, dan celana rombeng milik kapten sepakbola.

Sang kapten sepakbola, saat mendengar idenya, cuma senyum-senyum sambil berseloroh:

“Terserah Kang Oding sajalah. Saya doakan rencana Akang berjalan dengan mulus”

Diiringi gelak tawa kapten sepakbola dan karyawan-karyawannya. Ia bergegas menuju rumah Elis. Memakai kaos oblong dan celana rombeng yang dekil dan acak-acakan.

Cerita-Pendek-Pengemis.jpg

Hari itu. Harusnya ia menikah dengan Elis. Hari itu adalah hari sakral di mana ia akan menikah untuk yang kedua kalinya.

Tapi, dua minggu setelah penentuan tanggal pernikahan. Kakak Elis, Teh Entin, merajuk pada orang tuanya. Ia tidak mau dirunghal. Ia tidak mau disalip menikah oleh adiknya.

Ada mitos yang berkembang di masyarakat. Jika seorang perempuan dirunghal atau disalip menikah oleh adiknya, baik adik laki-laki atau adik perempuan, katanya suka susah mendapatkan jodoh.

Oleh karena itu Teh Entin. Minta dinikahkan lebih dahulu.

Teh Entin sebenarnya sudah memiliki pacar. Namanya Kang Asep. Anak juragan sapi dari kampung sebelah. Tapi mereka belum kefikiran untuk menikah karena Elis, adiknya masih belum punya pacar.

Begitu Elis punya pacar, dan pacarnya serius ingin menikahi Elis. Maklum duda anak dua. Sudah nggak kefikiran lagi untuk menjalani pacaran seperti anak muda.

Teh Entin buru-buru merayu Kang Asep untuk segera melamarnya.

Dan sesuai kesepakatan. Juga sudah melalui hitung-hitungan. Adik kakak itu, Teh Entin dan Elis, dinikahkan dalam waktu yang berdekatan. Teh Entin menikah hari Rabu. Elis, yang tadinya hari rabu, mengalah menikah di hari Kamis.

***

Hari itu, ia ingin mengintip bagaimana prosesi pernikahan Entin, kakaknya Elis. Cuma yang ia lakukan lumayan agak nyeleneh. Ia menyelinap ke belakang rumah yang banyak ditumbuhi pohon pisang. Ia menyamar, pura-pura jadi pengemis.

Nahas. Aksinya itu ketahuan oleh tetangga yang punya hajat. Yang kebetulan lagi bantuin masak.

“Lagi ngapain, Mang?”

“Euh..itu..anu, mau ke Kang Asep!”

“Kang Asep pengantin bukan?”

“Euh..iya, eh, bukaan...!”

“Tunggu, perasaan saya kenal deh. Ini Kang Oding kan calon suaminya Nyi Elis!”

“Euhhh...”

“Ngapain di sini Kang. Masuk saja ke rumah. Di dalam banyak makanan tuh”

Tetangga yang lagi bantuin masak itu kemudian ngasih tahu Elis. Kalau calon suaminya ada di belakang rumah pakai pakaian aneh.

Elis yang lagi istirahat di dalam kamar karena kegerahan habis jadi pagar ayu. Buru-buru beranjak ke belakang rumah.

“Akang ini apa-apaan sih. Pakai pakaian begini kayak orang gila.”

“Jangan bilang siapa-siapa...!”

“Jangan bilang siapa-siapa gimana. Orang-orang sudah pada tahu. Ayu masuk sini naik ke jendela..”

Cerita-Pendek-Pengemis.jpg

Karena dipaksa oleh calon istrinya. Ia terpaksa masuk kamar lewat jendela. Di dalam kamar, kemudian ia menjelaskan cerita yang sesungguhnya.

“Saya malu. Besok pas kita nikah saya nggak bawa apa-apa”

“Akang ini ngomong apa sih!”

“Beneran. Tuh lihat Kang Asep bawa kasur, lemari, domba. Akang cuma bawa isi dalam celana”

“Berisik ah. Akang serius mau nikahin saya juga Elis sudah senang. Kalau bener Akang nggak bawa apa-apa. Nggak masalah. Sudah jangan pulang. Akang nginep di sini saja. Semua keperluan Akang biar nanti Elis yang urus!”

***

Akad nikah mereka berjalan dengan lancar. Seperti yang ia ceritakan pada Elis kemarin di kamar. Ia memang tidak membawa apa-apa. Yang datang cuma ayahnya, kedua anaknya, kapten sepakbola, dan karyawan-karyawannya yang tidak lain dan tidak bukan adalah teman-teman sepekerjaannya.

Tapi Elis terlihat bahagia. Orang tua Elis, Teh Entin dan Kang Asep juga bahagia. Tidak terpancar sedikit pun rona kesedihan dan kekecewaan di wajah mereka. Mereka benar-benar sudah seperti keluarga. Mereka tidak memperdulikan omongan orang-orang yang lumayan bikin panas telinga.

“Kok mau ya, Elis gadis cantik dan montok, nikah sama duda anak dua”

“Punya pelet apa ya, si Elis sampai klepek-klepek gitu sama duda!”

“Kalau saya sih mendingan nikah sama si Kardi, udah jelas-jelas bujangan, guru lagi. Honorer juga nggak apa-apa. Siapa tahu tahun depan diangkat jadi PNS!”

“Si Tarman juga wajahnya nggak jelek-jelek amat. Walau pun sehari-hari kerjanya ngojek. Tapi minimal punya penghasilan”

“Bujangan di kampung mungkin nilainya nggak seberapa dibanding dengan duda dari kota!”

“Halah, mending kalau dudanya duda kaya. Coba ini udah duda, nikah juga nggak bawa apa-apa”

“Iya juga ya. Hayuk ah kita antri. Menunya banyak sekali tuh. Entar makanannya keburu habis!”
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url