Romantis Banget! Tangan Suaminya Dicium Bolak-Balik
KEMARIN, Rabu 22 Desember 2021, di sosmed banyak yang update status selamat hari ibu. Sebagian ada yang memposting foto ibunya. Baik yang masih ada atau juga yang sudah almarhum. Sebagian lagi hanya posting kata-kata doang. Tanpa foto ibunya, baik yang masih ada atau yang sudah tiada. Terlepas dari keduanya, yang capture kata-kata lengkap dengan foto ibunya, atau yang mosting satu dua kalimat tanpa upload foto ibunya, secara pribadi jujur saya merasa terharu.
Saya bersyukur, ibu dan ayah saya masih ada. Saya juga bersyukur saudara-saudara saya masih kumplit. Tanpa harus merayakan hari ibu pun, setiap hari minggu, kita suka berkumpul. Kadang makan-makan, kadang jalan-jalan, kadang cuma ngumpul doang. Seharian, dari pagi sampai malam, diam di rumah orang tua. Nggak ke mana-mana. Paling kalau ada yang jualan cilok, baso tahu, baso ikan, mie ayam, atau tahu bulat, baru kita beli. Biasanya diantara kita suka ada yang mentraktir.
Sebagai anak, yang berusaha santun dan hormat pada orang tua, tentu saya ingin seperti teman-teman. Ngucapin selamat hari ibu di sosmed. Ada yang baca atau nggak buat saya nggak masalah. Yang penting saya sudah ngungkapin perasaan hati yang paling dalam buat ibu tercinta. Dengan ngucapin selamat hari ibu. Minimal hati saya merasa lega, plong, nggak ada lagi beban. Semua kegelisahan dan keresahan saya selama ini bisa diwakilkan dengan kata-kata.
Sayangnya, saya bukan orang yang romantis. Pun dengan saudara-saudara saya yang lain. Orang tua kami tidak mengajarkan anak-anaknya budaya sungkeman. Jangankan hari ibu. Hari Raya Idul Fitri pun kadang salaman kadang nggak. Yang serius salaman paling para menantu. Atau para tetangga yang sengaja datang ke rumah. Yang masih punya adat istiadat, setelah bersilaturahmi, suka langsung berziarah ke makam.
Buat saya, dan saudara-saudara saya yang lain, sungkeman atau salaman itu perasaannya kayak gimana gituh. Canggung banget. Padahal, dalam hati, kita pengen ngelakuin seperti itu. Pengen kayak orang-orang. Tapi mungkin tradisi keluarga kita dari dulu nggak dibiasakan seperti itu. Saat sungkeman atau salaman itu kita kesannya kayak dipaksakan. Tidak asli. Tidak natural. Harusnya serius. Netesin air mata. Ini malah cengar-cengir. Ketawa ketiwi.
Kemarin, waktu saya pulang dari rumah teman. Saya lihat ada suami istri yang sedang perpisahan di pinggir jalan. Suaminya mungkin mau pergi jauh. Kepala anaknya oleh ayahnya dielus-elus. Terus istrinya mencium tangan suaminya. Nyium tangannya unik banget. Tangan suaminya dicium bolak-balik. Saya jadi ngiri. Saya jadi terharu. Mereka pasti pasangan yang romantis. Seumur saya nikah. Kalau mau pergi, mau jauh mau dekat, belum pernah istri saya mencium tangan saya bolak-balik.
Balik lagi ke hari ibu. Dengan tidak mengucapkan "Selamat Hari Ibu". Bukan berarti saya tidak berbakti sama orang tua. Sebagai anak, mungkin saya dan saudara-saudara saya yang lain, masih banyak kekurangan. Tapi selagi ibu dan ayah masih ada. Sebisa mungkin kita akan berusaha membahagiakan mereka. Btw, rumah orang tua saya kemarin habis direnovasi. Kemarin saya bantuin ibu ngepel halaman rumah dan ngangkutin pot bunga. Semoga apa yang saya lakukan kemarin termasuk bakti dan cinta saya terhadap orang tua.
Saya bersyukur, ibu dan ayah saya masih ada. Saya juga bersyukur saudara-saudara saya masih kumplit. Tanpa harus merayakan hari ibu pun, setiap hari minggu, kita suka berkumpul. Kadang makan-makan, kadang jalan-jalan, kadang cuma ngumpul doang. Seharian, dari pagi sampai malam, diam di rumah orang tua. Nggak ke mana-mana. Paling kalau ada yang jualan cilok, baso tahu, baso ikan, mie ayam, atau tahu bulat, baru kita beli. Biasanya diantara kita suka ada yang mentraktir.
Sebagai anak, yang berusaha santun dan hormat pada orang tua, tentu saya ingin seperti teman-teman. Ngucapin selamat hari ibu di sosmed. Ada yang baca atau nggak buat saya nggak masalah. Yang penting saya sudah ngungkapin perasaan hati yang paling dalam buat ibu tercinta. Dengan ngucapin selamat hari ibu. Minimal hati saya merasa lega, plong, nggak ada lagi beban. Semua kegelisahan dan keresahan saya selama ini bisa diwakilkan dengan kata-kata.
Sayangnya, saya bukan orang yang romantis. Pun dengan saudara-saudara saya yang lain. Orang tua kami tidak mengajarkan anak-anaknya budaya sungkeman. Jangankan hari ibu. Hari Raya Idul Fitri pun kadang salaman kadang nggak. Yang serius salaman paling para menantu. Atau para tetangga yang sengaja datang ke rumah. Yang masih punya adat istiadat, setelah bersilaturahmi, suka langsung berziarah ke makam.
Buat saya, dan saudara-saudara saya yang lain, sungkeman atau salaman itu perasaannya kayak gimana gituh. Canggung banget. Padahal, dalam hati, kita pengen ngelakuin seperti itu. Pengen kayak orang-orang. Tapi mungkin tradisi keluarga kita dari dulu nggak dibiasakan seperti itu. Saat sungkeman atau salaman itu kita kesannya kayak dipaksakan. Tidak asli. Tidak natural. Harusnya serius. Netesin air mata. Ini malah cengar-cengir. Ketawa ketiwi.
Kemarin, waktu saya pulang dari rumah teman. Saya lihat ada suami istri yang sedang perpisahan di pinggir jalan. Suaminya mungkin mau pergi jauh. Kepala anaknya oleh ayahnya dielus-elus. Terus istrinya mencium tangan suaminya. Nyium tangannya unik banget. Tangan suaminya dicium bolak-balik. Saya jadi ngiri. Saya jadi terharu. Mereka pasti pasangan yang romantis. Seumur saya nikah. Kalau mau pergi, mau jauh mau dekat, belum pernah istri saya mencium tangan saya bolak-balik.
Balik lagi ke hari ibu. Dengan tidak mengucapkan "Selamat Hari Ibu". Bukan berarti saya tidak berbakti sama orang tua. Sebagai anak, mungkin saya dan saudara-saudara saya yang lain, masih banyak kekurangan. Tapi selagi ibu dan ayah masih ada. Sebisa mungkin kita akan berusaha membahagiakan mereka. Btw, rumah orang tua saya kemarin habis direnovasi. Kemarin saya bantuin ibu ngepel halaman rumah dan ngangkutin pot bunga. Semoga apa yang saya lakukan kemarin termasuk bakti dan cinta saya terhadap orang tua.