Pasangan Romantis itu Kisah Cintanya Harus Berakhir di Tengah Pandemi
PASANGAN romantis. Yang laki-laki jago menjahit. Yang perempuan bisa mengoperasikan mesin obras. Setiap hari mereka selalu masuk kerja nggak pernah absen. Posisi mesin jahit dan mesin obrasnya pun berdampingan. Nggak mau jauh. Nggak boleh kehalang siapa pun. Lucunya, karyawan lain nggak ada yang protes. Mungkin mereka bisa merasakan. Gimana rasanya orang berpacaran.
Berapa lama mereka kerja di orang tua saya. Pastinya saya kurang tahu. Waktu itu saya masih sekolah. Yang saya tahu ketika mereka pacaran dan memutuskan untuk menikah. Mereka masih bekerja di tempat kami. Keluar dari pekerjaan pun bukan dipecat atau mengundurkan diri. Melainkan konveksi orang tua saya bangkrut. Mereka keluar dengan terpaksa karena perusahaan tempat mereka bekerja sudah tidak bisa diselamatkan.
Sudah menjadi hukum alam. Jika seseorang bekerja dengan gigih, ulet, dan penuh dedikasi. Suatu saat orang tersebut akan meraih kesuksesan. Hal itu pun terjadi pada mantan karyawan kami. Mereka berdua termasuk salah satu karyawan terbaik yang melesat karirnya. Setelah mereka menikah dan pensiun dari pekerjaan menjahit. Mereka mulai merintis usaha sendiri. Mereka membuka konveksi bordir sendiri.
Pada saat artikel ini saya tulis. Mereka sudah jadi orang. Mereka sudah jadi pengusaha terkenal. Mereka berdua, pasangan suami istri tersebut, sudah menunaikan ibadah haji. Mereka sudah menyandang gelar Pak Haji dan Teh Hajjah. Rumahnya juga di pinggir jalan. Berdekatan dengan rumah pengusaha legendaris. Yang sering masuk tv. Yang kerap menjadi tujuan destinasi orang-orang berduit yang ingin membeli busana muslim dengan harga grosir.
Satu-satunya kekurangan mereka adalah mereka lupa purwadaksi. Kacang lupa sama kulit. Setelah tidak lagi jadi karyawan di tempat Kami. Mereka benar-benar lose contact. Sikap dan perhatian mereka berbanding terbalik dengan mantan-mantan karyawan lain yang nasibnya dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Meski tidak sering, karyawan-karyawan lain masih suka bersilaturahmi. Masih suka kontek-kontekan. Sementara mereka sekali pun tidak pernah.
Apakah harta bisa membuat seseorang lupa dan jumawa. Sebagai bekas majikan, buat kami hal itu tidak penting. Karakteristik tiap orang beda-beda. Toh, kami juga tidak mempermasalahkan. Mereka mau ingat atau tidak buat kami tak mengapa. Secara pribadi kami merasa bersyukur dan ikut senang jika ada mantan karyawan kami hidupnya telah berubah. Dulu buat makan saja istilahnya susah. Sekarang sudah punya perusahaan, rumah megah, dan mobil mewah.
Sayangnya, pasangan romantis itu kisah cintanya harus berakhir di tengah pandemi. Teh Hajjah dipanggil yang Maha Kuasa. Saya dapat kabar Teh Hajjah meninggal dari tetangganya waktu mau jemput anak sekolah. Kepergian Teh Hajjah tentu menyisakan duka. Bukan saja buat keluarga. Tapi buat orang-orang yang mengenalnya. Termasuk kami, mantan majikan, yang menjadi saksi hidup perjalanan cinta mereka.
(Kami sekeluarga turut berduka. Semoga Almarhumah mendapatkan tempat yang terbaik di sisiNya. Amiin)
Berapa lama mereka kerja di orang tua saya. Pastinya saya kurang tahu. Waktu itu saya masih sekolah. Yang saya tahu ketika mereka pacaran dan memutuskan untuk menikah. Mereka masih bekerja di tempat kami. Keluar dari pekerjaan pun bukan dipecat atau mengundurkan diri. Melainkan konveksi orang tua saya bangkrut. Mereka keluar dengan terpaksa karena perusahaan tempat mereka bekerja sudah tidak bisa diselamatkan.
Sudah menjadi hukum alam. Jika seseorang bekerja dengan gigih, ulet, dan penuh dedikasi. Suatu saat orang tersebut akan meraih kesuksesan. Hal itu pun terjadi pada mantan karyawan kami. Mereka berdua termasuk salah satu karyawan terbaik yang melesat karirnya. Setelah mereka menikah dan pensiun dari pekerjaan menjahit. Mereka mulai merintis usaha sendiri. Mereka membuka konveksi bordir sendiri.
Pada saat artikel ini saya tulis. Mereka sudah jadi orang. Mereka sudah jadi pengusaha terkenal. Mereka berdua, pasangan suami istri tersebut, sudah menunaikan ibadah haji. Mereka sudah menyandang gelar Pak Haji dan Teh Hajjah. Rumahnya juga di pinggir jalan. Berdekatan dengan rumah pengusaha legendaris. Yang sering masuk tv. Yang kerap menjadi tujuan destinasi orang-orang berduit yang ingin membeli busana muslim dengan harga grosir.
Satu-satunya kekurangan mereka adalah mereka lupa purwadaksi. Kacang lupa sama kulit. Setelah tidak lagi jadi karyawan di tempat Kami. Mereka benar-benar lose contact. Sikap dan perhatian mereka berbanding terbalik dengan mantan-mantan karyawan lain yang nasibnya dari dulu sampai sekarang tidak berubah. Meski tidak sering, karyawan-karyawan lain masih suka bersilaturahmi. Masih suka kontek-kontekan. Sementara mereka sekali pun tidak pernah.
Apakah harta bisa membuat seseorang lupa dan jumawa. Sebagai bekas majikan, buat kami hal itu tidak penting. Karakteristik tiap orang beda-beda. Toh, kami juga tidak mempermasalahkan. Mereka mau ingat atau tidak buat kami tak mengapa. Secara pribadi kami merasa bersyukur dan ikut senang jika ada mantan karyawan kami hidupnya telah berubah. Dulu buat makan saja istilahnya susah. Sekarang sudah punya perusahaan, rumah megah, dan mobil mewah.
Sayangnya, pasangan romantis itu kisah cintanya harus berakhir di tengah pandemi. Teh Hajjah dipanggil yang Maha Kuasa. Saya dapat kabar Teh Hajjah meninggal dari tetangganya waktu mau jemput anak sekolah. Kepergian Teh Hajjah tentu menyisakan duka. Bukan saja buat keluarga. Tapi buat orang-orang yang mengenalnya. Termasuk kami, mantan majikan, yang menjadi saksi hidup perjalanan cinta mereka.
(Kami sekeluarga turut berduka. Semoga Almarhumah mendapatkan tempat yang terbaik di sisiNya. Amiin)