2 dari 8 Anaknya Phobia dengan Nasi
BEGITU sampai di rumahnya. Saya disambut oleh sekumpulan anak kecil yang sedang bermain di halaman. Berapa jumlah anak tersebut saya tidak terlalu memperhatikan. Saya bukan petugas posyandu. Saya juga bukan petugas kelurahan yang sedang mendata warga. Saya datang ke sana murni sebagai sales marketing. Atau lebih tepatnya makelar dadakan yang berniat menawarkan sepeda motor karena sehari sebelumnya diminta oleh adik yang punya rumah.
Saat bertamu dan ngobrol dengan yang punya rumah. Anak-anak yang sedang main di halaman tadi asyik berseliweran. Lari-lari. Nyanyi-nyanyi. Suaranya cukup berisik. Tapi yang punya rumah sedikit pun tidak merasa terganggu. Bukannya menghardik atau menyuruh anak-anak diam atau pergi. Yang punya rumah malah serius memperhatikan kondisi sepeda motor yang saya bawa. Teliti sekali. Atas bawah depan belakang semuanya dicek tak ada yang terlewat.
Sepeda motor yang saya tawarkan ternyata tidak kepakai. Shockbreaker-nya bocor. Bannya tipis. STNK dan plat nomornya harus diganti April tahun depan. Sepeda motor yang saya bawa sebenarnya bukan sepeda motor yang fotonya kemarin saya kirim ke adik yang punya rumah. Berhubung saya ambil motor dari showroom. Pemilik showroom nyaranin saya untuk bawa yang ada dulu. Motor yang fotonya dikirim lewat WA masih dalam perjalanan.
Besoknya saya datang lagi ke rumahnya. Kali ini bawa sepeda motor yang waktu itu dikirim lewat WA. Seperti sebelumnya, sepeda motor yang saya bawa dicek satu persatu. Atas bawah depan belakang. Sepeda motor yang ini joknya bolong tapi body dan mesinnya masih mulus. Udah gitu pajaknya panjang. STNK bulan November tahun depan. Plat nomor tahun 2026. Singkat cerita. Jadilah sepeda motor itu dibeli. Sebagai makelar saya dapat komisi.
Yang menarik, sambil menunggu anak yang punya rumah bawa uang dari ATM. Saya iseng nanya sama yang punya rumah: ini anak siapa dari kemarin berisik terus. Yang punya rumah langsung jawab: itu anak saya. Saya tanya lagi: semuanya? Jawab yang punya rumah: iya! Seketika saya langsung kaget. Anak kecil itu ada 6 orang. 2 perempuan, 4 laki-laki. Yang perempuan, yang bawa uang ke ATM itu, anak paling gede. Anaknya sebenarnya ada 8. Satu lagi, adiknya yang bawa uang, tinggal di pesantren.
Di era milenial saat ini, seingat saya baru kali ini saya lihat keluarga yang banyak anaknya. Ke 8 anak itu lahirnya selang satu tahun. Kedua orang tuanya tidak menjalankan program keluarga berencana. Ke enam anak yang main di halaman itu tingginya sama. Gedenya juga sama. Ada pemandangan unik saat saya dan pemilik rumah sedang ngobrol. Tiba-tiba datang pedagang asongan menjajakan berbagai macam makanan. Ke 6 anak itu langsung berebut mengerumuni pedagang.
Dari ke 6 anak tersebut. Saya dengar langsung dari ayahnya. Ada 2 anak yang tidak suka makan nasi. Waktu saya tanya apa sebelumnya pernah ngalamin peristiwa traumatik. Ayahnya bilang nggak. Kejadiannya natural saja. Kedua anaknya tahu-tahu nggak suka dan takut saja jika lihat nasi. Waktu ayahnya ngegodain salah satu anaknya dengan nasi. Anak tersebut langsung nangis dan menjerit-jerit. Kekagetan saya ternyata tidak berhenti sampai di situ. Saat istrinya keluar mau bayar jajanan anak-anak. Saya lihat istrinya sedang hamil. Anak ke 9. Usia kandungannya masuk 6 bulan.
Saat bertamu dan ngobrol dengan yang punya rumah. Anak-anak yang sedang main di halaman tadi asyik berseliweran. Lari-lari. Nyanyi-nyanyi. Suaranya cukup berisik. Tapi yang punya rumah sedikit pun tidak merasa terganggu. Bukannya menghardik atau menyuruh anak-anak diam atau pergi. Yang punya rumah malah serius memperhatikan kondisi sepeda motor yang saya bawa. Teliti sekali. Atas bawah depan belakang semuanya dicek tak ada yang terlewat.
Sepeda motor yang saya tawarkan ternyata tidak kepakai. Shockbreaker-nya bocor. Bannya tipis. STNK dan plat nomornya harus diganti April tahun depan. Sepeda motor yang saya bawa sebenarnya bukan sepeda motor yang fotonya kemarin saya kirim ke adik yang punya rumah. Berhubung saya ambil motor dari showroom. Pemilik showroom nyaranin saya untuk bawa yang ada dulu. Motor yang fotonya dikirim lewat WA masih dalam perjalanan.
Besoknya saya datang lagi ke rumahnya. Kali ini bawa sepeda motor yang waktu itu dikirim lewat WA. Seperti sebelumnya, sepeda motor yang saya bawa dicek satu persatu. Atas bawah depan belakang. Sepeda motor yang ini joknya bolong tapi body dan mesinnya masih mulus. Udah gitu pajaknya panjang. STNK bulan November tahun depan. Plat nomor tahun 2026. Singkat cerita. Jadilah sepeda motor itu dibeli. Sebagai makelar saya dapat komisi.
Yang menarik, sambil menunggu anak yang punya rumah bawa uang dari ATM. Saya iseng nanya sama yang punya rumah: ini anak siapa dari kemarin berisik terus. Yang punya rumah langsung jawab: itu anak saya. Saya tanya lagi: semuanya? Jawab yang punya rumah: iya! Seketika saya langsung kaget. Anak kecil itu ada 6 orang. 2 perempuan, 4 laki-laki. Yang perempuan, yang bawa uang ke ATM itu, anak paling gede. Anaknya sebenarnya ada 8. Satu lagi, adiknya yang bawa uang, tinggal di pesantren.
Di era milenial saat ini, seingat saya baru kali ini saya lihat keluarga yang banyak anaknya. Ke 8 anak itu lahirnya selang satu tahun. Kedua orang tuanya tidak menjalankan program keluarga berencana. Ke enam anak yang main di halaman itu tingginya sama. Gedenya juga sama. Ada pemandangan unik saat saya dan pemilik rumah sedang ngobrol. Tiba-tiba datang pedagang asongan menjajakan berbagai macam makanan. Ke 6 anak itu langsung berebut mengerumuni pedagang.
Dari ke 6 anak tersebut. Saya dengar langsung dari ayahnya. Ada 2 anak yang tidak suka makan nasi. Waktu saya tanya apa sebelumnya pernah ngalamin peristiwa traumatik. Ayahnya bilang nggak. Kejadiannya natural saja. Kedua anaknya tahu-tahu nggak suka dan takut saja jika lihat nasi. Waktu ayahnya ngegodain salah satu anaknya dengan nasi. Anak tersebut langsung nangis dan menjerit-jerit. Kekagetan saya ternyata tidak berhenti sampai di situ. Saat istrinya keluar mau bayar jajanan anak-anak. Saya lihat istrinya sedang hamil. Anak ke 9. Usia kandungannya masuk 6 bulan.