Jadi Pedagang Itu Harus Sabar dan Ulet, Jangan Mau yang Instan
WAKTU masih pakai masker, wajahnya sama sekali nggak dikenali. Tapi begitu maskernya dibuka. Kita langsung saling sapa. Saling nanya kabar. Saling nanya rumah di mana. Kerja di mana. Seterusnya ngobrolin bisnis di masa lalu dan masa depan. Terutama yang saat ini lagi digarap. Lagi dikerjakan. Walau pun sekilas-sekilas karena kita ketemu pas mau jumatan. Waktunya sangat terbatas.
Saya adalah pelanggan setia ketika dia masih jualan lengko ayam. Saya sangat menyayangkan saat tahu dia beralih profesi dari jualan lengko menjadi jualan pisang. Padahal, menurut saya, lengkonya sangat enak. Kuahnya gurih. Ketupatnya legit dan kenyal. Saya tidak tahu apa alasan dia berhenti jualan lengko. Yang saya tahu dia jualannya di pasar. Di dekat terminal bis dan angkot. Orang-orang banyak yang hilir mudik.
Waktu saya cerita ke istri kalau saya ketemu dia saat lagi jumatan. Istri saya langsung ngomong begini. Enak menurut kita. Belum tentu enak menurut orang lain. Meski pun jualan di pasar. Yang potensi lakunya sangat besar. Kalau rasanya tidak enak. Tidak akan ada yang beli. Tapi kalau rasanya enak. Sekali pun jualannya di dalam gang. Orang-orang akan tetap membeli. Banyak pedagang yang jualannya bukan di lokasi strategis. Tapi jualannya tetep laris manis.
Setelah saya fikir-fikir. Omongan istri ada benarnya juga. Enak itu relatif. Lidah orang beda-beda. Bakso A menurut saya enak. Belum tentu menurut orang lain. Begitu juga dengan mie Ayam B. Menurut orang lain enak. Bisa saja menurut saya tidak enak. Kalau sudah begitu. Soal rasa kita serahkan ke konsumen. Biar konsumen yang menilai. Pokoknya, kalau jualan kita tidak ada yang beli. Kita pasti akan ganti profesi.
Yang masih mengganjal dan kefikiran terus sama saya. Dia juga sekarang sudah tidak jualan pisang lagi di pasar. Alasannya sewa tempatnya mahal. Terus jualan pisang kalau tidak laku pisangnya suka membusuk. Saya jadi mengernyitkan dahi. Yang pengen jualan di pasar kan banyak. Kalau harga sewa tempatnya mahal. Wajar. Karena banyak saingan. Terus, kalau pisang tidak laku, suka membusuk. Jualan buah-buahan bukankah resikonya seperti itu?
Dari dua alasan yang dia utarakan tadi. Saya jadi prihatin dengan kondisi psikologis dia. Saya punya feeling dia orangnya plin plan. Tidak fokus dan tidak konsisten. Terlepas dari omongan istri saya yang mengatakan enak itu relatif. Saya rasa dia ganti profesi dari jualan lengko ke jualan pisang. Masalahnya bukan karena sepi atau tidak laku. Tapi dia tidak sabar dan tidak ulet. Dia pengen sukses dan berhasil dengan cara instan.
Kalau kita punya mental seperti itu. Mau jualan apa pun ke sananya tidak akan benar. Apalagi saat ketemu pas jumatan itu dia bilang abis nganter muatan. Dia sekarang ngojek. Akunnya pinjam punya orang lain. Dia sudah ganti profesi lagi. Saya benar-benar merasa miris dan kasihan. Harusnya dia fokus dan konsisten saja jualan lengko. Saya lihat banyak kok pedagang yang jualan sejenis di dalam pasar. Sampai saat ini mereka masih tetap bertahan.
Saya adalah pelanggan setia ketika dia masih jualan lengko ayam. Saya sangat menyayangkan saat tahu dia beralih profesi dari jualan lengko menjadi jualan pisang. Padahal, menurut saya, lengkonya sangat enak. Kuahnya gurih. Ketupatnya legit dan kenyal. Saya tidak tahu apa alasan dia berhenti jualan lengko. Yang saya tahu dia jualannya di pasar. Di dekat terminal bis dan angkot. Orang-orang banyak yang hilir mudik.
Waktu saya cerita ke istri kalau saya ketemu dia saat lagi jumatan. Istri saya langsung ngomong begini. Enak menurut kita. Belum tentu enak menurut orang lain. Meski pun jualan di pasar. Yang potensi lakunya sangat besar. Kalau rasanya tidak enak. Tidak akan ada yang beli. Tapi kalau rasanya enak. Sekali pun jualannya di dalam gang. Orang-orang akan tetap membeli. Banyak pedagang yang jualannya bukan di lokasi strategis. Tapi jualannya tetep laris manis.
Setelah saya fikir-fikir. Omongan istri ada benarnya juga. Enak itu relatif. Lidah orang beda-beda. Bakso A menurut saya enak. Belum tentu menurut orang lain. Begitu juga dengan mie Ayam B. Menurut orang lain enak. Bisa saja menurut saya tidak enak. Kalau sudah begitu. Soal rasa kita serahkan ke konsumen. Biar konsumen yang menilai. Pokoknya, kalau jualan kita tidak ada yang beli. Kita pasti akan ganti profesi.
Yang masih mengganjal dan kefikiran terus sama saya. Dia juga sekarang sudah tidak jualan pisang lagi di pasar. Alasannya sewa tempatnya mahal. Terus jualan pisang kalau tidak laku pisangnya suka membusuk. Saya jadi mengernyitkan dahi. Yang pengen jualan di pasar kan banyak. Kalau harga sewa tempatnya mahal. Wajar. Karena banyak saingan. Terus, kalau pisang tidak laku, suka membusuk. Jualan buah-buahan bukankah resikonya seperti itu?
Dari dua alasan yang dia utarakan tadi. Saya jadi prihatin dengan kondisi psikologis dia. Saya punya feeling dia orangnya plin plan. Tidak fokus dan tidak konsisten. Terlepas dari omongan istri saya yang mengatakan enak itu relatif. Saya rasa dia ganti profesi dari jualan lengko ke jualan pisang. Masalahnya bukan karena sepi atau tidak laku. Tapi dia tidak sabar dan tidak ulet. Dia pengen sukses dan berhasil dengan cara instan.
Kalau kita punya mental seperti itu. Mau jualan apa pun ke sananya tidak akan benar. Apalagi saat ketemu pas jumatan itu dia bilang abis nganter muatan. Dia sekarang ngojek. Akunnya pinjam punya orang lain. Dia sudah ganti profesi lagi. Saya benar-benar merasa miris dan kasihan. Harusnya dia fokus dan konsisten saja jualan lengko. Saya lihat banyak kok pedagang yang jualan sejenis di dalam pasar. Sampai saat ini mereka masih tetap bertahan.