Umur Rahasia Tuhan, Kita Tidak Tahu Siapa Yang Dipanggil Duluan
SUDAH tua. Harusnya tinggal di rumah. Toh, anak-anaknya sudah pada berkeluarga. Untuk kebutuhan sehari-hari. Anak-anaknya masa tega menelantarkan orang tua. Tapi yang namanya manusia. Sekalipun sudah tua. Selama tenaga masih kuat dan keinginan masih besar. Pasti ingin mencoba berbagai hal. Apalagi yang ada hubungannya dengan perut. Yang ada kaitannya dengan isi dompet. Hidup tidak boleh berhenti.
Itulah yang dialami dan dijalani oleh Kang Yaya. Tetangga saya waktu masih tinggal di kontrakan. Anak-anaknya sebenarnya sudah melarang beliau berjualan. Tapi berhubung punya istri baru (istri pertama sudah meninggal) yang harus dinafkahi. Kang Yaya tetap memaksa ingin berjualan. Setiap hari dia keliling jualan bakwan. Di sekitar kontrakan saya kebetulan ada yang berjualan bakwan. Pemilik bakwan berbaik hati mengizinkan Kang Yaya jadi anak buah.
Suatu hari apa yang saya takutkan benar-benar terjadi. Kang Yaya tertabrak truk. Roda bakwannya rusak tak berbentuk. Waktu saya datang ke lokasi kecelakaan. Kang Yaya sudah tidak ada. Kang Yaya sudah dibawa ke rumah sakit. Kata warga yang melihat kejadian. Posisi Kang Yaya melawan arus. Itu yang selama ini saya khawatirkan. Selain usianya yang sudah tidak muda. Kang Yaya kalau jualan suka melawan arus.
Hari demi hari, semua warga menanti kabar dari rumah sakit. Kepala dan punggung Kang Yaya melepuh karena terkena cipratan kuah. Kang Yaya menjalani perawatan khusus. Sampai ada selentingan Kang Yaya kritis. Belum sadar-sadar alias koma. Para tetangga yang dekat dan sering ketemu dengan Kang Yaya seperti Bu Haji dan Pak Haji pemilik warung kelontongan sering mendoakan Kang Yaya. Semoga Kang Yaya segera pulih dan kembali pulang.
Saat semua warga sudah pasrah dengan nasib Kang Yaya. Baik dan buruk sudah siap menerima. Kondisi Kang Yaya perlahan mulai membaik. Pihak rumah sakit sudah mengizinkan Kang Yaya pulang dan menjalani perawatan di rumah. Dengan perban yang masih menempel di kepala, punggung dan tangan. Setiap hari Kang Yaya suka nongkrong di warung samping kontrakan saya. Warung itu dulunya bekas rumah Kang Yaya. Dijual karena istri pertama meninggal. Anak-anaknya butuh warisan.
Tempo hari waktu saya mau berangkat ke pasar. Saya melihat Kang Yaya sedang mendorong roda. Kang Yaya sekarang berjualan cilok. Jualannya sekarang tidak melawan arus. Cuma kelilingnya jadi jauh. Jika dulu jualannya seputaran jalan baru. Sekarang masuk ke kampung-kampung. Kang Yaya lolos dari maut. Kang Yaya masih diberikan kesehatan dan keselamatan. Masih bisa melanjutkan hidup. Masih bisa berkumpul dengan istri dan anak-anaknya.
Kondisi sebaliknya justru terjadi pada Bu Haji dan Pak Haji (bukan suami istri) pemilik warung kelontongan. Mereka sama-sama orang baik. Pada saat artikel ini saya tulis. Keduanya sudah menjadi almarhum. Bu Haji meninggal 2 atau 3 bulan setelah Kang Yaya kecelakaan. Jauh sebelum pandemi melanda. Sementara Pak Haji meninggal 1 bulan yang lalu setelah ada pandemi. Umur memang rahasia Tuhan. Semua orang mengira Kang Yaya akan pendek umur. Tapi nyatanya, malah Bu Haji dan Pak Haji yang dipanggil duluan.
Itulah yang dialami dan dijalani oleh Kang Yaya. Tetangga saya waktu masih tinggal di kontrakan. Anak-anaknya sebenarnya sudah melarang beliau berjualan. Tapi berhubung punya istri baru (istri pertama sudah meninggal) yang harus dinafkahi. Kang Yaya tetap memaksa ingin berjualan. Setiap hari dia keliling jualan bakwan. Di sekitar kontrakan saya kebetulan ada yang berjualan bakwan. Pemilik bakwan berbaik hati mengizinkan Kang Yaya jadi anak buah.
Suatu hari apa yang saya takutkan benar-benar terjadi. Kang Yaya tertabrak truk. Roda bakwannya rusak tak berbentuk. Waktu saya datang ke lokasi kecelakaan. Kang Yaya sudah tidak ada. Kang Yaya sudah dibawa ke rumah sakit. Kata warga yang melihat kejadian. Posisi Kang Yaya melawan arus. Itu yang selama ini saya khawatirkan. Selain usianya yang sudah tidak muda. Kang Yaya kalau jualan suka melawan arus.
Hari demi hari, semua warga menanti kabar dari rumah sakit. Kepala dan punggung Kang Yaya melepuh karena terkena cipratan kuah. Kang Yaya menjalani perawatan khusus. Sampai ada selentingan Kang Yaya kritis. Belum sadar-sadar alias koma. Para tetangga yang dekat dan sering ketemu dengan Kang Yaya seperti Bu Haji dan Pak Haji pemilik warung kelontongan sering mendoakan Kang Yaya. Semoga Kang Yaya segera pulih dan kembali pulang.
Saat semua warga sudah pasrah dengan nasib Kang Yaya. Baik dan buruk sudah siap menerima. Kondisi Kang Yaya perlahan mulai membaik. Pihak rumah sakit sudah mengizinkan Kang Yaya pulang dan menjalani perawatan di rumah. Dengan perban yang masih menempel di kepala, punggung dan tangan. Setiap hari Kang Yaya suka nongkrong di warung samping kontrakan saya. Warung itu dulunya bekas rumah Kang Yaya. Dijual karena istri pertama meninggal. Anak-anaknya butuh warisan.
Tempo hari waktu saya mau berangkat ke pasar. Saya melihat Kang Yaya sedang mendorong roda. Kang Yaya sekarang berjualan cilok. Jualannya sekarang tidak melawan arus. Cuma kelilingnya jadi jauh. Jika dulu jualannya seputaran jalan baru. Sekarang masuk ke kampung-kampung. Kang Yaya lolos dari maut. Kang Yaya masih diberikan kesehatan dan keselamatan. Masih bisa melanjutkan hidup. Masih bisa berkumpul dengan istri dan anak-anaknya.
Kondisi sebaliknya justru terjadi pada Bu Haji dan Pak Haji (bukan suami istri) pemilik warung kelontongan. Mereka sama-sama orang baik. Pada saat artikel ini saya tulis. Keduanya sudah menjadi almarhum. Bu Haji meninggal 2 atau 3 bulan setelah Kang Yaya kecelakaan. Jauh sebelum pandemi melanda. Sementara Pak Haji meninggal 1 bulan yang lalu setelah ada pandemi. Umur memang rahasia Tuhan. Semua orang mengira Kang Yaya akan pendek umur. Tapi nyatanya, malah Bu Haji dan Pak Haji yang dipanggil duluan.