Kenangan Masa Lalu di Terminal Bis, Perlahan Mulai Terhapus
BUKAN di terminal bis saja kenangan masa lalu saya dengan istri banyak yang terhapus. Di terminal bayangan pun pelan-pelan ada yang ingin mencoba menghapusnya. Sayangnya, seberapa indah dan berkesannya kenangan kita, saya tak bisa menolaknya. Tak bisa melarangnya.
Seperti pengunjung dan penumpang lain. Dari hari ke hari. Dari waktu ke waktu. Ke mana pun tujuannya. Saya dan istri hanya sekedar singgah. Itu pun tidak lama. Paling satu jam atau dua jam. Setelah bis yang ditunggu datang. Saya dan istri sama-sama berangkat, merajut kisah, melanjutkan cerita di tempat lain.
Bagi orang awam. Semua kisah yang tercipta di terminal. Mungkin tak terlalu penting. Keberadaan terminal, bagi mereka hanya sekedar angin lalu. Tak ada yang harus dicatat. Tak ada yang harus ditulis. Toh ujung-ujungnya mereka pergi mencari kerja. Mudik ke kampung halaman. Atau bisa jadi naik bis karena ada urusan yang mendesak.
Sementara buat saya, terminal bagaikan sebuah buku. Terminal bagaikan sebuah majalah. Atau sebuah surat kabar yang kerap melahirkan fakta. Menyajikan cerita tentang hiruk pikuk manusia dari berbagai latar belakang. Apa yang terjadi di sana, bagaimana pun, harus saya catat. Harus saya tulis. Harus didokumentasikan.
Tak bisa dipungkiri saya dan istri termasuk bagian di dalamnya. Saya dan istri sering merajut kisah di terminal. Baik di terminal bis maupun di terminal bayangan. Ada banyak kisah dan cerita tercipta di sana. Jadi menurut saya sangat wajar kalau saya agak risih saat ada gelagat yang hendak menghapus kenangan-kenangan kita di terminal.
Kendati demikian, sekali lagi, saya tak bisa menolak. Tak bisa melarang. Apalagi yang hendak menghapus kenangan-kenangan kita di terminal adalah keadaan. Adalah zaman. Adalah waktu. Yang terus melaju tanpa mau menoleh ke belakang. Tanpa mau peduli pada orang-orang yang merasa memiliki ikatan emosional dengan terminal.
Saat perubahan itu nyata adanya. Saya hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada. Kita tidak bisa melawan zaman. Pelan-pelan saya pun mulai tersadar. Semua kenangan yang tercipta, di mana pun, bukan cuma di terminal. Tempat terbaik untuk menyimpan kenangan bukan di lokasi saat kita mengukirnya. Melainkan di kepala, di dalam ingatan, serta di relung hati yang paling dalam.
Seperti pengunjung dan penumpang lain. Dari hari ke hari. Dari waktu ke waktu. Ke mana pun tujuannya. Saya dan istri hanya sekedar singgah. Itu pun tidak lama. Paling satu jam atau dua jam. Setelah bis yang ditunggu datang. Saya dan istri sama-sama berangkat, merajut kisah, melanjutkan cerita di tempat lain.
Bagi orang awam. Semua kisah yang tercipta di terminal. Mungkin tak terlalu penting. Keberadaan terminal, bagi mereka hanya sekedar angin lalu. Tak ada yang harus dicatat. Tak ada yang harus ditulis. Toh ujung-ujungnya mereka pergi mencari kerja. Mudik ke kampung halaman. Atau bisa jadi naik bis karena ada urusan yang mendesak.
Sementara buat saya, terminal bagaikan sebuah buku. Terminal bagaikan sebuah majalah. Atau sebuah surat kabar yang kerap melahirkan fakta. Menyajikan cerita tentang hiruk pikuk manusia dari berbagai latar belakang. Apa yang terjadi di sana, bagaimana pun, harus saya catat. Harus saya tulis. Harus didokumentasikan.
Tak bisa dipungkiri saya dan istri termasuk bagian di dalamnya. Saya dan istri sering merajut kisah di terminal. Baik di terminal bis maupun di terminal bayangan. Ada banyak kisah dan cerita tercipta di sana. Jadi menurut saya sangat wajar kalau saya agak risih saat ada gelagat yang hendak menghapus kenangan-kenangan kita di terminal.
Kendati demikian, sekali lagi, saya tak bisa menolak. Tak bisa melarang. Apalagi yang hendak menghapus kenangan-kenangan kita di terminal adalah keadaan. Adalah zaman. Adalah waktu. Yang terus melaju tanpa mau menoleh ke belakang. Tanpa mau peduli pada orang-orang yang merasa memiliki ikatan emosional dengan terminal.
Saat perubahan itu nyata adanya. Saya hanya bisa menghela nafas dan mengelus dada. Kita tidak bisa melawan zaman. Pelan-pelan saya pun mulai tersadar. Semua kenangan yang tercipta, di mana pun, bukan cuma di terminal. Tempat terbaik untuk menyimpan kenangan bukan di lokasi saat kita mengukirnya. Melainkan di kepala, di dalam ingatan, serta di relung hati yang paling dalam.