Jangan Biarkan Orang Tua Kita jadi Pengemis
JUALAN seruling zaman dulu laku. Tiap hari selalu ada yang beli. Itu yang saya lihat waktu saya masih sekolah SD. Yang jual kebetulan ayahnya teman saya. Teman satu kelas. Saya juga pernah beli. Bareng teman-teman yang lain. Kita berangkat bareng ke rumahnya. Kalau tidak salah waktu itu harganya 100 perak. Berhubung yang beli rame-rame. Harganya dikurangin jadi 50 perak.
Seruling adalah alat musik tradisional khas Sunda. Pasangan duetnya adalah kecapi. Perpaduan antara petikan kecapi dan tiupan seruling menciptakan alunan nada yang menenangkan jiwa. Dengerin musik seruling kecapi perasaan kayak di bawa ke suasana pedesaan. Terbayang gunung, sawah, sungai, suara burung, dan semilir angin sepoy-sepoy. Adem banget pokoknya.
Di tempat objek wisata. Khususnya di toko penjualan suvenir dan oleh-oleh, penjualan seruling mungkin masih lancar. Satu dua orang wisatawan masih ada yang beli. Berbeda dengan ayahnya teman saya. Nasibnya benar-benar sangat miris. Tiap hari dia menjinjing tas penuh seruling. Satu pun nggak ada yang beli. Mungkin beda zaman beda generasi.
Ups! Dugaan saya salah. Ayahnya teman saya teryata tidak sedang jualan seruling. Ayahnya teman saya tampak seperti sedang mengemis. Dia jongkok di pinggir jalan nyaris tiap hari. Lokasinya pindah-pindah. Pernah suatu hari saya lihat anak kecil turun dari mobil ngasih uang selembar. Mungkin disuruh orang tuanya karena kasihan.
Saya jadi teringat sama anak-anaknya. Termasuk teman saya itu. Di mana dia sekarang. Kok tega ngebiarin ayahnya seperti itu. Sebagai anak harusnya bisa berbakti sama orang tua. Apalagi kalau orang tua kita masih ada. Masih kumplit. Jangan biarkan orang tua kita jadi pengemis. Jangan biarkan orang tua kita minta-minta di jalanan.
Kesulitan ekonomi kadang membuat seseorang gelap mata nekad melakukan apa saja. Ayah teman saya yang jualan seruling itu adalah sebuah potret kecil tentang kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Di perempatan lampu merah, pom bensin, sering saya lihat orang tua renta jualan buah, cemilan, tissue demi untuk mengisi perut.
Kadang saya suka terenyuh. Kadang mangkel juga. Saya suka heran sama pengemis yang fisiknya kelihatan bugar. Apalagi sampai bawa anak-anak suruh minta-minta. Bagi mereka, ngemis termasuk sebuah pekerjaan. Orang lain konsisten jualan, nyari kerjaan yang halal. Ini malah konsisten mengharap belas kasihan orang-orang.
Seruling adalah alat musik tradisional khas Sunda. Pasangan duetnya adalah kecapi. Perpaduan antara petikan kecapi dan tiupan seruling menciptakan alunan nada yang menenangkan jiwa. Dengerin musik seruling kecapi perasaan kayak di bawa ke suasana pedesaan. Terbayang gunung, sawah, sungai, suara burung, dan semilir angin sepoy-sepoy. Adem banget pokoknya.
Di tempat objek wisata. Khususnya di toko penjualan suvenir dan oleh-oleh, penjualan seruling mungkin masih lancar. Satu dua orang wisatawan masih ada yang beli. Berbeda dengan ayahnya teman saya. Nasibnya benar-benar sangat miris. Tiap hari dia menjinjing tas penuh seruling. Satu pun nggak ada yang beli. Mungkin beda zaman beda generasi.
Ups! Dugaan saya salah. Ayahnya teman saya teryata tidak sedang jualan seruling. Ayahnya teman saya tampak seperti sedang mengemis. Dia jongkok di pinggir jalan nyaris tiap hari. Lokasinya pindah-pindah. Pernah suatu hari saya lihat anak kecil turun dari mobil ngasih uang selembar. Mungkin disuruh orang tuanya karena kasihan.
Saya jadi teringat sama anak-anaknya. Termasuk teman saya itu. Di mana dia sekarang. Kok tega ngebiarin ayahnya seperti itu. Sebagai anak harusnya bisa berbakti sama orang tua. Apalagi kalau orang tua kita masih ada. Masih kumplit. Jangan biarkan orang tua kita jadi pengemis. Jangan biarkan orang tua kita minta-minta di jalanan.
Kesulitan ekonomi kadang membuat seseorang gelap mata nekad melakukan apa saja. Ayah teman saya yang jualan seruling itu adalah sebuah potret kecil tentang kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Di perempatan lampu merah, pom bensin, sering saya lihat orang tua renta jualan buah, cemilan, tissue demi untuk mengisi perut.
Kadang saya suka terenyuh. Kadang mangkel juga. Saya suka heran sama pengemis yang fisiknya kelihatan bugar. Apalagi sampai bawa anak-anak suruh minta-minta. Bagi mereka, ngemis termasuk sebuah pekerjaan. Orang lain konsisten jualan, nyari kerjaan yang halal. Ini malah konsisten mengharap belas kasihan orang-orang.