Usia Tidak Menghalangi Seseorang untuk Berusaha Mencari Rezeki
SEMINGGUAN ini saya sering nongkrong di bunderan jalan baru. Kemarin juga habis dari sana. Nongkrong lihat motor dan mobil seliweran sambil makan gorengan. Sama teman saya sebenarnya ditawarin minum kopi. Malah kalau saya mau ditawarin makan juga. Ditraktir katanya. Tapi saya tolak. Saya nggak mau ngerepotin.
Nongkrong di bunderan bukan tanpa tujuan. Saya sedang bisnis jual beli rumah dengan teman saya yang kerja sebagai pelayan toko grosir sekaligus merangkap ojek pangkalan. Kalau ada penumpang dia narik. Kalau nggak ada penumpang dia beres-beres barang sekalian bantu pemilik toko melayani pembeli. Kerjanya benar-benar enak. Sama pemilik toko diberikan kebebasan.
Saya kenal dia sudah lama. Dulu ketemunya di JNE. Tiap sore kita suka kirim paket. Saya kirim paket punya sendiri. Dia kirim paket disuruh oleh majikannya. Waktu itu saya yang pertama kali mengenalkan diri. Saya tertarik dan terobsesi dengan paket yang dia bawa. Selalu banyak dan berkarung-karung. Saya penasaran siapa tahu ke depannya bisa dijadikan partner. Alhamdulillah, semenjak perkenalan itu, saya bisa bekerjasama dengan majikannya.
Sayang, gara-gara pandemi, omzet bisnis majikannya menurun drastis. Dia memilih resign. Dia nggak mau upahnya diturunin. Sementara kerjaan antara sebelum dan sesudah pandemi tetap sama. Jadinya dia pindah kerja di toko grosir yang ada di bunderan jalan baru. Yang sistem kerjanya sangat fleksibel. Berkat kerja di situ pertemanan saya dengan dia makin dekat dan akrab.
Balik ke soal nongkrong di bunderan. Di samping toko grosir tempat dia kerja. Ada kedai kecil jual aneka gorengan, kopi, mie rebus, lauk pauk, dan nasi TO. Penjualnya ibu-ibu dan bapak-bapak. Gorengannya enak. Kemarin saya makan cipe, gehu, dan pisang goreng lima biji. Masih ditraktir dia juga. Padahal sudah saya bilang kali ini biar saya yang bayar. Tapi dia tetap maksa. Sebagai tuan rumah katanya harus mengistimewakan tamu.
Yang membuat saya tertarik. Saya punya langganan penjual gorengan umurnya, maaf, sudah tua semua. Sekarang saya ketemu lagi tukang gorengan yang umurnya hampir sama. Lucunya, mereka kompak, suami istri bahu membahu saling bersinergi. Suami yang menggoreng, istri yang melayani pembeli. Atau sebaliknya, istri yang menggoreng, suami yang melayani pembeli. Rasa lelah dan capek, sedikit pun tak terlintas di wajah mereka.
Sebagai anak muda, yang usianya jauh dibawah mereka, jujur saya merasa malu. Kalau mau ngerjain sesuatu kadang suka malas. Apalagi akhir-akhir ini suhu udara terasa panas sekali. Habis sholat dzuhur, aturan keluar nyari rezeki, saya malah asyik rebahan ngabisin kuota. Dari penjual gorengan yang di bunderan jalan baru itu. Saya mendapatkan sebuah pelajaran. Usia ternyata tidak menghalangi seseorang untuk berusaha mencari rezeki.
Nongkrong di bunderan bukan tanpa tujuan. Saya sedang bisnis jual beli rumah dengan teman saya yang kerja sebagai pelayan toko grosir sekaligus merangkap ojek pangkalan. Kalau ada penumpang dia narik. Kalau nggak ada penumpang dia beres-beres barang sekalian bantu pemilik toko melayani pembeli. Kerjanya benar-benar enak. Sama pemilik toko diberikan kebebasan.
Saya kenal dia sudah lama. Dulu ketemunya di JNE. Tiap sore kita suka kirim paket. Saya kirim paket punya sendiri. Dia kirim paket disuruh oleh majikannya. Waktu itu saya yang pertama kali mengenalkan diri. Saya tertarik dan terobsesi dengan paket yang dia bawa. Selalu banyak dan berkarung-karung. Saya penasaran siapa tahu ke depannya bisa dijadikan partner. Alhamdulillah, semenjak perkenalan itu, saya bisa bekerjasama dengan majikannya.
Sayang, gara-gara pandemi, omzet bisnis majikannya menurun drastis. Dia memilih resign. Dia nggak mau upahnya diturunin. Sementara kerjaan antara sebelum dan sesudah pandemi tetap sama. Jadinya dia pindah kerja di toko grosir yang ada di bunderan jalan baru. Yang sistem kerjanya sangat fleksibel. Berkat kerja di situ pertemanan saya dengan dia makin dekat dan akrab.
Balik ke soal nongkrong di bunderan. Di samping toko grosir tempat dia kerja. Ada kedai kecil jual aneka gorengan, kopi, mie rebus, lauk pauk, dan nasi TO. Penjualnya ibu-ibu dan bapak-bapak. Gorengannya enak. Kemarin saya makan cipe, gehu, dan pisang goreng lima biji. Masih ditraktir dia juga. Padahal sudah saya bilang kali ini biar saya yang bayar. Tapi dia tetap maksa. Sebagai tuan rumah katanya harus mengistimewakan tamu.
Yang membuat saya tertarik. Saya punya langganan penjual gorengan umurnya, maaf, sudah tua semua. Sekarang saya ketemu lagi tukang gorengan yang umurnya hampir sama. Lucunya, mereka kompak, suami istri bahu membahu saling bersinergi. Suami yang menggoreng, istri yang melayani pembeli. Atau sebaliknya, istri yang menggoreng, suami yang melayani pembeli. Rasa lelah dan capek, sedikit pun tak terlintas di wajah mereka.
Sebagai anak muda, yang usianya jauh dibawah mereka, jujur saya merasa malu. Kalau mau ngerjain sesuatu kadang suka malas. Apalagi akhir-akhir ini suhu udara terasa panas sekali. Habis sholat dzuhur, aturan keluar nyari rezeki, saya malah asyik rebahan ngabisin kuota. Dari penjual gorengan yang di bunderan jalan baru itu. Saya mendapatkan sebuah pelajaran. Usia ternyata tidak menghalangi seseorang untuk berusaha mencari rezeki.