Surat Cinta dari Bidadari yang Merindukan Saya di Surga
DARI semua surat yang kemarin saya baca. Surat dari mantan-mantan saya itu. Yang kemarin saya bongkar-bongkar itu. Ada satu surat di mana setiap ada tulisan namanya kertasnya saya bolongin.
Kenapa dibolongin. Saat itu pertimbangan saya hanya untuk menjaga privasi. Surat itu dari teman saya di sekolah. Saya tidak ingin, siapa pun yang membaca surat itu, tahu nama yang mengirim surat.
Sampai kemarin saya bongkar-bongkar. Surat itu masih tetap menjadi rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu surat itu. Pun dengan surat-surat dari mantan-mantan saya yang lain. Semua masih aman dan terkendali.
Saya cerita di sini pun. Tepat sehari setelah hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78. Tidak akan menyebut siapa nama yang mengirim surat itu. Biarlah itu tetap menjadi rahasia.
Saya hanya ingin bercerita. Ingin mengenang sekaligus merenung. Betapa seorang perempuan. Kalau sudah mengungkapkan perasaan. Itu benar-benar dari hati. Beda dengan kita laki-laki.
Saat kita mengungkapkan cinta pada seseorang. Terus cinta kita diterima. Nggak ada jaminan kita bakalan setia. Nggak ada garansi kita bakalan istiqamah.
Kelak, di lain hari, kalau kita ketemu cewek yang lebih cantik, lebih seksi, (maaf) lebih hot, hati kita sangat mudah untuk berpaling. Fitrah laki-laki memang seperti itu. Faktor genetiknya begitu.
Kata-kata yang tertulis di surat itu sebenarnya sangat sederhana. Kalau orang-orang sastra membacanya pasti akan ketawa. Saya sendiri, kala itu, menyikapinya biasa-biasa saja.
Tapi setelah sekian waktu berlalu. Zaman berubah. Kehidupan terus berjalan. Kata-kata yang ditulis oleh mantan saya di surat itu. Saat ini benar-benar mengandung hikmah.
Dulu, saya menganggap surat itu hanya dikirim oleh seorang santriwati yang sedang belajar mendalami ilmu agama. Sekarang, saya baru sadar, surat itu ternyata dikirim oleh bidadari yang merindukan saya di surga.
Kenapa dibolongin. Saat itu pertimbangan saya hanya untuk menjaga privasi. Surat itu dari teman saya di sekolah. Saya tidak ingin, siapa pun yang membaca surat itu, tahu nama yang mengirim surat.
Sampai kemarin saya bongkar-bongkar. Surat itu masih tetap menjadi rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu surat itu. Pun dengan surat-surat dari mantan-mantan saya yang lain. Semua masih aman dan terkendali.
Saya cerita di sini pun. Tepat sehari setelah hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78. Tidak akan menyebut siapa nama yang mengirim surat itu. Biarlah itu tetap menjadi rahasia.
Saya hanya ingin bercerita. Ingin mengenang sekaligus merenung. Betapa seorang perempuan. Kalau sudah mengungkapkan perasaan. Itu benar-benar dari hati. Beda dengan kita laki-laki.
Saat kita mengungkapkan cinta pada seseorang. Terus cinta kita diterima. Nggak ada jaminan kita bakalan setia. Nggak ada garansi kita bakalan istiqamah.
Kelak, di lain hari, kalau kita ketemu cewek yang lebih cantik, lebih seksi, (maaf) lebih hot, hati kita sangat mudah untuk berpaling. Fitrah laki-laki memang seperti itu. Faktor genetiknya begitu.
Kata-kata yang tertulis di surat itu sebenarnya sangat sederhana. Kalau orang-orang sastra membacanya pasti akan ketawa. Saya sendiri, kala itu, menyikapinya biasa-biasa saja.
Tapi setelah sekian waktu berlalu. Zaman berubah. Kehidupan terus berjalan. Kata-kata yang ditulis oleh mantan saya di surat itu. Saat ini benar-benar mengandung hikmah.
Dulu, saya menganggap surat itu hanya dikirim oleh seorang santriwati yang sedang belajar mendalami ilmu agama. Sekarang, saya baru sadar, surat itu ternyata dikirim oleh bidadari yang merindukan saya di surga.