Sempat Melihat Penampakan Ular Raksasa
SAYA bukan pendaki. Tidak pernah punya keinginan untuk menjadi seorang pendaki. Saya takut ketinggian. Jangankan mendaki. Naik pohon jambu saja lutut saya sudah bergetar.
Meski saya tidak suka mendaki. Entah kenapa, saya suka banget membaca atau menonton video terkait pendakian. Saya kerap tertarik dan serius membaca dan menonton pendaki yang tersesat, baik yang selamat, atau wafat.
Dulu, waktu kelas 6 SD. Sebenarnya saya pernah ikut mendaki. Tapi bukan mendaki resmi. Saya mendaki sambil berwisata. Lihat kawah sekalian berenang di kolam pemandian air hangat.
Ada tiga peristiwa yang membuat saya tergelitik menulis artikel terkait pendakian. Pertama, waktu saya mendaki saya pernah lihat anak angkat paman saya jatuh terjerembab akibat sembrono pas turun dari kawah.
Waktu itu jalan menuju kawah belum ada tangga. Masih berupa jalan setapak kiri kanan rimbun oleh pepohonan. Anak angkat paman saya terjungkal berkali-kali di area padang pasir, berhenti-berhenti setelah kakinya tersandung batu.
Kedua, saat naik menuju kawah, di tengah perjalanan tiba-tiba saya ingin turun. Saya merasa tahu arah jalan pulang. Beruntung oleh saudara saya dilarang. Kalau nggak kuat dari pada turun sendirian lebih baik digendong katanya.
Dari semua berita yang saya dapat terkait pendakian. Saya tidak bisa ngebayangin gimana jadinya kalau waktu itu saya benar-benar turun sendirian. Tubuh saya mendadak bergidik dan merinding jika mengingat kejadian itu.
Terakhir, kisah tentang santri yang tersesat di salah satu gunung di Jawa Tengah beberapa puluh tahun silam, di mana saya pernah mondok di pesantren para korban, selalu terngiang-ngiang dalam ingatan.
Apa yang saya dengar dulu dari santri senior dengan video saksi hidup yang tempo hari saya tonton di Youtube ternyata versinya berbeda.
Dulu saya dengar dari santri senior, korban yang selamat pernah lihat harimau. Sementara dari keterangan saksi hidup, santri yang selamat sempat melihat penampakan ular raksasa.
Meski saya tidak suka mendaki. Entah kenapa, saya suka banget membaca atau menonton video terkait pendakian. Saya kerap tertarik dan serius membaca dan menonton pendaki yang tersesat, baik yang selamat, atau wafat.
Dulu, waktu kelas 6 SD. Sebenarnya saya pernah ikut mendaki. Tapi bukan mendaki resmi. Saya mendaki sambil berwisata. Lihat kawah sekalian berenang di kolam pemandian air hangat.
Ada tiga peristiwa yang membuat saya tergelitik menulis artikel terkait pendakian. Pertama, waktu saya mendaki saya pernah lihat anak angkat paman saya jatuh terjerembab akibat sembrono pas turun dari kawah.
Waktu itu jalan menuju kawah belum ada tangga. Masih berupa jalan setapak kiri kanan rimbun oleh pepohonan. Anak angkat paman saya terjungkal berkali-kali di area padang pasir, berhenti-berhenti setelah kakinya tersandung batu.
Kedua, saat naik menuju kawah, di tengah perjalanan tiba-tiba saya ingin turun. Saya merasa tahu arah jalan pulang. Beruntung oleh saudara saya dilarang. Kalau nggak kuat dari pada turun sendirian lebih baik digendong katanya.
Dari semua berita yang saya dapat terkait pendakian. Saya tidak bisa ngebayangin gimana jadinya kalau waktu itu saya benar-benar turun sendirian. Tubuh saya mendadak bergidik dan merinding jika mengingat kejadian itu.
Terakhir, kisah tentang santri yang tersesat di salah satu gunung di Jawa Tengah beberapa puluh tahun silam, di mana saya pernah mondok di pesantren para korban, selalu terngiang-ngiang dalam ingatan.
Apa yang saya dengar dulu dari santri senior dengan video saksi hidup yang tempo hari saya tonton di Youtube ternyata versinya berbeda.
Dulu saya dengar dari santri senior, korban yang selamat pernah lihat harimau. Sementara dari keterangan saksi hidup, santri yang selamat sempat melihat penampakan ular raksasa.
