Gara-Gara Lihat Istri Tetangga, Saya Jadi Teringat Sama Seseorang
ISTRI tetangga. Full hijab sih nggak. Wajah, tangan dan kedua kakinya masih kelihatan. Tapi setiap hari selalu mengenakan busana muslim. Rapi banget pokoknya. Saking rapinya, kalau mau ngobrol atau sekedar "Say Hi..!" kita jadi sungkan. Emang harusnya gitu sih. Aura dan wibawa seorang perempuan, kalau pakai gamis dan kerudung, tampak jelas kelihatan. Kehormatan seorang wanitanya benar-benar terjaga.
Kemarin saya ke rumahnya mau pinjam tangga. Mau pasang lem tikus di atap rumah. Biasa, di rumah saya suka ada tikus. Tiap hari nggak siang nggak malam berisik terus. Sayang, tangganya nggak ada. Katanya lagi dipinjam sama tetangga yang lain. Masang lem tikusnya terpaksa nggak jadi. Kemarin saya jadinya pinjam urek buat mancing belut. Di selokan depan rumah. Banyak sekali lubang-lubang kecil mirip lubang belut.
Saat main ke rumahnya. Pintu depannya kebetulan terbuka. Istrinya sepertinya habis dari kamar mandi. Nggak pakai gamis dan kerudung cuma pakai kaos dan celana panjang biasa. Jadi rambutnya kelihatan. Waktu kita bersitatap. Istrinya sepertinya kaget. Dia buru-buru masuk ke dalam kamar. Mungkin hatinya dag-dig-dug. Malu. Mungkin ada sedikit penyesalan dan marah juga pada suaminya. Kenapa pintu rumahnya nggak ditutup.
Gara-gara lihat istri tetangga. Yang kaget dan malu ketemu saya karena nggak pakai gamis dan kerudung. Tiba-tiba saya jadi ingat sama seseorang. Sikap dan gaya berpakaiannya mirip dengan istri tetangga. Seseorang yang kini sudah menikah dan punya banyak anak. Aqidahnya sangat kuat. Dia lulusan pesantren. Ngajar di sekolah juga. Dia Anak pensiunan guru yang di lingkungan masyarakatnya terkenal taat beragama. Ayahnya suka jadi imam sholat.
Dulu saya sama dia sempat dekat. Bisa dibilang kita taarufan. Dia menginginkan calon suami impian. Yang sosoknya mungkin ada dalam diri saya. Kita sempat jalan. Suka antar jemput dia ke pesantren. Dalam masa-masa perkenalan itu. Dia suka ngasih kisi-kisi gimana jadi calon suami yang baik. Gimana jadi imam yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Kalau saya boleh percaya diri. Dia sepertinya sudah mempercayakan seluruh isi hatinya buat saya.
Makanya ketika saya mengatakan belum bersedia ke arah yang lebih serius. Dia sepertinya sangat kecewa dan sakit hati. Untuk menghilangkan rasa pedihnya. Dia sampai berangkat ke luar pulau. Ikut tinggal bersama kakaknya. Bertahun-tahun. Pulang-pulang sudah bersuami dan punya anak. Terakhir ketemu dengan saya sikapnya dingin. Nggak sehangat kayak dulu. Nggak seramah dan sedekat kayak dulu. Mungkin rasa sakitnya masih belum hilang.
Ada beberapa momen yang masih melekat di kepala. Di mana momen-momen tersebut kembali mencuat setelah saya bertemu dengan istri tetangga kemarin. Kalau salaman sama orang lain. Dia nggak pernah mau bersentuhan. Anehnya, pas salaman dengan saya, dia nggak pernah risih. Dia juga sempat nyuapin saya waktu makan rujak rame-rame. Terus waktu saya main ke rumahnya. Dia pernah kepergok habis mandi rambutnya kelihatan. Lucunya, dia nggak kaget, terkejut, apalagi marah. Dia malah senyum-senyum.
Kemarin saya ke rumahnya mau pinjam tangga. Mau pasang lem tikus di atap rumah. Biasa, di rumah saya suka ada tikus. Tiap hari nggak siang nggak malam berisik terus. Sayang, tangganya nggak ada. Katanya lagi dipinjam sama tetangga yang lain. Masang lem tikusnya terpaksa nggak jadi. Kemarin saya jadinya pinjam urek buat mancing belut. Di selokan depan rumah. Banyak sekali lubang-lubang kecil mirip lubang belut.
Saat main ke rumahnya. Pintu depannya kebetulan terbuka. Istrinya sepertinya habis dari kamar mandi. Nggak pakai gamis dan kerudung cuma pakai kaos dan celana panjang biasa. Jadi rambutnya kelihatan. Waktu kita bersitatap. Istrinya sepertinya kaget. Dia buru-buru masuk ke dalam kamar. Mungkin hatinya dag-dig-dug. Malu. Mungkin ada sedikit penyesalan dan marah juga pada suaminya. Kenapa pintu rumahnya nggak ditutup.
Gara-gara lihat istri tetangga. Yang kaget dan malu ketemu saya karena nggak pakai gamis dan kerudung. Tiba-tiba saya jadi ingat sama seseorang. Sikap dan gaya berpakaiannya mirip dengan istri tetangga. Seseorang yang kini sudah menikah dan punya banyak anak. Aqidahnya sangat kuat. Dia lulusan pesantren. Ngajar di sekolah juga. Dia Anak pensiunan guru yang di lingkungan masyarakatnya terkenal taat beragama. Ayahnya suka jadi imam sholat.
Dulu saya sama dia sempat dekat. Bisa dibilang kita taarufan. Dia menginginkan calon suami impian. Yang sosoknya mungkin ada dalam diri saya. Kita sempat jalan. Suka antar jemput dia ke pesantren. Dalam masa-masa perkenalan itu. Dia suka ngasih kisi-kisi gimana jadi calon suami yang baik. Gimana jadi imam yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Kalau saya boleh percaya diri. Dia sepertinya sudah mempercayakan seluruh isi hatinya buat saya.
Makanya ketika saya mengatakan belum bersedia ke arah yang lebih serius. Dia sepertinya sangat kecewa dan sakit hati. Untuk menghilangkan rasa pedihnya. Dia sampai berangkat ke luar pulau. Ikut tinggal bersama kakaknya. Bertahun-tahun. Pulang-pulang sudah bersuami dan punya anak. Terakhir ketemu dengan saya sikapnya dingin. Nggak sehangat kayak dulu. Nggak seramah dan sedekat kayak dulu. Mungkin rasa sakitnya masih belum hilang.
Ada beberapa momen yang masih melekat di kepala. Di mana momen-momen tersebut kembali mencuat setelah saya bertemu dengan istri tetangga kemarin. Kalau salaman sama orang lain. Dia nggak pernah mau bersentuhan. Anehnya, pas salaman dengan saya, dia nggak pernah risih. Dia juga sempat nyuapin saya waktu makan rujak rame-rame. Terus waktu saya main ke rumahnya. Dia pernah kepergok habis mandi rambutnya kelihatan. Lucunya, dia nggak kaget, terkejut, apalagi marah. Dia malah senyum-senyum.