Kisah Cinta Kita Harus Berakhir di Persimpangan
HUBUNGAN kita aslinya ngegantung. Diantara kita tidak pernah ada kata putus. Saya sendiri sudah lupa kapan terakhir kita ketemu. Ngobrol berdua. Duduk berdampingan atau berhadap-hadapan saling mencurahkan perasaan. Yang masih saya ingat dan masih membekas sampai sekarang. Saat itu kita benar-benar lose contact. Tak ada komunikasi sama sekali.
Sebagai laki-laki. Yang punya prinsip hitam putih. Hubungan yang kita jalani harus jelas. Apakah kita masih pacaran atau sudah end. Kalau masih pacaran. Minimal ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Begitu juga sebaliknya. Kalau sudah end. Harus ada sesuatu yang bisa dijadikan pijakan. Agar kita sama-sama enak. Kita berdua bisa menentukan arah.
Karena hubungan kita nggak jelas. Saya kirimilah surat. Lebih dari lima surat. Isinya sama. Minta kejelasan. Hubungan kita mau dibawa ke mana. Apa masih lanjut. Apa sudah stop. Sayangnya, sampai tulisan ini saya buat. Dia, pacar saya, atau mantan saya, tetap bungkam. Pernah sih dia balas surat dari saya. Suratnya dititipin ke saudara saya. Isinya penuh metafora. Cenderung ngambang. Cenderung abu-abu. Disebut mutusin bukan. Dibilang balikan juga bukan.
Mungkin dari situlah kenapa setiap dia hadir dalam mimpi. Tidak pernah menampakan wajah. Harusnya, perempuan sekelas dia, minimal sekali atau dua kali menampakan wajah. Ini boro-boro. Seperti hantu tanpa kepala. Wujudnya hadir di depan mata. Wajahnya hilang entah ke mana. Seandainya dia menampakan wajah. Sekali pun itu dalam mimpi. Cuma bunga tidur. Setidaknya rasa penasaran saya bisa sedikit terobati.
Apakah hatinya merasa terluka. Kalau iya, luka yang mana yang pernah saya goreskan ke hatinya. Kalau pun ada dugaan saya selingkuh. Waktu itu sudah saya jelaskan. Itu bagian dari masa lalu. Semua orang berhak menyukai dan mencintai saya. Tapi bagaimana dengan perasaan saya. Dengan saya mengirim surat beberapa kali ke dia. Itu menandakan kalau saya serius sama dia. Saya ingin menikah dan siap jadi suami yang terbaik buat dia.
Saya hampir lupa. Sebenarnya saya sempat bertemu dengan dia. Waktu itu dia mau berangkat ngajar. Saat itu saya paksa dia untuk ikut motor saya. Kenapa saya maksa. Karena saya ingin minta kejelasan. Saat di perjalanan itulah saya bilang. Kalau hubungan kita sudah putus. Saya ingin balikan. Kalau saya ada kesalahan. Saya mohon dimaafkan. Saya ingin kita mulai dari awal. Tapi lagi-lagi dia bungkam.
Setelah pertemuan itu. Akhirnya saya sadar. Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta tidak harus memiliki. Sampailah pada satu titik. Saya harus menikah dengan wanita lain. Dia harus (dengar-dengar sih dijodohkan dengan anak orang kaya) menikah dengan pria lain. Itulah sekelumit dari kisah masa lalu saya. Pernah menjalin cinta dengan seseorang. Pernah punya cita-cita ingin menuju pelaminan. Sayang, kisah cinta kita harus berakhir di persimpangan.
Sebagai laki-laki. Yang punya prinsip hitam putih. Hubungan yang kita jalani harus jelas. Apakah kita masih pacaran atau sudah end. Kalau masih pacaran. Minimal ada sesuatu yang bisa dijadikan pegangan. Begitu juga sebaliknya. Kalau sudah end. Harus ada sesuatu yang bisa dijadikan pijakan. Agar kita sama-sama enak. Kita berdua bisa menentukan arah.
Karena hubungan kita nggak jelas. Saya kirimilah surat. Lebih dari lima surat. Isinya sama. Minta kejelasan. Hubungan kita mau dibawa ke mana. Apa masih lanjut. Apa sudah stop. Sayangnya, sampai tulisan ini saya buat. Dia, pacar saya, atau mantan saya, tetap bungkam. Pernah sih dia balas surat dari saya. Suratnya dititipin ke saudara saya. Isinya penuh metafora. Cenderung ngambang. Cenderung abu-abu. Disebut mutusin bukan. Dibilang balikan juga bukan.
Mungkin dari situlah kenapa setiap dia hadir dalam mimpi. Tidak pernah menampakan wajah. Harusnya, perempuan sekelas dia, minimal sekali atau dua kali menampakan wajah. Ini boro-boro. Seperti hantu tanpa kepala. Wujudnya hadir di depan mata. Wajahnya hilang entah ke mana. Seandainya dia menampakan wajah. Sekali pun itu dalam mimpi. Cuma bunga tidur. Setidaknya rasa penasaran saya bisa sedikit terobati.
Apakah hatinya merasa terluka. Kalau iya, luka yang mana yang pernah saya goreskan ke hatinya. Kalau pun ada dugaan saya selingkuh. Waktu itu sudah saya jelaskan. Itu bagian dari masa lalu. Semua orang berhak menyukai dan mencintai saya. Tapi bagaimana dengan perasaan saya. Dengan saya mengirim surat beberapa kali ke dia. Itu menandakan kalau saya serius sama dia. Saya ingin menikah dan siap jadi suami yang terbaik buat dia.
Saya hampir lupa. Sebenarnya saya sempat bertemu dengan dia. Waktu itu dia mau berangkat ngajar. Saat itu saya paksa dia untuk ikut motor saya. Kenapa saya maksa. Karena saya ingin minta kejelasan. Saat di perjalanan itulah saya bilang. Kalau hubungan kita sudah putus. Saya ingin balikan. Kalau saya ada kesalahan. Saya mohon dimaafkan. Saya ingin kita mulai dari awal. Tapi lagi-lagi dia bungkam.
Setelah pertemuan itu. Akhirnya saya sadar. Cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta tidak harus memiliki. Sampailah pada satu titik. Saya harus menikah dengan wanita lain. Dia harus (dengar-dengar sih dijodohkan dengan anak orang kaya) menikah dengan pria lain. Itulah sekelumit dari kisah masa lalu saya. Pernah menjalin cinta dengan seseorang. Pernah punya cita-cita ingin menuju pelaminan. Sayang, kisah cinta kita harus berakhir di persimpangan.