Masa Depan Kita Tidak Boleh Berakhir di Tempat Sampah
TEMAN waktu kecil. Orangnya aktif banget. Kreatif juga. Di sekolah termasuk murid yang berprestasi. Pramuka ikut. OSIS ikut. Karang Taruna juga ikut. Setiap acara Agustusan, dia selalu menjadi panitia lomba. Saya familiar dengan mading salah satunya dari dia. Dia itu suka nulis. Kata-kata puitis gituh. Waktu dia SMA. Setiap saya main ke rumahnya, dia selalu bawa cewek. Ceweknya pakai kerudung dan kacamata. Lengket banget. Kayak diguna-guna.
Persepsi saya tentang dia nyaris sempurna. Wawasannya luas banget. Kalau lagi nongkrong, ngobrol apa saja selalu nyambung. Dari segi usia, emang dia lebih tua dari saya. Setiap ada masalah, kadang dia suka kasih solusi. Bukan ke saya saja. Ke teman-teman yang lain juga. Nongkrong tanpa dia rasanya kurang seru. Main bola juga gituh. Nggak rame dan nggak semangat kalau nggak ada dia. Pokoknya kalau mau ngapa-ngapain harus ngikut dan nurut kata-kata dia.
Waktu fotonya terpampang di surat kabar. Saya benar-benar kaget. Saya benar-benar nggak nyangka. Apalagi dalam foto itu, dia sedang mengenakan baju berwarna orange. Berdiri di tengah, diapit oleh dua orang polisi. Judul beritanya bikin saya merinding. Kok bisa dia ngejambret. Sejak kapan dia melakukan aksi tak terhormat itu. Saya termasuk yang terlambat dengar kabar tentang dia. Maklum, waktu itu saya tinggal di kontrakan. Sudah lama nggak ketemu dan berkomunikasi dengan dia.
Teman saya yang satu lagi. Orangnya nggak begitu dekat. Dia sendiri yang menciptakan jarak. Sejak kecil sudah memilih jadi anak berandalan. Mabuk, judi, main perempuan, barangkali sudah dia kenal sejak SMP. Saya dan teman-teman yang lain, udah nggak peduli. Udah bodo amat. Persepsi saya dan teman-teman saya ke dia. Kita sudah sama-sama dewasa. Punya jalan dan pilihan hidup masing-masing. Baik buat dia. Buruk juga buat dia.
Tapi dari sisi manusia. Namanya sekampung. Satu permainan. Kita selalu welcome. Kalau dia mau ikut nimbrung, mau ikut nongkrong. Nggak ada yang larang. Kita terbuka. Toh, selama ini dia nggak pernah bikin masalah. Dia bikin ulahnya di kampung lain. Dengan teman-teman dan dunianya yang lain. Mau dia malak, mau dia nodong, selama malak dan nodongnya bukan ke kita (dalam tanda petik). Buat kita nggak jadi masalah. Kita tetap teman. Kita tetap sahabat. Kita tetap tetanggaan.
Yang bikin saya miris. Kedua teman saya itu, hidupnya harus berakhir dengan tragis. Mereka berdua, sengaja atau tidak, pernah merasakan pengapnya ruang penjara. Pernah merasakan sakit dan kerasnya bogem mentah. Itu baru dari segi fisik. Belum dari segi fsikis. Gara-gara kejahatan yang mereka lakukan. Nama baik mereka jadi hancur. Orang-orang jadi nggak percaya sama mereka. Citra keluarga pun jadi jelek. Anak-anak yang berbuat. Orang tua, yang nggak tahu apa-apa, jadi kebawa-bawa.
Sebagai teman sekaligus sahabat. Secara pribadi jujur saya merasa sedih dan prihatin. Lingkungan benar-benar berpengaruh terhadap tingkah laku dan kepribadian kita. Kalau kita berteman dengan tukang minyak kita akan kebawa wangi. Kalau kita berteman dengan anak-anak berandalan. Kita akan jadi berandalan. Pesan saya buat teman-teman: hati-hati dan selektiflah dalam memilih pergaulan. Kita semua punya masa depan. Masa depan kita harus cerah. Masa depan kita tidak boleh berakhir di tempat sampah.
Persepsi saya tentang dia nyaris sempurna. Wawasannya luas banget. Kalau lagi nongkrong, ngobrol apa saja selalu nyambung. Dari segi usia, emang dia lebih tua dari saya. Setiap ada masalah, kadang dia suka kasih solusi. Bukan ke saya saja. Ke teman-teman yang lain juga. Nongkrong tanpa dia rasanya kurang seru. Main bola juga gituh. Nggak rame dan nggak semangat kalau nggak ada dia. Pokoknya kalau mau ngapa-ngapain harus ngikut dan nurut kata-kata dia.
Waktu fotonya terpampang di surat kabar. Saya benar-benar kaget. Saya benar-benar nggak nyangka. Apalagi dalam foto itu, dia sedang mengenakan baju berwarna orange. Berdiri di tengah, diapit oleh dua orang polisi. Judul beritanya bikin saya merinding. Kok bisa dia ngejambret. Sejak kapan dia melakukan aksi tak terhormat itu. Saya termasuk yang terlambat dengar kabar tentang dia. Maklum, waktu itu saya tinggal di kontrakan. Sudah lama nggak ketemu dan berkomunikasi dengan dia.
Teman saya yang satu lagi. Orangnya nggak begitu dekat. Dia sendiri yang menciptakan jarak. Sejak kecil sudah memilih jadi anak berandalan. Mabuk, judi, main perempuan, barangkali sudah dia kenal sejak SMP. Saya dan teman-teman yang lain, udah nggak peduli. Udah bodo amat. Persepsi saya dan teman-teman saya ke dia. Kita sudah sama-sama dewasa. Punya jalan dan pilihan hidup masing-masing. Baik buat dia. Buruk juga buat dia.
Tapi dari sisi manusia. Namanya sekampung. Satu permainan. Kita selalu welcome. Kalau dia mau ikut nimbrung, mau ikut nongkrong. Nggak ada yang larang. Kita terbuka. Toh, selama ini dia nggak pernah bikin masalah. Dia bikin ulahnya di kampung lain. Dengan teman-teman dan dunianya yang lain. Mau dia malak, mau dia nodong, selama malak dan nodongnya bukan ke kita (dalam tanda petik). Buat kita nggak jadi masalah. Kita tetap teman. Kita tetap sahabat. Kita tetap tetanggaan.
Yang bikin saya miris. Kedua teman saya itu, hidupnya harus berakhir dengan tragis. Mereka berdua, sengaja atau tidak, pernah merasakan pengapnya ruang penjara. Pernah merasakan sakit dan kerasnya bogem mentah. Itu baru dari segi fisik. Belum dari segi fsikis. Gara-gara kejahatan yang mereka lakukan. Nama baik mereka jadi hancur. Orang-orang jadi nggak percaya sama mereka. Citra keluarga pun jadi jelek. Anak-anak yang berbuat. Orang tua, yang nggak tahu apa-apa, jadi kebawa-bawa.
Sebagai teman sekaligus sahabat. Secara pribadi jujur saya merasa sedih dan prihatin. Lingkungan benar-benar berpengaruh terhadap tingkah laku dan kepribadian kita. Kalau kita berteman dengan tukang minyak kita akan kebawa wangi. Kalau kita berteman dengan anak-anak berandalan. Kita akan jadi berandalan. Pesan saya buat teman-teman: hati-hati dan selektiflah dalam memilih pergaulan. Kita semua punya masa depan. Masa depan kita harus cerah. Masa depan kita tidak boleh berakhir di tempat sampah.