Benarkah Rumah Tempat Yang Paling Nyaman Untuk Berteduh?
IZINKAN saya menitikan air mata. Sebab apa yang saya lihat tempo hari, menurut saya benar-benar tidak adil. Satu sisi, banyak orang yang bisa mendapatkan rumah dengan mudah. Pegawai pemerintah yang bergaji besar misalnya. Rumahnya tingkat-tingkat. Dalemannya bagus-bagus. Plus kendaraan roda dua dan roda empat keluaran terbaru. Di sisi lain, perdetik ini, masih ada orang yang kerja siang malam banting tulang hanya untuk membeli sebidang tanah yang akan dijadikan rumah suatu saat kelak.
Kenapa kita butuh rumah? Benarkah rumah tempat yang paling nyaman untuk berteduh? Bisakah rumah dijadikan tempat pelepas lelah saat tulang dan sendi kita pada ngilu? Haruskah ada sebuah rumah ketika kita ingin melepas rindu pada seseorang yang kita rindu?
Rumah terdiri dari lima huruf. R-U-M-A-H. Gampang sekali diucapkan. Tapi sulit sekali digapai untuk para pejuang rupiah yang sudah gerah tinggal di kontrakan. Tapi saat kita sudah memiliki rumah. Apalagi dibangun dengan duit yang halal dan berkah. Pencarian hidup kita rasanya sudah selesai.
Sekali lagi, izinkan saya menitikan air mata. Apa yang saya lihat tempo hari. Benar-benar mengusik sisi psikologis saya sebagai manusia. Betapa tidak. Tempo hari, saya berada di tengah rumah yang megah tapi banyak debu. Rumah mewah itu sangat tak terurus. Ruang dapur acak-acakan. Ruang tengah banyak benda-benda berserakan. Masuk ke kamar mandi. Keramiknya kotor. Bak mandinya kotor. Gayungnya kotor. Padahal sikat gigi, pasta gigi, shampo dan sabun, merknya keren-keren.
Itu baru di lantai satu. Belum di lantai dua. Perkiraan saya, lantai satu saja berantakan. Apalagi lantai dua. Saya urung naik ke lantai dua karena menurut saya percuma. Hanya akan menyiksa batin saya. Rumah semegah itu. Kok bisa tak terurus. Untuk membangun rumah sebesar dan seluas itu habis ratusan juta. Yang punya rumah pada ke mana?
Yang punya rumah tidak ingin urusan rumah tangganya dijadikan bahan gosip. Ceritanya panjang. Urusannya ribet. Yang pasti mereka sudah bercerai. Yang tinggal di rumah itu tinggal mantan suami. Mantan istri dan kedua anaknya yang sudah beranjak dewasa dibawa pindah ke rumah baru. Di komplek perumahan yang lebih elit. Yang uang untuk DP nya saja setengah M.
Waktu yang punya rumah sedang ke kamar. Saya coba mendekat ke salah satu furnitur yang ada di ruang tengah. Di sana banyak buku, pernak-pernik, dan aksesoris pendukung yang membuat hati saya penasaran. Benda-benda yang ada di lemari itu harganya tidak bersahabat dengan isi dompet orang miskin. Tapi, karena tidak terurus, benda-benda yang saya sebut tadi. Banyak yang rusak dimakan rayap.
Sebelum pulang, saya beranikan diri bertanya pada yang punya rumah. “Apakah rumah ini harta gono gini?" Jawab yang punya rumah. “Harusnya sih iya. Tapi belum diurus” Karena penasaran, saya coba tanya lagi: “Tapi anak-anak suka ke sini?” Jawabnya: “Hari minggu kemarin ke sini. Makan-makan di sini” Sebenarnya saya ingin bercandain yang punya rumah: “Kalau nggak diurus, rumahnya buat saya saja” Tapi, lidah ini mendadak kelu. Yang punya rumah keburu ngasih saya duit sepuluh ribu.
Kenapa kita butuh rumah? Benarkah rumah tempat yang paling nyaman untuk berteduh? Bisakah rumah dijadikan tempat pelepas lelah saat tulang dan sendi kita pada ngilu? Haruskah ada sebuah rumah ketika kita ingin melepas rindu pada seseorang yang kita rindu?
Rumah terdiri dari lima huruf. R-U-M-A-H. Gampang sekali diucapkan. Tapi sulit sekali digapai untuk para pejuang rupiah yang sudah gerah tinggal di kontrakan. Tapi saat kita sudah memiliki rumah. Apalagi dibangun dengan duit yang halal dan berkah. Pencarian hidup kita rasanya sudah selesai.
Sekali lagi, izinkan saya menitikan air mata. Apa yang saya lihat tempo hari. Benar-benar mengusik sisi psikologis saya sebagai manusia. Betapa tidak. Tempo hari, saya berada di tengah rumah yang megah tapi banyak debu. Rumah mewah itu sangat tak terurus. Ruang dapur acak-acakan. Ruang tengah banyak benda-benda berserakan. Masuk ke kamar mandi. Keramiknya kotor. Bak mandinya kotor. Gayungnya kotor. Padahal sikat gigi, pasta gigi, shampo dan sabun, merknya keren-keren.
Itu baru di lantai satu. Belum di lantai dua. Perkiraan saya, lantai satu saja berantakan. Apalagi lantai dua. Saya urung naik ke lantai dua karena menurut saya percuma. Hanya akan menyiksa batin saya. Rumah semegah itu. Kok bisa tak terurus. Untuk membangun rumah sebesar dan seluas itu habis ratusan juta. Yang punya rumah pada ke mana?
Yang punya rumah tidak ingin urusan rumah tangganya dijadikan bahan gosip. Ceritanya panjang. Urusannya ribet. Yang pasti mereka sudah bercerai. Yang tinggal di rumah itu tinggal mantan suami. Mantan istri dan kedua anaknya yang sudah beranjak dewasa dibawa pindah ke rumah baru. Di komplek perumahan yang lebih elit. Yang uang untuk DP nya saja setengah M.
Waktu yang punya rumah sedang ke kamar. Saya coba mendekat ke salah satu furnitur yang ada di ruang tengah. Di sana banyak buku, pernak-pernik, dan aksesoris pendukung yang membuat hati saya penasaran. Benda-benda yang ada di lemari itu harganya tidak bersahabat dengan isi dompet orang miskin. Tapi, karena tidak terurus, benda-benda yang saya sebut tadi. Banyak yang rusak dimakan rayap.
Sebelum pulang, saya beranikan diri bertanya pada yang punya rumah. “Apakah rumah ini harta gono gini?" Jawab yang punya rumah. “Harusnya sih iya. Tapi belum diurus” Karena penasaran, saya coba tanya lagi: “Tapi anak-anak suka ke sini?” Jawabnya: “Hari minggu kemarin ke sini. Makan-makan di sini” Sebenarnya saya ingin bercandain yang punya rumah: “Kalau nggak diurus, rumahnya buat saya saja” Tapi, lidah ini mendadak kelu. Yang punya rumah keburu ngasih saya duit sepuluh ribu.