Setiap Munggahan Penjual Makanan Diserbu Pembeli
TIAP kota atau tiap daerah punya adat dan kebiasaan masing-masing. Termasuk saat menjelang bulan suci Ramadhan. Masyarakat Indonesia pada umumnya pasti punya tradisi yang biasa dilakukan ketika kita mau memasuki bulan suci Ramadhan. Di tempat saya istilahnya itu munggahan. Kebiasaan yang sering dilakukan adalah ziarah kubur, makan-makan, atau piknik ke tempat objek wisata favourit.
Hari ini, saat saya menulis artikel ini, adalah hari terakhir kita bisa makan dan minum sepuasnya di siang hari. Besok kita sudah mulai melaksanakan ibadah puasa. Itu artinya, hari ini adalah hari di mana orang-orang pergi ke pemakaman umum atau pemakaman pribadi untuk melaksanakan ziarah kubur mendoakan ibu, ayah, kakek, nenek, suami atau istri tercinta yang telah pergi mendahului kita.
Hari ini adalah hari terakhir kita bebas makan dan minum apa saja sesuai selera dan keinginan kita. Mau makan mie bakso. Mau makan mie ayam. Mau makan ketoprak. Mau makan sate. Mau makan soto. Mau makan kupat tahu. Mau makan seafood. Mau makan pecel lele. Mau makan bebek goreng. Mau makan nasi TO (tutug oncom). Atau mau makan bubur ayam juga boleh. Silahkan.
Dan tentu saja, tidak asyik kalau acara munggahannya tidak piknik atau tidak rekreasi ke tempat objek wisata bersama keluarga, sahabat, rekan kerja, dan orang-orang tercinta. Maka tidak usah heran jika semua objek wisata terkenal penuh sesak oleh para turis dan wisatawan lokal. Masyarakat datang berbondong-bondong membawa tikar dan bekal makanan. Mereka asyik botram, berenang, foto selfie, bersuka cita demi menyambut bulan suci Ramadhan.
Kecuali ziarah kubur, piknik dan makan-makan sudah saya lakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Untuk piknik saya ikut rombongan pengajian anak-anak. Anak saya kan ngaji di masjid milik mantan Walikota. Mantan Walikota itu mentraktir anak-anak pengajian dengan memberi tiket gratis ke salah satu objek wisata plus akomodasi gratis kendaraan untuk antar jemput.
Kalau soal makanan, hampir semua makanan favorit saya sudah saya jajal. Sudah saya cicipi. Yang belum paling sate dan nasi uduk. Saya belum ada waktu untuk beli sate dan nasi uduk favourit saya. Selain sibuk, lokasi tempat jualannya lumayan cukup jauh. Kebetulan lagi saya tidak ada acara dan keperluan ke daerah sana. Jadi makan sate dan nasi uduknya belum sempat. Mudah-mudahan hari ini bisa. Kalau tidak juga nggak apa-apa.
Nah, balik lagi ke soal adat dan kebiasaan suatu daerah. Habis jumatan kemarin itu saya pulang ke rumah mertua. Tahun ini kan pemerintah melarang masyarakat untuk mudik. Jadi saya, istri dan anak saya nyempetin pulang dulu ke rumah mertua. Takut nanti pas Lebaran nggak bisa mudik. Selain itu, saya juga ingin mencicipi bubur ayam dan mie ayam di rumah mertua. Dari kemarin rasanya sudah kebayang-bayang di lidah.
Tapi, sesampainya di rumah mertua. Saya harus dibuat kecewa. Bubur ayam dan mie ayam kesukaan saya itu tidak jualan. Ketika di kota saya setiap munggahan penjual makanan pada buka dan jualannya laris manis karena diserbu pembeli. Di kampung mertua, penjual makanan malah pada tutup. Mereka tidak kefikiran untuk mencari duit sebanyak-banyaknya.
Hari ini, saat saya menulis artikel ini, adalah hari terakhir kita bisa makan dan minum sepuasnya di siang hari. Besok kita sudah mulai melaksanakan ibadah puasa. Itu artinya, hari ini adalah hari di mana orang-orang pergi ke pemakaman umum atau pemakaman pribadi untuk melaksanakan ziarah kubur mendoakan ibu, ayah, kakek, nenek, suami atau istri tercinta yang telah pergi mendahului kita.
Hari ini adalah hari terakhir kita bebas makan dan minum apa saja sesuai selera dan keinginan kita. Mau makan mie bakso. Mau makan mie ayam. Mau makan ketoprak. Mau makan sate. Mau makan soto. Mau makan kupat tahu. Mau makan seafood. Mau makan pecel lele. Mau makan bebek goreng. Mau makan nasi TO (tutug oncom). Atau mau makan bubur ayam juga boleh. Silahkan.
Dan tentu saja, tidak asyik kalau acara munggahannya tidak piknik atau tidak rekreasi ke tempat objek wisata bersama keluarga, sahabat, rekan kerja, dan orang-orang tercinta. Maka tidak usah heran jika semua objek wisata terkenal penuh sesak oleh para turis dan wisatawan lokal. Masyarakat datang berbondong-bondong membawa tikar dan bekal makanan. Mereka asyik botram, berenang, foto selfie, bersuka cita demi menyambut bulan suci Ramadhan.
Kecuali ziarah kubur, piknik dan makan-makan sudah saya lakukan jauh-jauh hari sebelumnya. Untuk piknik saya ikut rombongan pengajian anak-anak. Anak saya kan ngaji di masjid milik mantan Walikota. Mantan Walikota itu mentraktir anak-anak pengajian dengan memberi tiket gratis ke salah satu objek wisata plus akomodasi gratis kendaraan untuk antar jemput.
Kalau soal makanan, hampir semua makanan favorit saya sudah saya jajal. Sudah saya cicipi. Yang belum paling sate dan nasi uduk. Saya belum ada waktu untuk beli sate dan nasi uduk favourit saya. Selain sibuk, lokasi tempat jualannya lumayan cukup jauh. Kebetulan lagi saya tidak ada acara dan keperluan ke daerah sana. Jadi makan sate dan nasi uduknya belum sempat. Mudah-mudahan hari ini bisa. Kalau tidak juga nggak apa-apa.
Nah, balik lagi ke soal adat dan kebiasaan suatu daerah. Habis jumatan kemarin itu saya pulang ke rumah mertua. Tahun ini kan pemerintah melarang masyarakat untuk mudik. Jadi saya, istri dan anak saya nyempetin pulang dulu ke rumah mertua. Takut nanti pas Lebaran nggak bisa mudik. Selain itu, saya juga ingin mencicipi bubur ayam dan mie ayam di rumah mertua. Dari kemarin rasanya sudah kebayang-bayang di lidah.
Tapi, sesampainya di rumah mertua. Saya harus dibuat kecewa. Bubur ayam dan mie ayam kesukaan saya itu tidak jualan. Ketika di kota saya setiap munggahan penjual makanan pada buka dan jualannya laris manis karena diserbu pembeli. Di kampung mertua, penjual makanan malah pada tutup. Mereka tidak kefikiran untuk mencari duit sebanyak-banyaknya.