Sate Mangga Calik
AKHIRNYA cuma nasi uduk saja makanan favourit yang tidak sempat saya cicipi menjelang bulan suci Ramadhan tahun ini. Kemarin saya sempetin makan sate favourit saya bersama istri dan anak saya. Benar-benar di luar dugaan. Waktu saya ke sana. Tempat duduknya sudah penuh di isi orang. Sate “Mangga Calik” favourit saya ternyata jadi buruan orang juga.
Melihat lapaknya penuh sesak. Awalnya kita tidak akan jadi makan di situ. Saya bilang ke istri gimana kalau kita makan mie ramen saja. Sate “Mangga Calik” favourit saya ini lokasinya ada di bekas pasar lama. Dekat salah satu mall terkenal. Jika situasinya tidak memungkinkan. Kita mau makan mie ramen saja di dalam mall.
Tapi setelah saya perhatikan, ternyata ada tiga orang pengunjung yang makannya sudah selesai. Mereka duduk di kursi panjang yang pas untuk kita duduki bertiga. Selang beberapa menit, setelah 3 orang pengunjung itu pergi, kita langsung pesan sate daging sapi sama nasi. Kita akhirnya bisa makan-makan di situ.
Pandemi memang masih belum berakhir. Tapi antusiasme masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini benar-benar luar biasa. Di pasar dan pusat perbelanjaan orang-orang pada bejubel. Tujuannya macam-macam. Ada yang beli sayuran buat makan sahur. Ada yang beli baju lebaran. Ada juga yang wisata kuliner seperti saya.
Sepanjang perjalanan saya lihat semua pedagang makanan ramai dikunjungi orang-orang. Dari fenomena munggahan tahun ini ada hikmah dan perjalanan yang bisa saya petik. Ada juga cerita unik yang harus saya bagikan ke teman-teman. Terutama soal mie bakso. Makanan favourit kaum hawa.
Kalau kita pengen tahu mana mie bakso yang enak dan yang nggak itu lihatlah pas munggahan seperti ini. Atau pas hari Raya Idul Fitri nanti. Tolok ukurnya gampang. Kalau mie bakso itu banyak yang beli berarti mie baksonya enak. Tapi kalau mie baksonya sepi berarti mie baksonya kurang enak.
Begitu juga dengan mie ayam, sate, soto, kupat tahu, ketoprak, atau makanan-makanan modern lainnya yang ada di mall. Meski pun di dalam mall, kalau makannya kurang enak, apalagi pelayanannya nggak ramah, tidak menjamin akan didatangi banyak pembeli. Tapi sekali pun di dalam gang. Atau lokasinya di bekas pasar lama seperti sate “Mangga Calik” favourit saya.
Kalau makanannya enak, pelayanannya ramah. Orang-orang, terutama yang sudah berlangganan akan penasaran dan berbondong-bondong untuk datang membelinya. Khusus sate “Mangga Calik” favourit saya ini. Selain rasanya enak, dagingnya besar-besar. Beda dengan penjual sate yang lain.
Di tempat yang lain, kalau kita beli Rp 20.000 misal sate doang nggak pakai nasi. Daging ayam atau daging sapinya itu mungil-mungil nggak bikin kita kenyang. Tapi kalau beli di sate “Mangga Calik” beli Rp 20.000 itu bisa dimakan bertiga. Perut kita rasanya begah. Udah enak, hemat lagi.
Btw, nama sate ini sebenarnya bukan “Mangga Calik”. Kenapa saya sebut sate “Mangga Calik” Karena setiap ada orang yang lewat, mau beli atau tidak, oleh si bapak atau si ibu penjual sate suka disapa dengan “Mangga Calik”. Mangga Calik itu bahasa sunda. Kalau bahasa Indonesianya itu “Silahkan Duduk!” Sebuah ajakan untuk “Mari Mampir” atau “Singgah Dulu Yuk!”
Melihat lapaknya penuh sesak. Awalnya kita tidak akan jadi makan di situ. Saya bilang ke istri gimana kalau kita makan mie ramen saja. Sate “Mangga Calik” favourit saya ini lokasinya ada di bekas pasar lama. Dekat salah satu mall terkenal. Jika situasinya tidak memungkinkan. Kita mau makan mie ramen saja di dalam mall.
Tapi setelah saya perhatikan, ternyata ada tiga orang pengunjung yang makannya sudah selesai. Mereka duduk di kursi panjang yang pas untuk kita duduki bertiga. Selang beberapa menit, setelah 3 orang pengunjung itu pergi, kita langsung pesan sate daging sapi sama nasi. Kita akhirnya bisa makan-makan di situ.
Pandemi memang masih belum berakhir. Tapi antusiasme masyarakat dalam menyambut bulan suci Ramadhan tahun ini benar-benar luar biasa. Di pasar dan pusat perbelanjaan orang-orang pada bejubel. Tujuannya macam-macam. Ada yang beli sayuran buat makan sahur. Ada yang beli baju lebaran. Ada juga yang wisata kuliner seperti saya.
Sepanjang perjalanan saya lihat semua pedagang makanan ramai dikunjungi orang-orang. Dari fenomena munggahan tahun ini ada hikmah dan perjalanan yang bisa saya petik. Ada juga cerita unik yang harus saya bagikan ke teman-teman. Terutama soal mie bakso. Makanan favourit kaum hawa.
Kalau kita pengen tahu mana mie bakso yang enak dan yang nggak itu lihatlah pas munggahan seperti ini. Atau pas hari Raya Idul Fitri nanti. Tolok ukurnya gampang. Kalau mie bakso itu banyak yang beli berarti mie baksonya enak. Tapi kalau mie baksonya sepi berarti mie baksonya kurang enak.
Begitu juga dengan mie ayam, sate, soto, kupat tahu, ketoprak, atau makanan-makanan modern lainnya yang ada di mall. Meski pun di dalam mall, kalau makannya kurang enak, apalagi pelayanannya nggak ramah, tidak menjamin akan didatangi banyak pembeli. Tapi sekali pun di dalam gang. Atau lokasinya di bekas pasar lama seperti sate “Mangga Calik” favourit saya.
Kalau makanannya enak, pelayanannya ramah. Orang-orang, terutama yang sudah berlangganan akan penasaran dan berbondong-bondong untuk datang membelinya. Khusus sate “Mangga Calik” favourit saya ini. Selain rasanya enak, dagingnya besar-besar. Beda dengan penjual sate yang lain.
Di tempat yang lain, kalau kita beli Rp 20.000 misal sate doang nggak pakai nasi. Daging ayam atau daging sapinya itu mungil-mungil nggak bikin kita kenyang. Tapi kalau beli di sate “Mangga Calik” beli Rp 20.000 itu bisa dimakan bertiga. Perut kita rasanya begah. Udah enak, hemat lagi.
Btw, nama sate ini sebenarnya bukan “Mangga Calik”. Kenapa saya sebut sate “Mangga Calik” Karena setiap ada orang yang lewat, mau beli atau tidak, oleh si bapak atau si ibu penjual sate suka disapa dengan “Mangga Calik”. Mangga Calik itu bahasa sunda. Kalau bahasa Indonesianya itu “Silahkan Duduk!” Sebuah ajakan untuk “Mari Mampir” atau “Singgah Dulu Yuk!”