Tidak Fanatik Pada Golongan Tertentu, Hidup Terasa Enak dan Nyaman

INI soal keyakinan yang diwariskan secara turun temurun. Yang paling dekat, dari sebelum saya lahir. Yang paling jauh, mungkin sejak zaman perjuangan kakek nenek buyut. Tentang apa? Tentang orang yang sholat shubuhnya pakai qunut sama orang yang sholat shubuhnya nggak pakai qunut. Seperti ada sekat atau penghalang. Kalau diterobos atau ada yang mempreteli, percikan-percikan ego sektoral kemungkinan akan meletup.

Saya sendiri tumbuh dan besar di dalam dua keyakinan tersebut. Orang tua tinggal di kampung yang pakai qunut. Saudara dan teman-teman, tinggal di kampung yang tidak pakai qunut. Gabungan dua keyakinan tersebut mewarnai perjalanan hidup saya soal keyakinan. Sejak kecil sampai remaja saya sekolah agama dan belajar ngaji pada ustadz keduanya. Bermain, bergaul, menjalin relasi, bahkan sampai menjalin kisah asmara.

Tidak-Fanatik-pada-Golongan-Tertentu-Hidup-Terasa-Enak-dan-Nyaman.jpg

Karena terbiasa hidup di dua keyakinan dan pemahaman yang berbeda. Saya tidak merasa kaget ketika sholat shubuh berjamaah di masjid yang pakai qunut mendapati 1 atau 2 orang jamaah nyempil nggak ikut berdoa. Saya juga tidak merasa kagok dan canggung saat melaksanakan sholat shubuh berjamaah di masjid yang nggak pakai qunut. Di masjid mana pun sholatnya saya merasa lega dan leluasa.

Terkait dua keyakinan ini. Mohon dikoreksi kalau saya salah. Yang pakai qunut dan nggak pakai qunut sebelumnya bersifat ekslusif. Hanya jamaahnya sendiri yang boleh datang, berkumpul, dan melaksanakan ibadah. Diluar itu tidak boleh, sungkan, atau ada semacam keengganan. Tapi itu dulu. Di era tahun 80/90-an. Sejak tahun 2000-an ke atas. Tidak ada lagi ekslusifitas dalam beribadah. Semuanya melebur dan mencair.

Tidak-Fanatik-pada-Golongan-Tertentu-Hidup-Terasa-Enak-dan-Nyaman.jpg

Yang terkini, peleburan antara dua keyakinan yang berbeda ini semakin kentara dan sudah menjadi pemandangan biasa setelah saya punya rumah alias tidak tinggal lagi di kontrakan. Ketika sholat shubuh berjamaah di masjid. Walau pun jamaah masjid mayoritas pakai qunut. Di mana imam sholatnya suka baca qunut. Ada beberapa jamaah yang tidak ikut menengadahkan tangan.

Saya sendiri, berangkat dari latar belakang itu tadi, mencoba untuk bersikap lentur. Sholat shubuh di masjid yang pakai qunut, saya ikut qunut. Sholat shubuh di masjid yang nggak pakai qunut, saya nggak ikut qunut. Lucunya, saking melebur dan berbaurnya jamaah. Belakangan sering ada imam sholat yang biasa pakai qunut tiba-tiba, entah lupa atau gimana, jadi nggak pakai qunut. Kadang pernah juga imam yang biasa tidak baca qunut disuruh jadi imam sholat shubuh.

Dulu, waktu saya bujangan, saya jarang ikut tahlilan. Kalau ada acara tahlilan suka melipir pergi ke rumah saudara. Sekarang setiap ada undangan baik itu syukuran 4 bulanan, 7 bulanan, nyelamatin rumah, atau mengenang 40 hari orang meninggal, saya selalu menyempatkan untuk datang. Apa yang saya jalani saat ini, tidak fanatik pada golongan dan keyakinan tertentu, hidup terasa lebih enak dan nyaman.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url