Nggak Boleh Sombong, Hidup Kadang di Atas, Kadang di Bawah.
SAYA nggak suka ngebut. Dari dulu. Dari semenjak saya bisa mengendarai sepeda motor. Kecepatan yang sering saya tempuh kisaran 50-60 km perjam. Di atas itu paling kalau di jalanan lurus yang nggak ada kendaraan. Tapi itu juga tidak sering. Hanya sesekali. Itu pun di siang hari. Kalau malam hari, saya tidak sanggup. Penglihatan saya sudah mulai terganggu. Apalagi kalau melewati jalan yang gelap tanpa lampu penerangan. Sekalipun kosong, nggak ada kendaraan, saya lebih memilih merayap. Biar lambat, asal selamat.
Walau pun nggak suka ngebut. Yang namanya celaka, kita nggak ada yang tahu. Sebuah peristiwa kecelakaan, yang menimpa pada diri kita. Baik disengaja atau tidak. Kalau sudah waktunya celaka, tiba-tiba kejadian saja. Kejadiannya begitu cepat. Celaka fatal atau ringan tergantung kronologinya. Kalau ringan kita bersyukur terhindar dari hal-hal yang ditakutkan. Kalau fatal, kita harus menerima, mungkin itu bagian dari ujian dan cobaan yang harus kita hadapi.
Dari semua peristiwa kecelakaan yang saya alami. Salah satu yang paling saya ingat adalah saat malam takbiran beberapa tahun silam. Waktu itu saya nabrak anak kecil yang sedang main petak umpet di pinggir jalan. Kejadiannya masih di kampung sebelah. Waktu itu habis dari rumah orang tua mau pulang ke kontrakan. Saya naik motor bersama adik saya yang kebetulan mau ikut nginap di kontrakan. Kejadiannya begitu cepat, tapi sampai sekarang peristiwa itu masih terngiang-ngiang.
Yang masih membekas terkait perlakuan kakek si anak yang bersikap frontal, bicara kasar dan mau mukul saya, padahal anak yang saya tabrak tidak kenapa-kenapa. Anak tersebut menangis meraung-raung bukan karena terluka, melainkan terperosok kedalam selokan akibat ulahnya sendiri yang nyebrang jalan sembarangan. Waktu itu posisi saya sebenarnya bukan nabrak, kecepatan yang saya tempuh di bawah 50 km perjam. Ketika si anak nyebrang, motor yang saya tumpangi bisa saya kendalikan dengan rem mendadak.
Berhubung yang jatuh ke selokan anak kampung sebelah, orang tuanya saya kenal. Sebagai rasa tanggung jawab saya berhenti menolong anak tersebut. Nahas, temannya anak tersebut yang sudah nyebrang duluan teriak ke semua orang kalau saya nabrak. Akibatnya saya harus pasrah hampir-hampir mau dimassa. Kakek anak tersebut, kalau tidak dipisahin sama anaknya dan adiknya, udah mau main hantam saja. Beruntung anaknya dan adiknya kenal dengan saya. Jadi mereka masih sadar, masih menahan emosi, mau mendengar gimana kejadian yang sebenarnya.
Kemarin waktu saya liburan di rumah mertua. Saudara dari kakek tersebut tiba-tiba nelpon ngasih tahu kalau si kakek sudah meninggal. Meninggalnya hari sabtu pas saya berangkat pergi liburan ke rumah mertua. Saudaranya tersebut nggak tahu, kalau saya dengan si kakek, pernah ada masalah. Karena sikap, perlakuan dan kata-katanya yang membuat saya sakit hati, semenjak kejadian itu saya jarang bertegur sapa dengan si kakek setiap kali berpapasan di jalan.
Setelah mendengar kabar si kakek meninggal. Dari hati yang paling dalam, saya memaafkan semua perlakuan dan ucapan-ucapan beliau saat itu. Saya berdoa semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT. Sebagai renungan dari apa yang pernah saya alami, terkait dengan perlakuan dan ucapan beliau pada saya saat itu. Sebagai manusia kita nggak boleh sombong. Hidup kadang di atas kadang di bawah. Kalau sudah meninggal yang kita bawa hanya amal dan perbuatan.
Walau pun nggak suka ngebut. Yang namanya celaka, kita nggak ada yang tahu. Sebuah peristiwa kecelakaan, yang menimpa pada diri kita. Baik disengaja atau tidak. Kalau sudah waktunya celaka, tiba-tiba kejadian saja. Kejadiannya begitu cepat. Celaka fatal atau ringan tergantung kronologinya. Kalau ringan kita bersyukur terhindar dari hal-hal yang ditakutkan. Kalau fatal, kita harus menerima, mungkin itu bagian dari ujian dan cobaan yang harus kita hadapi.
Dari semua peristiwa kecelakaan yang saya alami. Salah satu yang paling saya ingat adalah saat malam takbiran beberapa tahun silam. Waktu itu saya nabrak anak kecil yang sedang main petak umpet di pinggir jalan. Kejadiannya masih di kampung sebelah. Waktu itu habis dari rumah orang tua mau pulang ke kontrakan. Saya naik motor bersama adik saya yang kebetulan mau ikut nginap di kontrakan. Kejadiannya begitu cepat, tapi sampai sekarang peristiwa itu masih terngiang-ngiang.
Yang masih membekas terkait perlakuan kakek si anak yang bersikap frontal, bicara kasar dan mau mukul saya, padahal anak yang saya tabrak tidak kenapa-kenapa. Anak tersebut menangis meraung-raung bukan karena terluka, melainkan terperosok kedalam selokan akibat ulahnya sendiri yang nyebrang jalan sembarangan. Waktu itu posisi saya sebenarnya bukan nabrak, kecepatan yang saya tempuh di bawah 50 km perjam. Ketika si anak nyebrang, motor yang saya tumpangi bisa saya kendalikan dengan rem mendadak.
Berhubung yang jatuh ke selokan anak kampung sebelah, orang tuanya saya kenal. Sebagai rasa tanggung jawab saya berhenti menolong anak tersebut. Nahas, temannya anak tersebut yang sudah nyebrang duluan teriak ke semua orang kalau saya nabrak. Akibatnya saya harus pasrah hampir-hampir mau dimassa. Kakek anak tersebut, kalau tidak dipisahin sama anaknya dan adiknya, udah mau main hantam saja. Beruntung anaknya dan adiknya kenal dengan saya. Jadi mereka masih sadar, masih menahan emosi, mau mendengar gimana kejadian yang sebenarnya.
Kemarin waktu saya liburan di rumah mertua. Saudara dari kakek tersebut tiba-tiba nelpon ngasih tahu kalau si kakek sudah meninggal. Meninggalnya hari sabtu pas saya berangkat pergi liburan ke rumah mertua. Saudaranya tersebut nggak tahu, kalau saya dengan si kakek, pernah ada masalah. Karena sikap, perlakuan dan kata-katanya yang membuat saya sakit hati, semenjak kejadian itu saya jarang bertegur sapa dengan si kakek setiap kali berpapasan di jalan.
Setelah mendengar kabar si kakek meninggal. Dari hati yang paling dalam, saya memaafkan semua perlakuan dan ucapan-ucapan beliau saat itu. Saya berdoa semoga amal ibadahnya diterima di sisi Allah SWT. Sebagai renungan dari apa yang pernah saya alami, terkait dengan perlakuan dan ucapan beliau pada saya saat itu. Sebagai manusia kita nggak boleh sombong. Hidup kadang di atas kadang di bawah. Kalau sudah meninggal yang kita bawa hanya amal dan perbuatan.