Suaranya Tak Pernah Mengudara, Cita-Citanya Hilang Ditelan Masa
JAM 4 sore katanya harus sudah ada di kampus. Soalnya jam 5 sore kita akan belajar siaran di salah satu stasiun radio. Begitu kata Bu Dosen sebelum bubaran pada pelajaran hari sebelumnya. Besoknya, jam 3 sore saya sudah berangkat dari rumah. Naik angkot. Sebelumnya saya jalan kaki dulu. Nerobos bukit dan pemakaman. Pakai celana panjang hitam punya teman. Sama sepatu jogging, yang ukurannya kebesaran, punya saudara.
Sesampainya di kampus. Peserta pendidikan MC dan Broadcaster belum pada datang. Yang datang baru saya dan Felix (nama samaran) anak orang kaya. Felix datang ke kampus bawa mobil sedan warna hitam. Saya dan Felix tidak begitu dekat. Di kelas posisi meja kita berjauhan. Saat menunggu teman-teman yang lain. Saya duduk di kursi depan. Felix nunggu di dalam kampus. Ngobrol dengan salah satu staf.
5 menit berselang Felix keluar. Kelihatannya seperti buru-buru. Awalnya dia tidak melirik saya. Baru setelah dia masuk ke mobil. Dia menoleh ke arah saya sambil bilang. Teman-teman katanya sudah ada di radio. Dia mau meluncur ke sana. Waktu dengar peserta yang lain sudah ada di lokasi. Saya kaget. Rencananya kita mau berangkat sama-sama dari kampus. Kenyataannya malah berangkat sendiri-sendiri.
Jarak dari kampus ke stasiun radio yang dituju lumayan jauh. Saya harus naik angkot 2 kali. Seketika saya dilanda kebingungan. Bukan saya tidak bawa uang. Dari awal saya sudah siapkan bekal untuk pulang dan pergi. Masalahnya, kalau teman-teman yang lain sudah ada di sana. Sementara saya masih di kampus. Bisa dipastikan saya akan datang terlambat. Saya akan ketinggalan beberapa materi.
Dalam keadaan bingung itu. Felix yang belum berangkat tiba-tiba ngajakin saya untuk pergi bareng. Awalnya saya senang. Saya dapat tumpangan gratis. Tapi lama-lama saya jadi sungkan. Sore itu di seputaran kampus baru turun hujan. Saya bilang ke Felix. Jalannya becek, sepatu saya basah. Kalau ikut sama kamu. Nanti mobil kamu yang baru dimandiin jadi kotor. Felix yang awalnya saya kira sombong dan angkuh. Ternyata orangnya baik. Dia tetap ngajak saya. Nggak apa-apa, masuk saja, katanya.
Saya ikut program Reguler MC dan Broadcaster niatnya ingin jadi penyiar radio. Waktu itu saya punya cita-cita. Kalau saya jadi penyiar radio. Saya bakalan terkenal. Bakalan banyak duit. Sering ketemu artis terkenal. Udah gitu bisa mutar lagu kesukaan saya sepuasnya. Saat mengikuti program tersebut. Semua peserta digembleng oleh dosen dan penyiar radio profesional. Disamping itu, kita juga dikasih kesempatan buat ikut siaran di beberapa stasiun radio.
Sayangnya, meski sudah ikutan program Reguler MC dan Broadcaster selama 2 kali berturut-turut. Saya tetap gagal jadi penyiar radio. Begitu pun dengan Felix. Meski badannya tinggi. Wajahnya ganteng mirip seorang model. Suaranya tak pernah mengudara. Cita-citanya hilang ditelan masa. Pada saat artikel ini saya tulis. Saya nggak tahu Felix ada di mana, kerja apa, sudah menikah atau belum. Yang saya ingat. Terakhir ketemu kita nggak sengaja berpapasan di depan toilet masjid agung.
Sesampainya di kampus. Peserta pendidikan MC dan Broadcaster belum pada datang. Yang datang baru saya dan Felix (nama samaran) anak orang kaya. Felix datang ke kampus bawa mobil sedan warna hitam. Saya dan Felix tidak begitu dekat. Di kelas posisi meja kita berjauhan. Saat menunggu teman-teman yang lain. Saya duduk di kursi depan. Felix nunggu di dalam kampus. Ngobrol dengan salah satu staf.
5 menit berselang Felix keluar. Kelihatannya seperti buru-buru. Awalnya dia tidak melirik saya. Baru setelah dia masuk ke mobil. Dia menoleh ke arah saya sambil bilang. Teman-teman katanya sudah ada di radio. Dia mau meluncur ke sana. Waktu dengar peserta yang lain sudah ada di lokasi. Saya kaget. Rencananya kita mau berangkat sama-sama dari kampus. Kenyataannya malah berangkat sendiri-sendiri.
Jarak dari kampus ke stasiun radio yang dituju lumayan jauh. Saya harus naik angkot 2 kali. Seketika saya dilanda kebingungan. Bukan saya tidak bawa uang. Dari awal saya sudah siapkan bekal untuk pulang dan pergi. Masalahnya, kalau teman-teman yang lain sudah ada di sana. Sementara saya masih di kampus. Bisa dipastikan saya akan datang terlambat. Saya akan ketinggalan beberapa materi.
Dalam keadaan bingung itu. Felix yang belum berangkat tiba-tiba ngajakin saya untuk pergi bareng. Awalnya saya senang. Saya dapat tumpangan gratis. Tapi lama-lama saya jadi sungkan. Sore itu di seputaran kampus baru turun hujan. Saya bilang ke Felix. Jalannya becek, sepatu saya basah. Kalau ikut sama kamu. Nanti mobil kamu yang baru dimandiin jadi kotor. Felix yang awalnya saya kira sombong dan angkuh. Ternyata orangnya baik. Dia tetap ngajak saya. Nggak apa-apa, masuk saja, katanya.
Saya ikut program Reguler MC dan Broadcaster niatnya ingin jadi penyiar radio. Waktu itu saya punya cita-cita. Kalau saya jadi penyiar radio. Saya bakalan terkenal. Bakalan banyak duit. Sering ketemu artis terkenal. Udah gitu bisa mutar lagu kesukaan saya sepuasnya. Saat mengikuti program tersebut. Semua peserta digembleng oleh dosen dan penyiar radio profesional. Disamping itu, kita juga dikasih kesempatan buat ikut siaran di beberapa stasiun radio.
Sayangnya, meski sudah ikutan program Reguler MC dan Broadcaster selama 2 kali berturut-turut. Saya tetap gagal jadi penyiar radio. Begitu pun dengan Felix. Meski badannya tinggi. Wajahnya ganteng mirip seorang model. Suaranya tak pernah mengudara. Cita-citanya hilang ditelan masa. Pada saat artikel ini saya tulis. Saya nggak tahu Felix ada di mana, kerja apa, sudah menikah atau belum. Yang saya ingat. Terakhir ketemu kita nggak sengaja berpapasan di depan toilet masjid agung.