Dai Kondang dan Artis Terkenal Pernah Datang Menemui Ayahnya
JANGAN menganggap remeh dan merendahkan orang lain. Karena orang yang kita anggap remeh atau rendah tersebut belum tentu seremeh dan serendah itu. Bisa saja dia punya kelebihan yang tidak kita ketahui. Makanya ada istilah jangan melihat buku dari sampulnya. Karena sampul boleh jelek, sampul boleh kurang menarik, tapi begitu tahu isinya. Buku yang kita baca ternyata mencerahkan dan bikin kita berdecak kagum.
Itu yang saya alami selama dua hari kemarin. Maaf bukan berarti saya telah menghina atau merendahkan orang lain. Bisa dibilang hampir nyarislah. Soalnya orang yang baru saya kenal dilihat dari penampilan. Terus dari gaya dia bicara. Benar-benar polos banget. Dia seperti, maaf, tidak pernah mengenal dunia pendidikan. Dia tidak punya Hp. Tidak pernah menonton televisi. Tidak tahu apa itu kalender.
Saya ketemu dengan orang tersebut di masjid samping rumah adik saya. Saya antar anak ngaji. Dia singggah untuk melaksanakan sholat maghrib. Selesai sholat maghrib biasanya saya langsung pulang. Jemput anak lagi nanti pas mau sholat isya. Tapi malam itu saya sudah niat nggak bakalan pulang. Mau nungguin saja biar nggak bolak-balik. Selonjoran di teras masjid sambil buka facebook, nonton youtube, atau nulis artikel, punya keasyikan tersendiri.
Dia, pedagang cilok, yang orangnya polos banget itu tiba-tiba duduk di samping saya. Mungkin dia mau ikut selonjoran juga. Seharian ngedorong gerobak pasti lelah. Apalagi kalau jualannya sepi. Masjid termasuk salah satu tempat favourit untuk beristirahat. Karena lihat penampilannya yang sangat memelas terus perut saya juga sedikit agak keroncongan. Sebelum diajak ngobrol saya jajanin dulu ciloknya. Saya beli Rp 2.000. Itung-itung nyicipin rasa ciloknya enak apa nggak.
Malam pertama ngobrol dengan dia. Seperti yang tadi sudah saya bilang. Dia tidak punya Hp. Tidak pernah menonton televisi. Dia juga tidak pernah menghitung hari karena di kontrakannya tidak ada kalender. Waktu saya tanya dia asli orang mana. Dia jawab dari kampung pelosok di pesisir pantai. Sebelum diajak pamannya jualan cilok. Sehari-hari dia bekerja menyadap pohon kelapa bantuin orang tuanya.
Malam kedua ngobrol dengan dia. Penilaian saya terhadap dia langsung berubah. Status dan posisi saya mendadak jungkir balik. Awalnya saya pikir dia seperti pedagang keliling pada umumnya. Jualan sebatas untuk menafkahi keluarga. Waktu dia cerita siapa ayahnya. Waktu dia tunjukin jimat penglaris pemberian ayahnya. Plus bingkisan makanan dan nasi kotak pemberian juragan-juragan toko langganan ciloknya di pasar. Saya benar-benar dibuat tercengang. Ayahnya rupanya orang pintar.
Meski tinggal di hutan. Di pelosok pesisir pantai. Yang jalannya rusak, naik gunung turun gunung, dan masih banyak binatang buasnya. Dari cerita yang saya dengar. Ternyata banyak orang-orang yang datang bertamu ke ayahnya. Dulu katanya ada pasangan suami istri keturunan Tionghoa tanahnya laku sekian milyar setelah minta penglaris ke ayahnya. Yang bikin saya tercengang. Salah satu dai kondang dan artis terkenal yang wajahnya sering nongol di televisi, kalau saya sebut namanya teman-teman pasti tahu. Konon katanya pernah datang juga menemui ayahnya.
Itu yang saya alami selama dua hari kemarin. Maaf bukan berarti saya telah menghina atau merendahkan orang lain. Bisa dibilang hampir nyarislah. Soalnya orang yang baru saya kenal dilihat dari penampilan. Terus dari gaya dia bicara. Benar-benar polos banget. Dia seperti, maaf, tidak pernah mengenal dunia pendidikan. Dia tidak punya Hp. Tidak pernah menonton televisi. Tidak tahu apa itu kalender.
Saya ketemu dengan orang tersebut di masjid samping rumah adik saya. Saya antar anak ngaji. Dia singggah untuk melaksanakan sholat maghrib. Selesai sholat maghrib biasanya saya langsung pulang. Jemput anak lagi nanti pas mau sholat isya. Tapi malam itu saya sudah niat nggak bakalan pulang. Mau nungguin saja biar nggak bolak-balik. Selonjoran di teras masjid sambil buka facebook, nonton youtube, atau nulis artikel, punya keasyikan tersendiri.
Dia, pedagang cilok, yang orangnya polos banget itu tiba-tiba duduk di samping saya. Mungkin dia mau ikut selonjoran juga. Seharian ngedorong gerobak pasti lelah. Apalagi kalau jualannya sepi. Masjid termasuk salah satu tempat favourit untuk beristirahat. Karena lihat penampilannya yang sangat memelas terus perut saya juga sedikit agak keroncongan. Sebelum diajak ngobrol saya jajanin dulu ciloknya. Saya beli Rp 2.000. Itung-itung nyicipin rasa ciloknya enak apa nggak.
Malam pertama ngobrol dengan dia. Seperti yang tadi sudah saya bilang. Dia tidak punya Hp. Tidak pernah menonton televisi. Dia juga tidak pernah menghitung hari karena di kontrakannya tidak ada kalender. Waktu saya tanya dia asli orang mana. Dia jawab dari kampung pelosok di pesisir pantai. Sebelum diajak pamannya jualan cilok. Sehari-hari dia bekerja menyadap pohon kelapa bantuin orang tuanya.
Malam kedua ngobrol dengan dia. Penilaian saya terhadap dia langsung berubah. Status dan posisi saya mendadak jungkir balik. Awalnya saya pikir dia seperti pedagang keliling pada umumnya. Jualan sebatas untuk menafkahi keluarga. Waktu dia cerita siapa ayahnya. Waktu dia tunjukin jimat penglaris pemberian ayahnya. Plus bingkisan makanan dan nasi kotak pemberian juragan-juragan toko langganan ciloknya di pasar. Saya benar-benar dibuat tercengang. Ayahnya rupanya orang pintar.
Meski tinggal di hutan. Di pelosok pesisir pantai. Yang jalannya rusak, naik gunung turun gunung, dan masih banyak binatang buasnya. Dari cerita yang saya dengar. Ternyata banyak orang-orang yang datang bertamu ke ayahnya. Dulu katanya ada pasangan suami istri keturunan Tionghoa tanahnya laku sekian milyar setelah minta penglaris ke ayahnya. Yang bikin saya tercengang. Salah satu dai kondang dan artis terkenal yang wajahnya sering nongol di televisi, kalau saya sebut namanya teman-teman pasti tahu. Konon katanya pernah datang juga menemui ayahnya.