Berteduh Sampai Jam Setengah Dua Belas Malam

SEBELUM harga pertamax dan harga minyak goreng naik. Harga gorengan seperti cireng, gehu, cipe, dan balabala, memang sudah naik. Tak ada lagi gorengan yang harganya Rp 500 perak perbiji. Rata-rata semua penjual gorengan menjual harganya Rp 1000 perak perbiji. Kalau pun ada pedagang yang masih menjual dengan harga Rp 2000 perak pertiga biji (isinya bisa campur) jumlahnya bisa dihitung dengan jari.

Salah satu pedagang yang masih menjual gorengan dengan harga Rp 2000 perak pertiga biji adalah pedagang yang mangkal di perempatan tempat saya ngontrak dulu. Cuma ukuran gorengannya tak sebesar gorengan yang dijual dengan harga Rp 1000 perak perbiji. Sebagai pedagang, modal dan keuntungan memang harus diperhitungkan. Kita tidak boleh seenaknya menjual dengan melebihi atau mengurangi ukuran. Kita harus ambil jalan tengah. Kebesaran jangan. Kekecilan juga jangan.

Berteduh-Sampai-Jam-Setengah-Dua-Belas-Malam.jpg

Dari sisi pembeli. Masih adanya pedagang yang menjual aneka macam gorengan dengan harga Rp 2000 perak pertiga biji. Tentu merasa diuntungkan. Setidaknya kita bisa menghemat pengeluaran. Hanya dengan mengeluarkan uang Rp 2000 dari saku celana baju kita. Perut kita sudah kenyang. Apalagi kalau kita belinya pagi hari pas waktu sarapan. Ketimbang beli bubur ayam atau lengko ayam yang harga perporsinya rata-rata Rp 10.000. Sarapan dengan gorengan merupakan penghematan yang sangat luar biasa.

Sayangnya, semenjak harga pertamax dan minyak goreng (baik curah maupun kemasan) mengalami kenaikan. Penjual gorengan yang buka lapak di perempatan tempat saya ngontrak dulu jadi ikut-ikutan naik. Sekarang dia menjual gorengannya disamakan dengan yang lain. Harganya jadi Rp 1000 perak perbiji. Saya tahu itu setelah kemarin malam sehabis beli mie goreng saya singgah beli gorengan di sana.

Berteduh-Sampai-Jam-Setengah-Dua-Belas-Malam.jpg

Buat saya, harga naik sebenarnya nggak masalah. Di tempat lain harganya memang sudah segitu. Tapi, yang bikin saya mengernyitkan dahi, ukurannya harusnya disesuaikan. Lha ini ukurannya masih sekepalan tangan bayi. Kalau ukuran segitu dijual dengan harga Rp 1000 perak perbiji menurut saya kemahalan. Dari pada saya harus beli di sana mending saya beli di tempat lain yang ukurannya jauh lebih besar. Makan satu atau dua biji sudah bikin perut kenyang. Kalau ini beli empat atau lima biji perut kayaknya masih keroncongan.

Btw, saya jadi keingetan waktu saya masih ngontrak. Penjual gorengan tersebut dulu jualannya pakai roda. Pagi sampai siang mangkal di depan sekolah. Di samping kontrakan. Sore sampai malam keliling perumahan. Dulu jualannya kadang laku kadang nggak. Sekarang setelah nyewa lapak di perempatan dekat jalan baru. Jualan gorengannya laris manis. Omzetnya meningkat drastis. Jualannya dari sore sampai malam. Dibantu oleh istri dan anaknya yang dulu masih kecil sekarang sudah remaja.

Waktu jualannya masih pakai roda ada momen yang tidak akan pernah saya lupa. Waktu itu habis meletus gunung merapi. Serpihan debunya sampai ke sini. Suatu malam hujan deras disertai angin dan petir. Saya sama istri diam di kontrakan yang sangat sempit dan kecil. Posisi kontrakan berada paling ujung. Penjual gorengan berteduh di kontrakan paling depan di pingir jalan. Di bawah guyuran hujan dan petir yang saling menyambar. Penjual gorengan kedinginan sendirian. Mau pulang katanya takut. Sambil menunggu hujan reda. Dia terpaksa berteduh sampai jam setengah dua belas malam.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url