Badan Boleh Lemas, Perut Boleh Mual, Keimanan Harus Tetap Tebal
HARI pertama puasa. Saya jemput istri dan anak saya ke terminal. Sebelum berangkat hujan sudah turun cukup deras. Saya sempat singgah dulu ke rumah adik saya untuk berteduh. Setelah reda baru saya melanjutkan perjalanan lagi. Sesampainya di terminal, waktunya berbarengan dengan istri dan anak saya turun dari bis. Jadi kita bisa langsung pulang. Tapi hujan tenyata turun lagi. Lumayan deras. Kita terpaksa berteduh dulu menunggu hujan reda.
Setelah reda, kita langsung bergegas pulang. Kita pulangnya lewat jalan yang mau ke pasar. Kebetulan ibu saya nitip beliin sayuran di pasar. Sesampainya di pasar hujan turun lagi. Bahkan lebih deras dari sebelumnya. Kita bertiga berteduh di depan sebuah toko yang sedang tutup. Meski hujan sangat deras. Karena hari minggu adalah hari pertama puasa. Banyak orang-orang yang belanja sayuran di pasar.
Di pasar, kita berteduh lumayan cukup lama. Kurang lebih satu setengah jaman. Sebenarnya hujan masih belum reda. Dan kita masih betah berteduh di depan sebuah toko. Tapi berhubung toko mau siap-siap buka. Takut kita mengganggu. Terpaksa kita beringsut nyari tempat berteduh di tempat lain. Nah pas lagi nyari tempat berteduh itu anak saya merengek minta dibeliin sandal. Saya dan istri jadi keingetan sama salah satu grosir sandal yang ada di blok belakang.
Hari pertama puasa. Setelah jemput istri ke terminal rencananya kita mau diam saja di rumah. Belum punya rencana apa-apa. Berhubung hujan kita malah singgah dulu ke pasar, beli sayuran buat ibu saya, dan keterusan beli sandal 3 pasang untuk saya, istri, dan anak saya. Apakah sandal yang kita beli di pasar buat dipakai nanti pas Lebaran? Kalau istri dan anak saya kayaknya iya. Soalnya sampai artikel ini dimuat, sandalnya masih belum dipakai.
Sedangkan sandal yang buat saya. Besoknya langsung saya pakai. Bukan karena saya sudah bapak-bapak. Sudah nggak mementingkan lagi baju, sepatu, celana, dan sandal buat Lebaran. Tapi karena saya emang nggak punya sandal. Seminggu sebelum puasa, sandal yang biasa saya pakai ada yang ngambil di masjid. Selama ini kalau ke mana-mana saya suka pakai sandal punya istri saya. Sandal cewek.
Setelah kehujanan di terminal dan di pasar. Malamnya saya kehujanan lagi. Saya sholat tarawih di rumah teman. Habis buka puasa teman nelpon ngajak tarawihan di masjid depan rumahnya. Saya langsung berangkat saja. Eh, pas lagi tarawihan hujan turun lagi. Karena hujannya nggak berhenti-henti. Takut kemalaman terpaksa saya pulang sambil hujan-hujanan.
Meski kehujanan tiga kali. Besoknya saya masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa. Fisik saya masih kuat. Saya masih bisa pergi ke sana kemari. Satu minggu kemudian, baru tubuh saya ambruk. Badan saya meriang panas dingin. Saking nggak kuatnya. Anak saya sampai nggak berangkat sekolah karena nggak ada yang antar jemput. Mau minta tolong sama adik saya. Mereka sudah pada kerja.
Btw, dari kemarin-kemarin sebenarnya saya ingin menyapa teman-teman. Tapi karena saya masuk angin. Baru hari ini saya bisa nulis artikel lagi. Alhamdulillah, kalau puasanya masih tetap lancar. Belum ada yang bocor. Buat saya badan boleh lemas. Perut boleh mual. Tapi, di bulan yang penuh berkah dan ampunan ini, keimanan harus tetap tebal.
Setelah reda, kita langsung bergegas pulang. Kita pulangnya lewat jalan yang mau ke pasar. Kebetulan ibu saya nitip beliin sayuran di pasar. Sesampainya di pasar hujan turun lagi. Bahkan lebih deras dari sebelumnya. Kita bertiga berteduh di depan sebuah toko yang sedang tutup. Meski hujan sangat deras. Karena hari minggu adalah hari pertama puasa. Banyak orang-orang yang belanja sayuran di pasar.
Di pasar, kita berteduh lumayan cukup lama. Kurang lebih satu setengah jaman. Sebenarnya hujan masih belum reda. Dan kita masih betah berteduh di depan sebuah toko. Tapi berhubung toko mau siap-siap buka. Takut kita mengganggu. Terpaksa kita beringsut nyari tempat berteduh di tempat lain. Nah pas lagi nyari tempat berteduh itu anak saya merengek minta dibeliin sandal. Saya dan istri jadi keingetan sama salah satu grosir sandal yang ada di blok belakang.
Hari pertama puasa. Setelah jemput istri ke terminal rencananya kita mau diam saja di rumah. Belum punya rencana apa-apa. Berhubung hujan kita malah singgah dulu ke pasar, beli sayuran buat ibu saya, dan keterusan beli sandal 3 pasang untuk saya, istri, dan anak saya. Apakah sandal yang kita beli di pasar buat dipakai nanti pas Lebaran? Kalau istri dan anak saya kayaknya iya. Soalnya sampai artikel ini dimuat, sandalnya masih belum dipakai.
Sedangkan sandal yang buat saya. Besoknya langsung saya pakai. Bukan karena saya sudah bapak-bapak. Sudah nggak mementingkan lagi baju, sepatu, celana, dan sandal buat Lebaran. Tapi karena saya emang nggak punya sandal. Seminggu sebelum puasa, sandal yang biasa saya pakai ada yang ngambil di masjid. Selama ini kalau ke mana-mana saya suka pakai sandal punya istri saya. Sandal cewek.
Setelah kehujanan di terminal dan di pasar. Malamnya saya kehujanan lagi. Saya sholat tarawih di rumah teman. Habis buka puasa teman nelpon ngajak tarawihan di masjid depan rumahnya. Saya langsung berangkat saja. Eh, pas lagi tarawihan hujan turun lagi. Karena hujannya nggak berhenti-henti. Takut kemalaman terpaksa saya pulang sambil hujan-hujanan.
Meski kehujanan tiga kali. Besoknya saya masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa. Fisik saya masih kuat. Saya masih bisa pergi ke sana kemari. Satu minggu kemudian, baru tubuh saya ambruk. Badan saya meriang panas dingin. Saking nggak kuatnya. Anak saya sampai nggak berangkat sekolah karena nggak ada yang antar jemput. Mau minta tolong sama adik saya. Mereka sudah pada kerja.
Btw, dari kemarin-kemarin sebenarnya saya ingin menyapa teman-teman. Tapi karena saya masuk angin. Baru hari ini saya bisa nulis artikel lagi. Alhamdulillah, kalau puasanya masih tetap lancar. Belum ada yang bocor. Buat saya badan boleh lemas. Perut boleh mual. Tapi, di bulan yang penuh berkah dan ampunan ini, keimanan harus tetap tebal.