Jangan Buru-Buru Pindah Kuadran, Kalau Belum Siap Jadi Majikan
TIDAK bermaksud membanding-bandingkan makanan. Atau bermaksud membanding-bandingkan pedagang. Masing-masing makanan punya rasanya masing-masing. Masing-masing pedagang punya ciri khasnya masing-masing. Yang ingin saya ceritakan hanya sebatas pendapat, sudut pandang, dari seorang konsumen di mana pendapat atau sudut pandangnya sangat subjektif. Belum tentu benar. Belum tentu juga salah.
Dari kemarin istri saya sudah ngasih tahu. Ada penjual bakwan baru. Jualannya pakai motor. Yang jualannya anak muda. Usianya jauh di bawah penjual bakwan yang setiap hari lewat depan rumah. Yang jualannya keliling pakai roda. Kalau yang jualan pakai roda usianya sekitar 40 tahun. Yang jualan pakai motor usianya masih 20 tahunan. Kesamaan dari kedua pedagang bakwan tersebut. Jualannya malam hari. Lewat depan rumah selalu habis maghrib.
Semalam, waktu saya lagi nonton Timnas lawan Timor Leste, pedagang bakwan yang pakai motor berhenti depan rumah. Tadinya saya tidak niat untuk beli. Sebelumnya sudah dikasih tahu sama istri kalau bakwannya tidak enak. Terus sorenya saya sudah punya rencana mau beli bubur ayam. Sudah lama saya tidak makan bubur ayam. Namun berhubung semalam hujan dan perut saya sudah keroncongan. Terpaksa saya beli bakwan tersebut.
Yang dibilang sama istri ternyata benar. Bakwannya tidak enak. Sebelas dua belas dengan pedagang bakwan yang pakai roda. Bedanya, pedagang bakwan yang pakai roda tidak enak karena nggak mahir nuangin bumbu. Ngasih bumbunya suka-suka tidak sesuai takaran. Yang jualan pakai motor sebaliknya. Ngasih bumbunya pas. Sesuai dengan takaran. Bakwannya justru yang tidak enak. Rasanya hambar. Dibilang tawar nggak. Dibilang asin juga nggak.
Karena bakwannya tidak enak. Bakwannya cuma saya cicipin sedikit. Bakwan berserta kuahnya kemudian saya tuangin ke dalam kantong plastik. Saya anterin ke rumah orang tua. Sekalian keluar antar istri beli obat ke apotek. Habis dari apotek, saya, istri, dan anak saya beli bubur ayam Bandung. Makan disitu. Nggak dibungkus.
Balik lagi ke bakwan yang saya beli semalam. Saya tertarik mengomentarinya karena bentuknya lain dari yang lain. Bakwannya tipis. Baksonya kecil-kecil. Kecuali bakso. Bakwan, tahu, siomay, mie, dan bihun, harganya semuanya 500 perak perbiji. Baru kali ini saya lihat ada yang jual bakwan bentuknya mungil-mungil. Bentuknya mini-mini.
Dari kemarin istri saya sudah ngasih tahu. Ada penjual bakwan baru. Jualannya pakai motor. Yang jualannya anak muda. Usianya jauh di bawah penjual bakwan yang setiap hari lewat depan rumah. Yang jualannya keliling pakai roda. Kalau yang jualan pakai roda usianya sekitar 40 tahun. Yang jualan pakai motor usianya masih 20 tahunan. Kesamaan dari kedua pedagang bakwan tersebut. Jualannya malam hari. Lewat depan rumah selalu habis maghrib.
Semalam, waktu saya lagi nonton Timnas lawan Timor Leste, pedagang bakwan yang pakai motor berhenti depan rumah. Tadinya saya tidak niat untuk beli. Sebelumnya sudah dikasih tahu sama istri kalau bakwannya tidak enak. Terus sorenya saya sudah punya rencana mau beli bubur ayam. Sudah lama saya tidak makan bubur ayam. Namun berhubung semalam hujan dan perut saya sudah keroncongan. Terpaksa saya beli bakwan tersebut.
Yang dibilang sama istri ternyata benar. Bakwannya tidak enak. Sebelas dua belas dengan pedagang bakwan yang pakai roda. Bedanya, pedagang bakwan yang pakai roda tidak enak karena nggak mahir nuangin bumbu. Ngasih bumbunya suka-suka tidak sesuai takaran. Yang jualan pakai motor sebaliknya. Ngasih bumbunya pas. Sesuai dengan takaran. Bakwannya justru yang tidak enak. Rasanya hambar. Dibilang tawar nggak. Dibilang asin juga nggak.
Karena bakwannya tidak enak. Bakwannya cuma saya cicipin sedikit. Bakwan berserta kuahnya kemudian saya tuangin ke dalam kantong plastik. Saya anterin ke rumah orang tua. Sekalian keluar antar istri beli obat ke apotek. Habis dari apotek, saya, istri, dan anak saya beli bubur ayam Bandung. Makan disitu. Nggak dibungkus.
Balik lagi ke bakwan yang saya beli semalam. Saya tertarik mengomentarinya karena bentuknya lain dari yang lain. Bakwannya tipis. Baksonya kecil-kecil. Kecuali bakso. Bakwan, tahu, siomay, mie, dan bihun, harganya semuanya 500 perak perbiji. Baru kali ini saya lihat ada yang jual bakwan bentuknya mungil-mungil. Bentuknya mini-mini.
Dari bentuknya yang mungil-mungil dan mini-mini. Yang kemungkinan itu bagian dari inovasi. Saya jadi berfikir, jangan-jangan penjual bakwan ini dulu pernah jadi anak buah. Pernah kerja di tempat orang. Bekas majikannya bisa saudaranya, bisa tetangganya, bisa juga kenalannya. Karena terdesak kebutuhan ekonomi. Dia mencoba belajar mandiri. Membuka usaha bakwan sendiri.
Dalam dunia bisnis, fenomena karyawan naik level menjadi majikan itu sudah lumrah. Namun yang menjadi catatan. Seorang karyawan sebaiknya jangan buru-buru pindah kuadran sebelum resep dan konsepnya dipelajari dulu matang-matang. Untuk mendalami hal ini, menurut saya, butuh waktu dan proses yang sangat panjang. Kalau kita buru-buru pengen jualan. Terus produk yang kita sajikan kurang meyakinkan. Efeknya, dagangan kita tidak akan disukai oleh pelanggan.
Dalam dunia bisnis, fenomena karyawan naik level menjadi majikan itu sudah lumrah. Namun yang menjadi catatan. Seorang karyawan sebaiknya jangan buru-buru pindah kuadran sebelum resep dan konsepnya dipelajari dulu matang-matang. Untuk mendalami hal ini, menurut saya, butuh waktu dan proses yang sangat panjang. Kalau kita buru-buru pengen jualan. Terus produk yang kita sajikan kurang meyakinkan. Efeknya, dagangan kita tidak akan disukai oleh pelanggan.