Biaya Hidup di Desa, Tak Sebesar Biaya Hidup di Kota
KONDISI cuaca akhir-akhir ini sedang tidak bersahabat. Hujan disertai petir dan angin kencang kerap turun setiap hari. Jika sedang turun hujan, apalagi disertai petir dan angin kencang, saya suka kasihan sama para pedagang keliling. Mereka pasti sering kehujanan. Mereka pasti berteduh di mana saja. Pedagang keliling tersebut, adalah pejuang keluarga yang benar-benar tangguh.
Semenjak saya mengalami kecelakaan. Di mana waktu itu saya nabrak mobil yang ngerem mendadak karena banjir akibat hujan deras, plus angin kencang dan petir saling menyambar. Saya agak trauma kalau harus keluar dalam keadaan hujan. Dengar suara petir dari kejauhan saja bulu kuduk saya sudah merinding. Setiap mau berangkat saya suka lihat situasi dan kondisi dulu. Kalau kelihatan banyak awan gelap. Saya suka tidak jadi perginya.
Beda dengan para pedagang yang tiap hari keliling mencari rezeki. Saat berangkat pagi hari, cuaca mungkin masih cerah. Tapi begitu masuk jam 1 siang. Awan-awan hitam sudah mulai menggelayut. Dalam posisi seperti itu. Mereka juga manusia. Pasti memiliki rasa takut. Tapi, karena ada anak dan istri yang harus dinafkahi. Mereka tetap melanjutkan perjalanan. Mendorong gerobak, mengendarai sepeda motor, atau memikul tanggungan.
Kalau saya lagi beli dagangan mereka. Dan kebetulan turun hujan. Saya suka menyuruh mereka untuk berteduh dulu. Saya ajak masuk ke dalam rumah. Saya ajak ngobrol mereka sambil menunggu hujan reda. Dari obrolan saya dengan mereka kadang suka dapat ide dan inspirasi. Atau cerita-cerita unik yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Seperti kemarin saya ajak tukang es cincau untuk berteduh. Sambil menunggu hujan reda kita ngobrol ke sana kemari. Dari obrolan saya dengan pedagang es cincau saya jadi tahu gimana proses pembuatan es cincau. Tahu berapa penghasilan pedagang es cincau perhari atau perbulan. Menurut pengakuan pedagang es cincau. Daun cincaunya katanya tidak beli dari pasar. Melainkan mereka tanam sendiri di belakang rumah atau belakang kontrakan tempat mereka tinggal.
Untuk penghasilan, sehari itu mereka bisa dapat Rp 150.000 bersih. Sudah dipotong biaya ini itu. Kalau sebulan bisa dapat penghasilan sekitar Rp 3.000.000-an bersih setelah dipotong biaya ini dan itu. Rp 3.000.000 perbulan apakah cukup untuk membiayai anak dan istri? Untuk standar orang kota. Yang kebutuhannya banyak sekali. Uang segitu kemungkinan masih kurang. Apalagi kalau kita punya setoran motor, kontrakan, dan cicilan barang elektronik.
Tapi kalau untuk orang kampung, yang tinggal di pedesaan. Uang segitu sudah terbilang besar. Biaya hidup di desa atau di kampung tidak sebesar biaya hidup di kota. Di kota semua makanan harus kita beli. Kalau di kampung masih ada makanan yang bisa kita dapatkan dengan gratis. Contoh kalau kita mau bikin sambal. Cabai dan tomatnya, bisa kita petik di kebun. Mau bakar ikan, bisa mancing dulu ikannya di kolam. Mau kelapa muda, tinggal naik, pohon kelapanya ada di belakang rumah.
Semenjak saya mengalami kecelakaan. Di mana waktu itu saya nabrak mobil yang ngerem mendadak karena banjir akibat hujan deras, plus angin kencang dan petir saling menyambar. Saya agak trauma kalau harus keluar dalam keadaan hujan. Dengar suara petir dari kejauhan saja bulu kuduk saya sudah merinding. Setiap mau berangkat saya suka lihat situasi dan kondisi dulu. Kalau kelihatan banyak awan gelap. Saya suka tidak jadi perginya.
Beda dengan para pedagang yang tiap hari keliling mencari rezeki. Saat berangkat pagi hari, cuaca mungkin masih cerah. Tapi begitu masuk jam 1 siang. Awan-awan hitam sudah mulai menggelayut. Dalam posisi seperti itu. Mereka juga manusia. Pasti memiliki rasa takut. Tapi, karena ada anak dan istri yang harus dinafkahi. Mereka tetap melanjutkan perjalanan. Mendorong gerobak, mengendarai sepeda motor, atau memikul tanggungan.
Kalau saya lagi beli dagangan mereka. Dan kebetulan turun hujan. Saya suka menyuruh mereka untuk berteduh dulu. Saya ajak masuk ke dalam rumah. Saya ajak ngobrol mereka sambil menunggu hujan reda. Dari obrolan saya dengan mereka kadang suka dapat ide dan inspirasi. Atau cerita-cerita unik yang belum pernah saya dengar sebelumnya.
Seperti kemarin saya ajak tukang es cincau untuk berteduh. Sambil menunggu hujan reda kita ngobrol ke sana kemari. Dari obrolan saya dengan pedagang es cincau saya jadi tahu gimana proses pembuatan es cincau. Tahu berapa penghasilan pedagang es cincau perhari atau perbulan. Menurut pengakuan pedagang es cincau. Daun cincaunya katanya tidak beli dari pasar. Melainkan mereka tanam sendiri di belakang rumah atau belakang kontrakan tempat mereka tinggal.
Untuk penghasilan, sehari itu mereka bisa dapat Rp 150.000 bersih. Sudah dipotong biaya ini itu. Kalau sebulan bisa dapat penghasilan sekitar Rp 3.000.000-an bersih setelah dipotong biaya ini dan itu. Rp 3.000.000 perbulan apakah cukup untuk membiayai anak dan istri? Untuk standar orang kota. Yang kebutuhannya banyak sekali. Uang segitu kemungkinan masih kurang. Apalagi kalau kita punya setoran motor, kontrakan, dan cicilan barang elektronik.
Tapi kalau untuk orang kampung, yang tinggal di pedesaan. Uang segitu sudah terbilang besar. Biaya hidup di desa atau di kampung tidak sebesar biaya hidup di kota. Di kota semua makanan harus kita beli. Kalau di kampung masih ada makanan yang bisa kita dapatkan dengan gratis. Contoh kalau kita mau bikin sambal. Cabai dan tomatnya, bisa kita petik di kebun. Mau bakar ikan, bisa mancing dulu ikannya di kolam. Mau kelapa muda, tinggal naik, pohon kelapanya ada di belakang rumah.