Mengenang Haji Eman, Telepon Rumah, Mie Ayam, dan Telepon Umum
DULU, sekitar tahun 90-an, telepon rumah termasuk benda yang sangat berharga. Waktu itu jarang ada yang punya telepon rumah. Yang punya telepon rumah hanya orang-orang kaya. Orang-orang miskin tidak pernah kefikiran untuk beli telepon. Selain biaya langganannya mahal. Ada biaya abonemen dan biaya pemakaian. Masyarakat masih asing dengan telekomunikasi.
Di kampung saya, yang punya telepon rumah hanya satu orang. Model teleponnya biasa-biasa saja. Warnanya putih gading. Gagang teleponnya standar. Tombol angkanya digembok agar tidak digunakan sembarang orang terutama oleh anak-anak. Saya yang waktu itu masih kecil. Sangat terobsesi sekali dengan telepon rumah. Saya ingin punya telepon seperti tetangga saya itu. Meski belum tahu mau nelepon siapa.
Waktu diajak ayah saya ke rumah Haji Eman. Salah satu teman sekaligus rekanan bisnis ayah saya. Yang rumahnya di pusat kota. Saya begitu takjub dengan telepon yang ada di rumah Haji Eman. Modelnya lucu. Warnanya merah. Tombol angkanya tidak digembok. Kalau dipijit tombolnya nyala warna-warni. Asyiknya, saya yang waktu itu masih anak-anak tidak dilarang untuk mainin telepon. Malah disuruh untuk nyobain telepon.
Setelah melihat dan ngoprek telepon Haji Eman. Obsesi saya untuk memiliki telepon rumah langsung hilang. Mungkin hasrat dan keinginan saya sudah tersalurkan. Setiap saya melihat telepon rumah perasaan saya biasa-biasa saja. Orang tua saya juga sama. Tidak pernah punya keinginan untuk berlangganan telepon rumah. Sampai masa jayanya telepon rumah berakhir. Kita tidak pernah memiliki telepon di rumah.
Saya keingetan lagi soal telepon rumah karena kemarin dapat kabar dari ayah saya. Haji Eman katanya sudah meninggal. Waktu kemarin ayah saya main ke rumahnya. Haji Eman katanya sudah masuk 40 hari. Di rumahnya sedang siap-siap mau tahlilan. Kami sekeluarga jujur merasa kaget. Karena tidak ada yang ngasih tahu. Haji Eman sudah kami anggap sebagai keluarga. Dulu salah satu anaknya suka main di rumah saya. Pacaran di rumah saya. Belajar motor di rumah saya.
Selain telepon rumah. Kenangan yang sangat membekas di ingatan saya adalah mie ayam. Setiap main ke rumah Haji Eman kita selalu disuguhi mie ayam. Tetangganya ada yang jual mie ayam. Mie ayamnya enak banget. Rasanya masih asli. Masih original. Makannya suka pakai sumpit. Dulu mie ayam identik dengan sumpit. Setiap makan mie ayam suka ada keseruan tersendiri. Kita yang biasa makan pakai sendok. Harus makan mie ayam menggunakan sumpit.
Satu lagi saya hampir lupa. Rumah Haji Eman kan di pusat kota. Rumahnya di dalam gang. Kira-kira 50 meter dari jalan raya. Nah, di pinggir jalan raya itu ada telepon umum. Kalau mau pulang kita suka nyobain telepon umum dulu. Yang kita telepon adalah tetangga kita yang punya telepon rumah itu. Lucu banget pokoknya kita ngobrol gantian. Orang tua ngobrol dengan orang tua. Anaknya ngobrol dengan anaknya. Ngobrol biasa saja. Basa basi. Cuma ngasih tahu kalau kita lagi di kota. Lagi nelepon pakai telepon umum.
Di kampung saya, yang punya telepon rumah hanya satu orang. Model teleponnya biasa-biasa saja. Warnanya putih gading. Gagang teleponnya standar. Tombol angkanya digembok agar tidak digunakan sembarang orang terutama oleh anak-anak. Saya yang waktu itu masih kecil. Sangat terobsesi sekali dengan telepon rumah. Saya ingin punya telepon seperti tetangga saya itu. Meski belum tahu mau nelepon siapa.
Waktu diajak ayah saya ke rumah Haji Eman. Salah satu teman sekaligus rekanan bisnis ayah saya. Yang rumahnya di pusat kota. Saya begitu takjub dengan telepon yang ada di rumah Haji Eman. Modelnya lucu. Warnanya merah. Tombol angkanya tidak digembok. Kalau dipijit tombolnya nyala warna-warni. Asyiknya, saya yang waktu itu masih anak-anak tidak dilarang untuk mainin telepon. Malah disuruh untuk nyobain telepon.
Setelah melihat dan ngoprek telepon Haji Eman. Obsesi saya untuk memiliki telepon rumah langsung hilang. Mungkin hasrat dan keinginan saya sudah tersalurkan. Setiap saya melihat telepon rumah perasaan saya biasa-biasa saja. Orang tua saya juga sama. Tidak pernah punya keinginan untuk berlangganan telepon rumah. Sampai masa jayanya telepon rumah berakhir. Kita tidak pernah memiliki telepon di rumah.
Saya keingetan lagi soal telepon rumah karena kemarin dapat kabar dari ayah saya. Haji Eman katanya sudah meninggal. Waktu kemarin ayah saya main ke rumahnya. Haji Eman katanya sudah masuk 40 hari. Di rumahnya sedang siap-siap mau tahlilan. Kami sekeluarga jujur merasa kaget. Karena tidak ada yang ngasih tahu. Haji Eman sudah kami anggap sebagai keluarga. Dulu salah satu anaknya suka main di rumah saya. Pacaran di rumah saya. Belajar motor di rumah saya.
Selain telepon rumah. Kenangan yang sangat membekas di ingatan saya adalah mie ayam. Setiap main ke rumah Haji Eman kita selalu disuguhi mie ayam. Tetangganya ada yang jual mie ayam. Mie ayamnya enak banget. Rasanya masih asli. Masih original. Makannya suka pakai sumpit. Dulu mie ayam identik dengan sumpit. Setiap makan mie ayam suka ada keseruan tersendiri. Kita yang biasa makan pakai sendok. Harus makan mie ayam menggunakan sumpit.
Satu lagi saya hampir lupa. Rumah Haji Eman kan di pusat kota. Rumahnya di dalam gang. Kira-kira 50 meter dari jalan raya. Nah, di pinggir jalan raya itu ada telepon umum. Kalau mau pulang kita suka nyobain telepon umum dulu. Yang kita telepon adalah tetangga kita yang punya telepon rumah itu. Lucu banget pokoknya kita ngobrol gantian. Orang tua ngobrol dengan orang tua. Anaknya ngobrol dengan anaknya. Ngobrol biasa saja. Basa basi. Cuma ngasih tahu kalau kita lagi di kota. Lagi nelepon pakai telepon umum.