Ramadhan Tahun Ini, Saya Nggak Bisa Ngomong Apa-Apa
MASIH tentang orang baik yang saya ceritain kemarin. Nominal uang yang dikasih ke saya mungkin nggak seberapa. Hanya satu lembar uang pecahan Rp 100.000. Tapi buat saya, walau pun jumlahnya segitu, tetap sangat berarti. Kebaikannya sangat menyentuh hati.
Bagaimana tidak. Saat orang baik itu ngasih uang ke saya. Murni atas kebaikannya. Bukan atas jasa yang saya berikan. Sebenarnya saya lagi galau. Galau karena semestinya saya dapat uang banyak. Sesuai hasil kerja saya. Nyatanya malah nihil, bahkan terkesan dikelabui orang.
Ramadhan tahun lalu. Harusnya saya dapat komisi dari penjualan sawah. Dengan catatan, kalau pemilik sawah mau ngasih sertifikat sebagai jaminan ke bank. Tapi karena pemilik sawah bersikukuh nggak mau ngasih sertifikat. Sistem pembayarannya pengen tunai nggak mau dicicil. Jadinya saya nggak dapat komisi.
Ramadhan tahun ini. Si pemilik sawah tiba-tiba mau ngasih sertifikat dan nggak masalah sertifikatnya dijaminkan ke bank. Tapi transaksi jual belinya bukan lewat saya melainkan nerobos jalan belakang. Sementara pembelinya masih orang yang sama. Yang dulu pernah saya tawarin.
Yang lebih lucunya lagi. Asal usul sertifikat sawahnya itu ternyata bermasalah. Saya yang ke sana kemari ngebersin semuanya sampai hari H transaksi. DP Rp 200.000.000 cair. Sisanya tempo sekian bulan. Dari transaksi sawah itu, harusnya saya dapat komisi dong?
Sampai artikel ini saya tulis, saat orang baik itu ngasih uang Rp 100.000 ke saya. Sepeser pun saya tidak menerima komisi dari si pemilik sawah. Padahal, yang ngurusin sertifikat, saya. Yang nganter staf notaris nanda tangan berkas-berkas ke rumah pemilik sah sertifikat, saya.
Bayangin, orang yang baru saya kenal, nggak ada jasa saya ke dia, dengan baik hatinya ngasih uang ke saya. Sementara, tetangga saya. Anaknya sekelas dengan saya. Sawahnya laku terjual berkat jasa saya. Sepeser pun nggak ngasih komisi ke saya. Saya benar-benar geleng kepala. Nggak bisa ngomong apa-apa.
Bagaimana tidak. Saat orang baik itu ngasih uang ke saya. Murni atas kebaikannya. Bukan atas jasa yang saya berikan. Sebenarnya saya lagi galau. Galau karena semestinya saya dapat uang banyak. Sesuai hasil kerja saya. Nyatanya malah nihil, bahkan terkesan dikelabui orang.
Ramadhan tahun lalu. Harusnya saya dapat komisi dari penjualan sawah. Dengan catatan, kalau pemilik sawah mau ngasih sertifikat sebagai jaminan ke bank. Tapi karena pemilik sawah bersikukuh nggak mau ngasih sertifikat. Sistem pembayarannya pengen tunai nggak mau dicicil. Jadinya saya nggak dapat komisi.
Ramadhan tahun ini. Si pemilik sawah tiba-tiba mau ngasih sertifikat dan nggak masalah sertifikatnya dijaminkan ke bank. Tapi transaksi jual belinya bukan lewat saya melainkan nerobos jalan belakang. Sementara pembelinya masih orang yang sama. Yang dulu pernah saya tawarin.
Yang lebih lucunya lagi. Asal usul sertifikat sawahnya itu ternyata bermasalah. Saya yang ke sana kemari ngebersin semuanya sampai hari H transaksi. DP Rp 200.000.000 cair. Sisanya tempo sekian bulan. Dari transaksi sawah itu, harusnya saya dapat komisi dong?
Sampai artikel ini saya tulis, saat orang baik itu ngasih uang Rp 100.000 ke saya. Sepeser pun saya tidak menerima komisi dari si pemilik sawah. Padahal, yang ngurusin sertifikat, saya. Yang nganter staf notaris nanda tangan berkas-berkas ke rumah pemilik sah sertifikat, saya.
Bayangin, orang yang baru saya kenal, nggak ada jasa saya ke dia, dengan baik hatinya ngasih uang ke saya. Sementara, tetangga saya. Anaknya sekelas dengan saya. Sawahnya laku terjual berkat jasa saya. Sepeser pun nggak ngasih komisi ke saya. Saya benar-benar geleng kepala. Nggak bisa ngomong apa-apa.