Gara-Gara Elsa, Saya Jadi Teringat Kampung Orang Gila
NAMA kampungnya saya lupa lagi. Kejadiannya sudah lama soalnya. Antara tahun 2009 atau 2010. Saya keingetan lagi kampung tersebut gara-gara istri dan anak saya suka nonton sinetron Ikatan Cinta. Sinetron yang sedang digandrungi saat ini. Di mana Elsa, tokoh antagonis yang paling dibenci oleh emak-emak zaman now, dalam episode terbaru diceritakan menjalani perawatan kejiwaan di pusat rehabilitasi.
Males sebenarnya kalau harus nyeritain kampung tersebut. Kampung tersebut, dalam konteks tertentu, tidak bermaksud menghina atau merendahkan suatu daerah, sebaiknya tidak boleh ada dalam kamus kehidupan kita. Apalagi sampai harus tinggal dan menjadi penduduk asli kampung tersebut. Kampung tersebut baiknya cuma ada di dalam cerpen atau novel. Yang hanya sebuah fiksi, tidak ada dalam realita.
Kampung tersebut adalah kampung khusus rehabilitasi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Pasien yang datang ke sana bukan saja dari dalam kota. Dari luar kota juga banyak. Yang bikin saya ngeri, saat saya sedang dalam perjalanan menuju kampung tersebut, saya dapat informasi bahwa orang-orang yang tinggal di sana 85% adalah orang gila. Entah benar atau tidak. Hoaks atau bukan. Informasi yang saya dengar membuat lutut saya mendadak gemetar.
Saya datang ke kampung tersebut tidak sendirian. Kami datang ke sana sekitar 6 atau 7 orang. Naik mobil kijang LGX. Status saya saat itu bukan tokoh sentral atau figur penting yang berkepentingan dengan kampung tersebut. Saat itu saya diajak biar di perjalanan rame dan seru katanya. Kampung tersebut benar-benar terasa asing di telinga. Maksud dan tujuan kami ke sana tidak lain dan tidak bukan untuk mengantar teman saya yang konon sering melakukan hal-hal aneh.
Terkait apa yang dialami oleh teman saya. Alangkah baiknya saya skip saja. Selain tidak penting. Ini saya lakukan semata-mata untuk kesehatan mental teman-teman. Di blog ini saya tidak ingin berbagi hal-hal buruk, konten-konten negatif, informasi-informasi yang kurang bermanfaat yang sebenarnya tidak perlu teman-teman tahu. Saya hanya akan menceritakan bahwa apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, dan apa yang saya rasakan setibanya di kampung tersebut sesuai dengan informasi yang saya dapat sebelumnya.
Setelah tahu situasi dan kondisi kampung rehabilitasi tersebut. Saya justru sangat menyesalkan pada orang-orang yang menyarankan teman saya dirujuk ke kampung tersebut. Sesuai penglihatan dan pengamatan saya. Teman saya tidak mengalami gangguan jiwa. Teman saya hanya mengalami kerasukan. Tapi mungkin karena tingkah laku teman saya yang sedikit agak aneh. Orang-orang jadi punya kesimpulan kalau teman saya mengalami gangguan jiwa.
Terbukti, saat teman saya dibawa pindah oleh kakaknya. Recovery secara alamiah di rumah kakaknya yang sangat bersahabat. Bukan di rumah yang penuh dengan sekat-sekat dan bau sesajen plus wewangian yang menusuk hidung. Teman saya kembali menjadi pria normal. Bahkan saat tulisan ini saya buat, teman saya sudah menikah dan punya anak.
Males sebenarnya kalau harus nyeritain kampung tersebut. Kampung tersebut, dalam konteks tertentu, tidak bermaksud menghina atau merendahkan suatu daerah, sebaiknya tidak boleh ada dalam kamus kehidupan kita. Apalagi sampai harus tinggal dan menjadi penduduk asli kampung tersebut. Kampung tersebut baiknya cuma ada di dalam cerpen atau novel. Yang hanya sebuah fiksi, tidak ada dalam realita.
Kampung tersebut adalah kampung khusus rehabilitasi orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Pasien yang datang ke sana bukan saja dari dalam kota. Dari luar kota juga banyak. Yang bikin saya ngeri, saat saya sedang dalam perjalanan menuju kampung tersebut, saya dapat informasi bahwa orang-orang yang tinggal di sana 85% adalah orang gila. Entah benar atau tidak. Hoaks atau bukan. Informasi yang saya dengar membuat lutut saya mendadak gemetar.
Saya datang ke kampung tersebut tidak sendirian. Kami datang ke sana sekitar 6 atau 7 orang. Naik mobil kijang LGX. Status saya saat itu bukan tokoh sentral atau figur penting yang berkepentingan dengan kampung tersebut. Saat itu saya diajak biar di perjalanan rame dan seru katanya. Kampung tersebut benar-benar terasa asing di telinga. Maksud dan tujuan kami ke sana tidak lain dan tidak bukan untuk mengantar teman saya yang konon sering melakukan hal-hal aneh.
Terkait apa yang dialami oleh teman saya. Alangkah baiknya saya skip saja. Selain tidak penting. Ini saya lakukan semata-mata untuk kesehatan mental teman-teman. Di blog ini saya tidak ingin berbagi hal-hal buruk, konten-konten negatif, informasi-informasi yang kurang bermanfaat yang sebenarnya tidak perlu teman-teman tahu. Saya hanya akan menceritakan bahwa apa yang saya lihat, apa yang saya dengar, dan apa yang saya rasakan setibanya di kampung tersebut sesuai dengan informasi yang saya dapat sebelumnya.
Setelah tahu situasi dan kondisi kampung rehabilitasi tersebut. Saya justru sangat menyesalkan pada orang-orang yang menyarankan teman saya dirujuk ke kampung tersebut. Sesuai penglihatan dan pengamatan saya. Teman saya tidak mengalami gangguan jiwa. Teman saya hanya mengalami kerasukan. Tapi mungkin karena tingkah laku teman saya yang sedikit agak aneh. Orang-orang jadi punya kesimpulan kalau teman saya mengalami gangguan jiwa.
Terbukti, saat teman saya dibawa pindah oleh kakaknya. Recovery secara alamiah di rumah kakaknya yang sangat bersahabat. Bukan di rumah yang penuh dengan sekat-sekat dan bau sesajen plus wewangian yang menusuk hidung. Teman saya kembali menjadi pria normal. Bahkan saat tulisan ini saya buat, teman saya sudah menikah dan punya anak.